"Maju dalam teknologi, mundur dalam moral," jawab Kusnad serius.
Sementara itu, di panggung besar hukum Negeri Tembokto, persidangan Harvindo Moasis berubah menjadi drama komedi.Â
Hakim, yang tampak bingung antara membaca vonis atau menghadiri seminar luar kota, akhirnya menjatuhkan hukuman berupa "pengabdian sosial." Harvindo hanya perlu membagikan donat gratis di kampung-kampung selama seminggu.
Dan seketika beritanya viral di media sosial, media yang kini harusnya dibenci para wartawan karena selalu lebih cepat daripada gerakan mereka dalam menghasilkan berita resmi.
Para warga militan negeri Tembokto yang tinggal di kota Atrakaj itu pun masih kongkow di warung Wira. Bagi mereka mau nongrong ataupun kerja, hasilnya akan tetap sama. Jadi ya mendingan mereka sering nongkrong saja berjam-jam dan berhari-hari.
"Donat doang? Seriusan?" Wagyuman hampir tersedak kopi mendengar berita itu dari radio di warung Wira.
Mpok Jumi tak tahan lagi dan melempar gorengan ke udara saking kesalnya.Â
"Kalau gitu, besok saya mau jadi pengusaha besar aja. Kalau kena kasus, hukumannya cukup bagi nasi uduk gratis!"
Wira mengangguk sambil tersenyum sinis. "Di Tembokto, semuanya mungkin, Mpok. Asal punya koneksi dan modal. Kalau kita mah, apalah daya. Jangan-jangan tambal ban sama jual nasi uduk juga bakal kena pajak tambahan."
Malam itu, di depan warung kopi Wira, Wagyuman membuat pengumuman. "Saya nggak peduli mau dibilang apa, tapi saya akan tetap vokal. Hukum itu harus adil, bukan buat dagelan! Kalau perlu, kita bikin gerakan tambal moral, biar Tembokto ini nggak bolong terus!"
Mpok Jumi tertawa sambil mengelap tangannya yang penuh minyak. "Tambal moral? Jangan-jangan nanti malah dianggap usaha ilegal lagi."