Di Negeri Tembokto, semua hal bisa terjadi, terutama kalau menyangkut drama dan makelar perkara. Memang, negeri penuh drama, semua drama ada di sana.
Cerita ini bermula ketika seorang saudagar tajir bernama Harvindo Moasis, yang dikenal suka berbisnis kapal pesiar di sungai kampung, tersandung kasus pajak.Â
Entah bagaimana, ia berhasil lolos dari ancaman hukum! Konon semua itu berkat bantuan makelar kasus bernama Broto Bangkit, seorang pengatur strategi yang sering terlihat memakai jas terlalu sempit.
Kejadian ini tentu saja jadi topik panas di warung kopi Wira, yang tak pernah sepi dari obrolan rakyat jelata. Wagyuman, tukang tambal ban yang selalu kritis, membuka diskusi dengan nada geram.
"Ini negara apa pasar malam sih? Semua urusan bisa disulap asal ada duit," kata Wagyuman sambil menyeruput kopi pahit yang terkadang masih lebih manis dari kehidupannya.
Mpok Jumi, si penjual nasi uduk yang terkenal dengan sambal super pedasnya, menyahut, "Biarin aja, Mas Wagyuman. Mungkin dia bawa jimat sakti. Orang kaya kan emang beda nasibnya. Kalau kita, salah parkir aja langsung kena tilang."
Wira, sang barista warung kopi, menambahkan, "Jimat apa, Mpok? Itu mah duit. Duit itu lebih sakti dari mantra. Broto Bangkit itu memang kayak dukun modern. Semua masalah jadi hilang asal nominalnya cukup."
Diskusi semakin memanas ketika Kusnad, guru sejarah yang selalu membawa payung lipat meski cuaca cerah, tiba-tiba masuk dan ikut bicara karena memang sudah mendengar dari luar warung pembicaraan mereka yang bernada keras.Â
Meski kadang takut, tapi keresahan merekalah yang pada akhirnya mendorong rasa berani untuk mengeluarkan suara keras saat ngerumpi di warung kopi.
"Kalian tahu nggak? Di zaman kerajaan dulu, makelar perkara itu sudah ada. Mereka disebut calo tak resmi. Bedanya, sekarang mereka punya jas mahal dan gadget canggih," ujar Kusnad sambil mengayun-ayunkan payungnya.
"Jadi maksud Pak Kusnad, peradaban kita ini mundur atau maju?" tanya Mpok Jumi, bingung.