Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayang, Tahun 2025 adalah Milik Kita

3 Januari 2025   14:45 Diperbarui: 3 Januari 2025   15:04 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by fauxels: https://www.pexels.com/photo/man-and-woman-holding-hands-3228726/ 

Nara duduk di ruang tamu yang sederhana, memperhatikan kalender besar di dinding. Dan malam itu adalah malam pergantian tahun, namun di dalam dirinya terasa keheningan yang dalam, sangat hening serta tak sebising mereka yang merayakan pergantian tahun dengan hingar bingar dan suka cita.

Tanggal 31 Desember 2024, di luar sana, orang-orang merayakan detik-detik terakhir tahun yang berlalu. Namun, di dalam ruangan ini, Nara benar-benar hanya terdiam, memikirkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah lama dia abaikan. Ia memandang ke sekelilingnya, seperti mencari jawaban dalam setiap sudut yang ada.

Tahun demi tahun telah berlalu, dan bagi Nara, angka-angka itu bukan hanya penanda waktu. Mereka adalah saksi bisu dari perjalanan hidupnya yang penuh kenangan. 

Tanggal 31 Desember, dan 1 Januari, muncul dengan cara yang hampir sama, di setiap tahun yang berulang: 1975, 1986, 1997, 2003, 2014, dan kini 2025. 

Semua tahun itu, tak peduli berapa banyak waktu berlalu, memiliki susunan hari dan tanggal yang sama persis. Seolah waktu itu sendiri tahu bahwa siklus ini harus terus berputar, membawa Nara kembali ke titik ini, ke malam tahun baru yang sama.

"Ari," Nara berkata pelan, menoleh ke arah teman lamanya yang duduk di dekatnya. "Tahu nggak, tahun-tahun itu... 1975, 1986, 1997, 2003, 2014... semuanya punya hari yang sama persis. Jadi kalau kita hitung, malam ini, di tahun 2025, semuanya kembali berputar seperti saat pertama kali kita melewati tahun itu."

Ari memandangnya dengan senyuman lembut. "Aku tahu, Ra," jawabnya pelan. 

"Itulah yang membuatmu merasa seperti terjebak dalam waktu. Tapi, apa yang kamu rasakan tidak harus terulang terus-menerus. Kita bisa memilih untuk melangkah maju."

Nara menghela napas. "Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan semua yang hilang, Ari. Semua yang tak terungkapkan, semua keputusan yang sudah aku buat."

Ari menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku mengerti, Ra. Tapi, ada sesuatu yang ingin aku katakan." Ia menundukkan kepala sejenak, sebelum melanjutkan, "Aku sudah lama menunggumu, menunggumu untuk menyadari bahwa aku... aku selalu ada di sini, menantimu."

Nara terkejut, tatapannya melunak. "Ari... aku sudah punya anak, sudah besar pula. Dan aku sudah tidak muda lagi, tahun ini kita sudah 50 tahun. Aku... aku tak bisa begitu saja mengubah hidupku yang sudah ada."

Ari tersenyum, meskipun ada kesedihan di matanya. "Aku tahu, Ra. Aku tidak menginginkanmu untuk mengubah apapun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada, dan aku akan selalu ada, di sampingmu."

Ada keheningan sesaat di antara mereka. Nara menundukkan kepala, mengingat betapa lama dia menutup mata terhadap perasaan ini, terhadap cinta yang seharusnya sudah lama dia akui. 

Tetapi kehidupan membuatnya sibuk, membuatnya terus bergerak, tanpa pernah berhenti untuk melihat ke sekelilingnya. 

Terkadang, perasaan itu tersembunyi begitu dalam, seolah ia takut untuk membuka hati pada sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa saja membuatnya lebih rentan.

"Kenapa sekarang, Ari?" tanya Nara pelan, "Kenapa kau masih tetap menungguku?"

Ari menarik nafas sedalam mungkin, sementara pandangan Nara menerawang menatap fenomena malam yang sedang menerima kebisingan di setiap akhir tahun itu.

"Karena aku tahu bahwa suatu hari nanti, kita akan sampai di malam ini, di malam tahun baru ini, dan kamu akan merasa bahwa saatnya sudah tiba. Kamu sudah siap untuk membuka hatimu, bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa depan kita."

Dan di luar kembang api mulai meledak lagi melontarkan percik cahaya dan suara gelegarnya, menandakan pergantian tahun. Nara memandang langit yang dihiasi kilauan warna-warni, tetapi hatinya hanya tertuju pada Ari. 

Di antara semua waktu yang berulang, di antara semua tahun yang datang dan pergi, satu hal yang kini Nara sadari, dia tidak perlu melangkah sendiri lagi.

Tangan Ari terulur, menyentuh lembut tangan Nara. "Ra, aku sudah menunggumu begitu lama. Jika kau siap, aku ingin kita mulai babak baru bersama. Aku ingin menjadi bagian dari perjalanan hidupmu, yang terakhir, yang juga terakhir untukku dan menua bersamamu."

Nara menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada rasa hangat yang mulai menjalar di dalam hatinya, sebuah perasaan yang selama ini dia sembunyikan, takut untuk menghadapinya. Dengan pelan, Nara meletakkan tangan di dada Ari, merasakan detak jantungnya yang kuat.

Ari, dengan penuh kasih, menarik Nara lebih dekat, hingga akhirnya Nara bersandar di dadanya. Dalam keheningan itu, ada kedamaian yang datang begitu dalam. Suara kembang api yang meledak seakan menjadi latar belakang bagi perjalanan baru yang akan mereka mulai.

Nara tak mampu menahan gejolak perasaan di dadanya dan tak ingin memungkiri betapa Ari selalu setia bersamanya, sebagai seorang sahabat. Baik ketika suaminya masih ada hingga ketika konflik keluarga menyertai, bahkan Ari tetap ada hingga akhir di saat fitnah besar menghantam dirinya dan harus mengakhiri hubungan keluarganya.

Ari juga ada di saat anak-anaknya tumbuh dan mereka juga menyadari bahwa Ari memiliki kehangatan berbeda dari suaminya. Itulah yang kerap mengundang kecemburuan namun Ari selalu bisa menegaskan bahwa ia hanyalah sahabat Nara. Untuk membuktikannya, Ari pun rela eksodus ke kota lain, menetap di sana dan memulai kehidupan bujangnya tanpa memperlihatkan ketertarikan dengan wanita secantik apapun.

Namun, hal itu pun tidak mengubah sudut pandangnya seperti orang-orang yang tidak menikah hingga usia "tua", setidaknya anggapan orang-orang di sekitarnya. Apalagi dengan maraknya kaum LGBT sekarang ini, mereka kian eksis bahkan tak jarang pula berusaha menarik Ari masuk ke lingkaran setan yang mereka buat.

Ari tetap berpendirian, bahwa hidup bujangnya adalah pilihan, bukan pelarian dari apapun. Apalagi pelarian atas penolakan cinta dari Nara. Sesuatu yang sangat Nara pahami dan berulang kali pula membahas kedalamannya. Namun Ari tetaplah Ari. Si kepala batu yang membiarkan dirinya terus ditumbuhi cinta semuanya kepada Nara.

Hingga malam itu, malam yang terasa sangat spesial, dari segala hal dan waktu yang berulang persis di beberapa tahun setelah kelahiran mereka di tahun 1975. Ya, mereka bukan lagi muda-mudi, bahkan sudah menjelang senja.

Nara menarik nafas dalam pula dan tangannya meraih tangan Ari, menggenggamnya.

"Tahun baru, Ari," bisik Nara, "Aku siap." ujarnya dengan meneteskan air mata.

Ari memeluknya erat, merasakan betapa luar biasanya perjalanan mereka hingga akhirnya menemukan titik temu di malam tahun baru.

Mereka berdua tahu, perjalanan ini adalah perjalanan yang penuh harapan, di mana mereka akan bersama-sama melewati setiap siklus waktu yang berulang, tetapi kali ini dengan cinta yang lebih matang, lebih kuat.

Di dalam pelukan Ari, Nara merasa bahwa cinta yang selama ini dia tolak, akhirnya datang dengan cara yang tepat. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nara merasa bahwa waktu yang berulang itu membawa mereka pada tempat yang benar---di sini, di malam tahun baru 2025, memulai babak baru bersama.

"Maafin aku, Ri.."

"Tidak ada yang salah, selama cintaku tak berubah hanya untukmu.."

Nara memeluk erat Ari dan memandang percik kembang api yang cahayanya memecah kegelapan malam.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun