Ari tersenyum, meskipun ada kesedihan di matanya. "Aku tahu, Ra. Aku tidak menginginkanmu untuk mengubah apapun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada, dan aku akan selalu ada, di sampingmu."
Ada keheningan sesaat di antara mereka. Nara menundukkan kepala, mengingat betapa lama dia menutup mata terhadap perasaan ini, terhadap cinta yang seharusnya sudah lama dia akui.Â
Tetapi kehidupan membuatnya sibuk, membuatnya terus bergerak, tanpa pernah berhenti untuk melihat ke sekelilingnya.Â
Terkadang, perasaan itu tersembunyi begitu dalam, seolah ia takut untuk membuka hati pada sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa saja membuatnya lebih rentan.
"Kenapa sekarang, Ari?" tanya Nara pelan, "Kenapa kau masih tetap menungguku?"
Ari menarik nafas sedalam mungkin, sementara pandangan Nara menerawang menatap fenomena malam yang sedang menerima kebisingan di setiap akhir tahun itu.
"Karena aku tahu bahwa suatu hari nanti, kita akan sampai di malam ini, di malam tahun baru ini, dan kamu akan merasa bahwa saatnya sudah tiba. Kamu sudah siap untuk membuka hatimu, bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa depan kita."
Dan di luar kembang api mulai meledak lagi melontarkan percik cahaya dan suara gelegarnya, menandakan pergantian tahun. Nara memandang langit yang dihiasi kilauan warna-warni, tetapi hatinya hanya tertuju pada Ari.Â
Di antara semua waktu yang berulang, di antara semua tahun yang datang dan pergi, satu hal yang kini Nara sadari, dia tidak perlu melangkah sendiri lagi.
Tangan Ari terulur, menyentuh lembut tangan Nara. "Ra, aku sudah menunggumu begitu lama. Jika kau siap, aku ingin kita mulai babak baru bersama. Aku ingin menjadi bagian dari perjalanan hidupmu, yang terakhir, yang juga terakhir untukku dan menua bersamamu."
Nara menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada rasa hangat yang mulai menjalar di dalam hatinya, sebuah perasaan yang selama ini dia sembunyikan, takut untuk menghadapinya. Dengan pelan, Nara meletakkan tangan di dada Ari, merasakan detak jantungnya yang kuat.