Tuti, yang sedang meracik jamu kunyit asem, menyahut. "Tapi, Pak Kusnad, bukankah ini tanda pemerintah mendengarkan rakyatnya?"
Pak Wira mengangkat alis. "Mendengarkan? Atau pura-pura budek dulu biar nanti dibilang pahlawan waktu nggak jadi naikkan pajak? Ini mah kayak anak kecil yang nggak jadi mainin petasan di depan emak. Padahal udah tahu itu salah dari awal."
Di sudut lain negeri, di ruang rapat istana, Perdana Jendral Kasuma sedang berbincang dengan Penasehat Agung Parmin dan Menteri Perencanaan, Tuan Darmin.
"Bagaimana reaksi rakyat?" tanya Kasuma sambil menatap cermin di meja kerjanya, memastikan rambutnya tetap tertata sempurna.
"Beragam, Paduka," jawab Parmin dengan nada hati-hati. "Sebagian bersyukur, sebagian bingung, sebagian lainnya merasa ini cuma taktik politik menjelang musim pemilu."
Darmin yang duduk di sebelah Parmin, mengangguk sambil memegang dokumen.Â
"Paduka, kalau saya boleh usul, kita perlu siapkan narasi cadangan. Kalau mereka mulai curiga, kita bilang ini bagian dari strategi besar menyelamatkan ekonomi negeri. Rakyat biasanya mudah teralihkan."
Kasuma mengangguk pelan. "Biarkan mereka berpikir apa yang mereka mau. Yang penting, kita terlihat bijak. Dan ingat, perintahkan media untuk terus memuji keputusan ini. Rakyat suka cerita pahlawan, Parmin."
Kembali ke Ketilang Cemplung, suasana warung semakin ramai. Pak Wira terus berceloteh, mengkritik keputusan yang plintat-plintut itu.
"Ini namanya nggak tegas. Kalau jadi naik, ya naik. Kalau nggak, ya jangan dari awal bilang mau naik. Apa mereka kira keputusan ini kayak ngecek harga cabe di pasar, bisa naik turun suka-suka?"
Mpok Jumi mengangguk. "Tapi begitulah cara mereka bikin kita ribet. Biar kita sibuk ngomongin pajak, mereka bisa ngelakuin hal lain yang nggak kita perhatiin."