Di negeri Tembokto, kabar gembira yang penuh teka-teki melayang dari istana megah di pusat kota Atrakaj.Â
Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Jendral Kasuma baru saja mengumumkan bahwa kebijakan pajak baru yang selama ini menjadi bahan perdebatan panas di warung kopi dan kedai teh tak jadi diberlakukan.Â
Pajak PND (Pajak Negeri Damai) yang direncanakan naik dari 10% menjadi 12% ternyata ditunda. Entah karena mendengar rintihan rakyat kecil atau karena ada kalkulasi politik yang lebih rumit daripada ilmu hitung anak SD.
Di sebuah gang kecil di Kampung Ketilang Cemplung, suasana warung Pak Wira sedang riuh. Dudung si pengangguran berbakat, Tuti si penjual jamu, Wagyuman si tukang tambal ban, Kusnad si guru sejarah, dan Mpok Jumi si penjual nasi uduk sedang berbincang.
"Jadi, PND nggak jadi naik?" tanya Dudung sambil menyeruput kopi yang sudah mendingin. "Berarti kita bisa napas lega dong?"
Pak Wira mendengus. "Napas lega? Kalau ini soal napas, kita udah lama mati lemas, dong. Mereka cuma narik rem tangan sebelum nabrak jurang."
Mpok Jumi, yang baru saja datang dengan membawa nasi uduk dagangannya, ikut menyahut. "Itu namanya strategi, Pak Wira. Kayak orang jualan, naikin harga dulu, terus kasih diskon. Jadi kita ngerasa diuntungin, padahal mah nggak."
Wagyuman tertawa kecil sambil mengelap tangan bekas oli. "Betul itu, Mpok. Sama aja kayak tambal ban. Kadang saya bilang harga naik karena karet ban langka, padahal ya biasa aja. Biar pelanggan merasa beruntung kalau dapet harga lama."
Kusnad, yang duduk sambil membaca buku sejarah, menambahkan dengan nada serius. "Tapi kalau ini terus-terusan terjadi, kita nggak belajar dari sejarah, Pak Wira."
Saat Kusnad serius bicara, yang lain menyimak dengan sangat serius dan sambil menyeruput kopi.
"Dulu zaman kerajaan di Nusagara, kebijakan plintat-plintut kayak gini juga bikin rakyat kehilangan kepercayaan. Apa mereka nggak takut kalau ini jadi boomerang?" lanjutnya.