Di negeri Tembokto, tepatnya di kota Atrakaj, pemerintah kembali menghadirkan inovasi kontroversial: Pajak Garuk Kepala.Â
Dengan dalih mengurangi kebiasaan mengeluh yang dianggap merusak produktivitas bangsa, aturan ini resmi diberlakukan minggu lalu.Â
Kebijakan ini pun sontak menjadi bahan obrolan hangat di warung kopi hingga ruang kelas. Salah satu korbannya adalah Pak Kusnad, seorang guru sejarah yang tinggal di kampung Ketilang Cemplung. Ia sudah lama merasa dunia tak adil padanya.
Pak Kusnad, pria separuh baya dengan gaya bicara tegas, adalah tipe orang yang menganggap garuk kepala sebagai pelampiasan emosi paling sahih.Â
Saat ia pertama kali mendengar kabar tentang pajak ini, tangannya refleks menggaruk kepala. "Hah?! Pajak garuk kepala? Ini negeri makin aneh aja! Eh, ini saya baru kena pajak?" ujar Pak Kusnad seraya menatap tangan yang baru saja mendarat di ubun-ubunnya.
Tak butuh waktu lama hingga dampak kebiasaan refleksnya terasa. Hanya dalam seminggu, surat tagihan pajak dari Kementerian Garukan tiba di rumahnya.Â
"Total garukan minggu ini: 85 kali. Total pajak terutang: Rp850.000." Pak Kusnad terperangah. "Astaga, saya bisa makin miskin gara-gara ini!" katanya sambil... ya, menggaruk kepala lagi.
Pak Kusnad memutuskan untuk melawan kebiasaan refleksnya ini. Ia mencoba berbagai metode, mulai dari mengikat tangannya saat mengajar hingga menempelkan plester di jidatnya sebagai pengingat.Â
Namun, usaha tersebut hanya berakhir mempermalukan dirinya di depan murid-murid.
"Pak, bapak cosplay jadi mumi ya?" celetuk Budi, salah satu muridnya, sambil tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Pak Kusnad hanya bisa menahan emosi, yang tentu saja memicu keinginan untuk menggaruk kepala.
Ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran teman-temannya: terapi mindfulness. Sayangnya, kelas mindfulness yang seharusnya menenangkan malah membuatnya stres karena biaya pendaftaran juga dikenai pajak hiburan.Â
"Ini negeri mau bikin saya mati stres apa gimana sih?" gumamnya.
Segala upayanya untuk menahan diri dari kebiasaan refleks itu berujung pada stres berat.Â
Pak Kusnad mulai sering mengigau di malam hari, mengulang-ulang kata "Jangan garuk, jangan garuk!".Â
Puncaknya, ia ambruk di ruang guru setelah mendapat pengumuman tentang revisi kurikulum baru yang lebih membingungkan daripada sebelumnya.
Pak Kusnad dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah ia mendapatkan kejutan berikutnya: tagihan medisnya melambung tinggi karena dianggap sebagai "pelanggaran pajak kesehatan."Â
Ternyata, stres akut yang dialaminya dikategorikan sebagai dampak buruk atas kurangnya upaya menjaga kesehatan mental.
Keluarga Pak Kusnad yang kebingungan bertanya kepada pihak rumah sakit apa solusi terbaik untuk kasus ini.Â
Seorang pejabat yang kebetulan sedang mengadakan inspeksi rumah sakit menawarkan solusi: "Pak Kusnad bisa ikut program terapi yoga nasional. Sangat bermanfaat untuk relaksasi. Tapi, ya... ada pajaknya sedikit."
Epilog
Pak Kusnad terpaksa mengikuti terapi yoga dengan biaya tambahan yang membuat dompetnya semakin tipis.Â
Meski begitu, ia akhirnya menemukan kebebasan emosional dengan satu pose favoritnya: "Garukasana," pose yoga di mana ia bisa menggaruk kepala tanpa rasa bersalah.
Begitulah kisah Pajak Garuk Kepala ini di kota Atrakaj. Entah solusi atau jebakan ekonomi, kebijakan ini telah berhasil menciptakan satu hal: warga yang semakin kreatif mencari alasan untuk tidak garuk kepala, sambil diam-diam menangis dalam hati.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H