Di negeri Tembokto, tepatnya di Kampung Ketilang Cemplung, pagi itu ada keributan besar!
Warung nasi uduk Mpok Jumi, yang biasanya jadi tempat tongkrongan ibu-ibu Kampung Ketilang Cemplung, mendadak penuh bisik-bisik seru soal bahan gibahan terbaru. Katanya, pemerintah kota Atrakaj bakal memberlakukan pajak udara.
"Gimana ceritanya udara bisa kena pajak? Kita napas aja bayar?" teriak Mpok Jumi dengan ekspresi mirip orang habis ketiban jemuran.
"Ya katanya sih buat menjaga keseimbangan ekosistem, biar udara tetap bersih," jawab Mak Iyem, tetangga sekaligus pelanggan setia, sambil menyeruput teh tubruk yang masih mengepul.
"Terus?' tanya Mpok Jumi bak arwah penasaran.
"Salah satunya, nggak boleh ada bau-bauan menusuk yang kecium orang," jawab Mak Iyem yang gayanya sudah seperti penyiar kondang Peni Ros membawakan acara gosip.
Mpok Jumi melongo. Sebagai penjual nasi uduk, dia tahu benar bahwa aroma wangi santan, bawang goreng, dan rendang yang menyeruak tiap pagi adalah daya tarik utama warungnya. Kalau wangi-wangi itu kena pajak, alamat bangkrutlah dia.
Malam harinya, Mpok Jumi mulai memutar otak. Setelah ngelamun sambil menatap poster grup dangdut lokal di dinding, muncullah ide brilian: dia akan memasak di tempat tertutup.Â
Tujuannya? Mengurangi pengeluaran udara, tentu saja. Maka, garasi Pak Rete yang biasanya jadi tempat jemur kasur segera disulap jadi dapur darurat.
"Biar nggak ada udara keluar. Logika gue bener, kan?" gumamnya sambil membungkus ventilasi garasi dengan plastik bekas.
Namun, hasilnya sungguh di luar ekspektasi. Dalam satu jam, garasi itu berubah jadi sauna. Berasap dan super pengap!Â