"Pak Wagyuman, Anda dituduh sebagai dalang protes anti-pemerintah. Barang bukti sudah jelas: masker-masker ini digunakan untuk menghindari pajak senyum!" ujar salah satu petugas dengan tegas.
Wagyuman tentu saja kebingungan. "Protes gimana, Pak? Saya cuma bantu warga biar nggak kebanyakan keluar duit. Lagian masker ini kan buat kesehatan juga. Anti debu, anti senyum, komplit!" jawabnya dengan muka penuh harap.
Namun, aparat tetap tak mau kompromi. Wagyuman dibawa ke kantor pajak untuk diinterogasi lebih lanjut. Di sana, dia dihadapkan pada seorang pejabat tinggi yang tampangnya selalu kaku seperti patung.Â
"Pak Wagyuman, Anda tahu bahwa tindakan Anda bisa dianggap subversif?" tanyanya dingin.
Wagyuman hanya bisa menelan ludah. Tapi tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dari kantong celananya, Wagyuman mengeluarkan amplop tebal berisi uang hasil penjualan masker.Â
"Pak, ini semua hasil jualan saya. Saya mau nyumbang buat pajak solidaritas. Biar adil, saya bayar pakai ini. Lagian, kalau saya masuk penjara, siapa yang tambal ban?" katanya polos.
Mendengar itu, sang pejabat terdiam. Para aparat saling pandang, bingung harus bagaimana. Setelah rapat kilat selama lima menit, mereka memutuskan untuk membebaskan Wagyuman.Â
Alasannya? Kontribusi "pajak solidaritas" dianggap cukup untuk menutupi semua tuduhan.
Wagyuman pulang dengan perasaan lega, meskipun dompetnya kosong melompong. Di kampung, dia disambut bak pahlawan.
Warga bahkan membuatkan spanduk bertuliskan: "Pak Wagyuman, Sang Penyelamat Senyum Kita!". Wagyuman cuma tersenyum kecil, kali ini tanpa takut pajak.
"Sudahlah, yang penting masih bisa hidup. Lagian, ide masker masih ada cadangannya. Besok saya bikin masker motif bibir cemberut aja.Â