Namun, seperti kata pepatah, di mana ada tekanan, di situ ada ide kreatif, Wagyuman mulai berpikir keras bagaimana cara mengakali kebijakan absurd ini.Â
Setelah dua malam tidak bisa tidur, akhirnya dia punya ide brilian: menjual masker penutup wajah!Â
Dengan masker ini, ekspresi wajah bisa disembunyikan, dan siapa pun tidak perlu khawatir ketahuan senyum. "Top banget ide saya! Sekali ini pasti laris," pikirnya penuh semangat.
Benar saja, keesokan harinya, lapak tambal ban  Wagyuman berubah fungsi menjadi toko masker.Â
Dia menawarkan masker-masker dengan berbagai motif: mulai dari wajah marah, netral, hingga wajah badut.Â
Para warga yang sudah muak dengan pajak senyum langsung menyerbu. "Pak, ada stok masker muka seram? Biar nggak ada yang berani minta senyum!" tanya seorang ibu-ibu dengan penuh harap.
Bisnis masker ini berkembang pesat. Bahkan, ada seorang pengusaha kaya yang memesan masker dengan motif senyum palsu khusus.Â
"Ini biar saya tetap kelihatan bahagia di depan klien, tapi nggak perlu bayar pajak," katanya sambil tertawa, meski suara tawanya agak palsu.
Namun, kesuksesan mendadak Wagyuman ternyata mengundang perhatian aparat pemerintah. Pak Rete, yang selama ini dianggap antek pemerintah, melaporkan aktivitas mencurigakan di lapak tambal ban tersebut.Â
"Ada yang nggak beres! Ini seperti bentuk protes terselubung terhadap kebijakan negara," lapor Pak Rete kepada petugas pajak setempat.
Tak lama kemudian, datanglah rombongan petugas dengan seragam lengkap. Mereka mengepung lapak  Wagyuman seperti hendak menangkap buronan kelas kakap.Â