Di ajari beliau, nilai bahasa saya di raport bagus dan bisa mengatrol hingga ranking naik, namun tak usah disebut ranking berapanya ya, karena juga bukan ranking yang tinggi-tinggi amat dan pantas dibanggakan.
Dan dari semua guru saya yang semuanya spesial, bagi saya guru yang akan di bahas di pamungkas ini adalah yang benar-benar harus terucap terima kasih tanpa pamrih dan tiada terperikan.
Namanya, bapak Soeparno, guru matematika di SMA. Dan pelajaran matematika adalah pelajaran yang sangat tidak saya sukai!
Dan ini pun bukan kisah saya tentang mendadaknya saya menjadi ahli matematika, tidak.
Justru yang saya ingin sampaikan adalah peristiwa tragedi yang tak terlupakan seumur hidup, bahkan menjadi "kartu mati" bully-an abadi di saat berkumpul bersama kawan-kawan sekelas dulu di masa kini.
Tapi ketika saya menceritakan ini, atau bahkan ketika diledek atas teringatnya peristiwa itu, saya biasa saja, seraya terus bertanya, berdoa dan mencari tahu kabar beliau seperti apa sekarang.
Kisah "tragedi" itu terjadi setelah beberapa hari kemudian di suatu malam, tetangga saya yang menjadi kakak kelas bercerita agar mewaspadai Pak Parno.
Menurutnya, beliau adalah "nightmare", mimpi buruk bagi anak-anak jurusan A-2 atau IPA-Biologi. Pasalnya setiap tahun ajaran, selalu saja "memakan korban".
Agak ekstrim ya, tapi seperti itulah saya diperingatkan, beliau dianggap guru yang ringan tangan karena suka menampar siswanya. Selain itu juga selalu memberikan hukuman bagi mereka yang bernilai di bawah 6 saat ulangan matematika bersamanya.
Awalnya, meski suasana selalu tegang, ada satu hal yang menurut saya mengagumkan. Beliau setiap mengajar, hanya membawa satu buku cetak dan langsung menyebut nama-nama siswanya untuk mengevaluasi PR di papan tulis.
Jika ulangan pun, kami tidak bisa mencontek karena selalu menyiapkan varian soal diantara murid yang berbeda. Jadi ia membuat soal berdasarkan grup dan deretan duduk kami. Depan belakang, kanan kiri, soalnya beda semua! Keren kan?