Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sunflower (3), The Battle of Bunga Matahari

1 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:17 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara seminar, pelatihan, atau hal sejenisnya, buat Matahari adalah sesuatu yang membosankan. Dia orang kreatif yang "hiperaktif" dan paling suka melakukan aktivitas menulis, ditambah lagi aslinya Matahari ini orang yang koplak dan seenak udelnya. Jadi aktivitas yang banyak diamnya terasa begitu menyiksa baginya. Kalaupun dia bisa diam saat menulis, maka harus diselingi koprol setiap 3 jam, eh nggak gitu juga sih. Yang penting  dia harus bergerak.

Meski tersiksa dan tak bisa diam, Matahari masih mampu menyimak setiap detil dari presentasi materi yang disampaikan, bahkan dari sana jika ada hal yang belum dimengerti atau dirasakan tidak tepat, pasti ia akan bertanya serta menanggapi.

Hal yang sama juga terjadi dengan Bunga, meski berbeda dengan kondisi Matahari, ia juga "cerewet" alias banyak bertanya. Maka suasana menjadi seru oleh ulah mereka berdua.

Begitu pula saat terjadi Forum Group Discussion (FGD) yang malam itu mengambil tema "Kepemimpinan Karang Taruna di Tengah Masyarakat".

"Karang Taruna ini kan organisasi kepemudaan resmi dan juga dengan kaitannya mengenai pembahasaan kita mengenai kepemimpinan, akhirnya timbul pertanyaan dalam diri saya. Dan yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana kader Karang Taruna bisa menjadi pemimpin pemuda dan perilakunya diteladani kalau masyarakat sendiri belum banyak yang tahu tentang kiprah serta manfaat dari kegiatannya? Bagaimana menurut Anda saudari Bung A?" tanya Matahari sedikit mencecar disertai senyuman dan tawa kecil dari peserta lain karena sebutan Bung A.

"Sebenarnya hal itu sudah sempat dijelaskan di makalah kami tadi meski belum eksplisit. Dan nama saya Bunga, bukan Bung A, saudara Matahari," ungkap Bunga tegas.

"Lho, kita kan lagi FGD. Jawabannya harus eksplisit, detil dan praktis dong," kejar Matahari.

"Siapa yang mengharuskan?" tanya Bunga.

"Saya, kan itu pertanyaan dari saya. Anda tidak menyimak ya?" Cecar Matahari.

Sementara yang lain sudah mulai resah, ada yang garuk-garuk kepala, garuk-garuk tembok, garuk Pedagang Kaki Lima...eh..pokoknya semua sudah mulai mencari kesibukan untuk mengalihkan dari diskusi mereka yang sudah mengarah ke debat kusir antara Bunga dan Matahari.

"Saya bukannya tidak menyimak, mungkin Anda yang tidak menyimak. Karena di materi presentasi kami seharusnya, sudah cukup jelas," Bunga tak mau kalah.

"Memandang itu harus obyektif saudari Bunga. Jangan subyektif begitu. Semua pasti bilang, materinya sudah menjelaskan dan terbaik. Dan itu tidak menjawab pertanyaan saya sama sekali," Matahari makin tak mau mengalah.

"Ya lebih baik Anda baca dulu,"

"Sudah, makanya saya tanya. Jangan-jangan Anda yang nggak paham nih,"

Untung sudah mulai pusing, dan ia sebagai moderator mulai melerai, "Sudah, sudah. Ayo kita kembali ke topik,"

"Topik lagi izin ke toilet, Bang." canda Matahari disambut tawa.

Bunga memaki dalam hati, gemas juga melihat Matahari yang di perdebatan seperti itu, masih bisa melempar Joke yang pas, jadi sesaat bisa meluluhkan ketegangan suasana.

"Tolong serius, Mat," tegur Untung.

"Saya kan dari tadi serius, bang. Tapi Saudari Bunga ini yang nggak bisa serius menjawab pertanyaan saya."

Bunga spontan hendak berdiri saking kesalnya, tapi ditahan oleh teman-temannya supaya ia bersabar, "Baik saya jelaskan."

"Nah, dari tadi dong. kan saya juga nungguin ini," jawab Matahari santai dengan meluruskan kaki serta menaruh dua tangganya di belakang kepala.

"Cara terbaik supaya Karang Taruna dikenal adalah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bisa masuk ke dunianya anak-anak muda. Setelah itu ajak mereka untuk terlibat, sama seperti saya yang pada awalnya sebenarnya sama sekali tidak tahu tentang Karang Taruna." Bunga menjelaskan dengan tangkas.

"Benar kan kata saya, nggak semua anak muda di wilayah kita kenal dan paham tentang Karang Taruna," Matahari berkata dengan tersenyum dan penuh kemenangan.

"Untuk itu kita perlu sosialisasi dengan cerdas," jawab Bunga.

"Gimana caranya," tanya Matahari.

Bunga mulai sewot dan mukanya terlihat sangat kesal, tapi kembali teman-temannya menenangkan.

"Ya dengan kegiatan-kegiatan yang saya katakan tadi," tegas Bunga.

"Setiap kegiatan kan butuh dana. Darimana kamu bisa dapat dananya? Ngarepin anggaran pemerintah? Atau mengambil dari dana operasional Karang Taruna, sponsorship, donasi? Gimana, saudara Bunga?" Matahari kian mencecar.

"Begini. Pemuda itu dikenal dengan keberanian dan kreativitasnya. Dua poin ini yang harus kita angkat. Jangan bermental pengemis hanya dengan mengharapkan anggaran yang sudah tersedia. Saya setuju dengan dua opsi terakhir dari pertanyaan saudara, yaitu sponsorship dan donasi. Kita bisa minta dana-dana CSR mungkin atau mendirikan unit usaha, koperasi, dan sumber dana lainnya yang bersifat pengembangan potensi anggota dan kader Karang Taruna," Bunga menjelaskan detil layaknya caleg berkampanye.

Matahari kagum, yang lainnya bengong sampai ngiler dan tersadar setelah ilernya berceceran di lantai...eh..ya nggak gini juga kali deh..

"Cakep..." Matahari berkata sambil spontan bertepuk tangan.

"Makasih," ujar Bunga tersenyum.

"Makin cakep aja kamu kalo senyum gitu," puji Matahari gombal.

Dan hari kedua itu memang padat diskusi, dari pagi sampai malam, sehingga rasa penat begitu terasa. Belum lagi besok di acara penutupan masih ada FGD yang menyimpulkan semua diskusi. Selebihnya, di sisa waktu sebelum pulang, mereka akan outbond dan mengadakan acara ramah tamah.

Sebenarnya yang hampir semua peserta incar adalah kegiatan terakhir sebelum pulang itu. Terlihat dari banyaknya peserta yang cenderung pasif saat diskusi, bahkan sampai adapula yang tertidur. Parahnya lagi, ada saja peserta LDK yang tidak ikut masuk kelas, melainkan hanya tidur di kamar Villa yang nyaman serta sejuk.

Kadang, acara seperti itu juga dijadikan ajang untuk cari gebetan bahkan pacar baru. Seperti Untung yang sudah kelihatan banget mengincar Melati. Dimana ada Melati dia nimbrung, padahal Melati selalu bersama dengan Bunga dan Matahari. Maka habislah si Untung diledek Matahari.

"Ngapain lu bang duduk sama kita. Lu kan senior?" Matahari mulai meledek.

"Di luar kelas dan acara, kagak ada senioritas yunioritas gebleg," balas Untung, "Saya izin nimbrung boleh kan, Bunga, Melati?" ujarnya minta  izin.

"Udah duduk gitu masa nggak mau di izinin," senyum Bunga.

"Eh, iya juga sih. Tapi beneran nggak apa-apa kan?" Untung bertanya ulang.

"Kagak boleh ah. Ini zona yunior," Matahari asal nyeletuk.

"Eh, nggak gitu juga kali, Mat. Nggak apa-apa kok, kan kursinya ada empat. Silahkan aja, Bang," Melati pun akhirnya berpendapat.

"Ya paling, kita nggak bisa ngerumpiin senior. Iya nggak, Mat?"

"Yoi. Lagipula gimana mau gosipin, lha orangnya nongol gini," ledek Matahari.

Bunga langsung klik dan menyambung ledekan Matahari, "Iya juga ya. Gosip itu kan asyiknya di belakang orangnya, kalo di depan namanya nasehatin. Masa yunior nasehatin senior,"

Mereka bertiga tertawa kecuali Untung yang jadi merasa di bully yunior-yuniornya. Tapi memang cinta butuh pengorbanan, bukan? di bully seperti itu terlalu mudah bagi Untung yang memang sudah mengincar Melati, meski mereka berbeda Kecamatan, tapi "radar" pantauannya sudah "menyala" sejak ia sering main ke wilayah Karang Taruna Matahari dan Melati.

"Mereka berdua ini emang gini, Bang. Kalo diskusi kayak kemaren, rame banget. Giliran makan, bisa ketawa dan kompak ngecengin orang," ucap Melati.

"Yoi!" ucap Bunga dan Matahari berbarengan laksana anak kembar yang terpisah ribuan tahun...eh..

Dan selesai acara, mereka pun kembali ke Jakarta dengan tetap dipulangkan di kantor Walikota Jakarta Selatan.

"Bunga, senang gue kenal sama elo,"

"Iya, Mat. Ternyata elo seru banget ya orangnya,"

Mereka kemudian bersalaman sambil tesenyum dan saling tatap beberapa saat.

Kok jadi seperti melihat kiprah para politisi negeri ini ya. Berdebat sampai seperti ingin berkelahi, namun setelah acara selesai malah asyik ngopi bareng dan ternyata juga bersahabat. Padahal para penonton serta pendukungnya "gila" dan menjunjung tinggi "azas" Fanatisme buta sehingga tercipta kubu-kubu yang saling benci satu sama lain.

Negeri yang aneh emang...***

BERSAMBUNG

Yang ketinggalan atau mau baca ulang Bab terlewat, silahkan klik sesuai keinginannya:

Bab 1

Bab 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun