Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tips Membangun Rasa Percaya Diri yang Mudah dan Realistis

29 September 2024   08:57 Diperbarui: 29 September 2024   09:21 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi foto pribadi

"Mas Dim, Gimana sih caranya supaya kita percaya diri?" tanya seorang peserta acara saat saya diundang menyampaikan motivasi.

Tema acara yang saya sampaikan bukan tentang percaya diri, tapi karena ada pertanyaan tentu harus dijawab. Di saat menjawab itulah saya merasa dejavu.

Saya kemudian menjawab pertanyaan itu dengan menceritakan pengalaman pribadi membangun rasa percaya diri, yang jika mengingat hal itu, rasanya saya merasa beruntung bisa melewatinya.

Dulu,  ketika anak-anak dan remaja, saya dikenal sebagai anak pendiam dan terkesan apatis terhadap kegiatan-kegiatan rapat dalam organisasi yang pernah saya ikuti.

Semua itu terjadi hanya satu, karena saya tidak punya rasa percaya diri. Apa yang saya bayangkan di kepala adalah penilaian orang dan penilaian orang itu akan menjatuhkan manakala terjadi kekurangan di dalam bertindak.

"Maaf, sebelumnya saya mau tahu, apa fungsi tubuh kamu ada yang kurang, cacat gitu?" tanya saya.

Si peserta menggelengkan kepala, "Tidak."

"Oke. Sekarang saya tanya, menurut kamu, saya punya kekurangan atau kecacatan fungsi tubuh atau tidak?" tanya saya lagi.

Peserta pun mulai memperhatikan saya dengan tajam, berusaha mencari kekurangan apa sebenarnya yang ada pada diri saya. Namun, tidak berhasil mereka temukan.

"Coba kamu, atau siapa saja berdiri. Dan bisikkan sesuatu ke telinga kanan saya," saya meminta kepada seluruh peserta.

Dan salah seorang maju ke depan melakukan persis apa yang saya minta. Setelah selesai saya tidak bisa menyebutkan apa yang dia katakan, karena memang saya tidak dengar.

Berangkat dari sanalah saya kemudian bercerita bahwa saya tuli sejak kelas 1 SMA. Peserta mulai heboh karena tak percaya. Jangankan mereka, mama saya pun sampai beliau wafat, tidak pernah tahu bahwa saya kehilangan pendengaran dikala saya remaja.

Dan tidak pernah ada yang tahu! Bahkan di acara tersebutlah, pertama kali saya mengungkapkannya.

"Apakah saya terlihat sebagai orang yang mengalami krisis percaya diri?" tanya saya kepada mereka

"Tidak!" hampir serempak mereka menjawab.

Bagaimana saya bisa melewati itu semua? Inilah yang saya lakukan hingga di usia sekarang ini, saya sering berbicara di depan publik untuk menyampaikan banyak hal.

1. Menerima keadaan

Sebagai seorang remaja yang tiba-tiba kehilangan pendengaran sebelah, tentu adalah hal yang sangat menakutkan. Dan itu sangat betul. Masa-masa SMA saya lewati dengan rasa minder, tapi wujudnya terlihat hanya sebagai orang yang tak pandai bergaul alias sangat pendiam.

Saya tidak berani melanjutkan pengobatan setelah diduga itu terjadi karena ada kotoran di telinga. Waktu itu orang tua saya mengantar ke dokter spesialis THT. Biaya cukup mahal. Sehingga setelah merasa tidak ada perubahan saya "berbohong" pada mereka.

Saya berusaha menerima keadaan daripada nantinya merepotkan mereka. Jadi, saya menerima semua derita dan segala derita yang nanti akan terjadi.

2. Bersyukur

Setelah kondisi itu terjadi, saya menerimanya dengan cara coba mensyukuri keadaan, bahwa telinga kiri saya masih berfungsi. Dan hingga kini fungsinya menjadi sangat tajam, sehingga seolah-olah, saya tetap mendengar dengan dua telinga.

Dari sana pula saya menemukan "tafsiran" kata bersyukur versi sendiri, yakni menerima apa yang ada dengan tidak berharap pada sesuatu yang belum ada atau tidak pasti.

3. Beradaptasi

Dengan satu telinga saya beradaptasi. Saya bergaul  semampunya meski rasa minder sangat terasa hingga ketika drop out dari bangku kuliah, saya justru menemukan cara beradaptasi terindah.

Cara adaptasi yang saya lakukan ada dua, internal dan eksternal. Internal, saya menyimpan rahasia besar yang terungkap ke istri dan mertua untuk pertama kalinya. Selama itu, saya akal-akalan agar orang tidak tahu bahwa saya budeg! yaitu dengan cara:

a. Humor

Saya memanipulasi ketulian dengan bercanda seperti mengikuti H.Bolot. Meski saya tidak dengar, dengan canda, mereka menduga saya hanya pura-pura tidak dengar sehingga mereka menganggap saya normal-normal saja.

b. Memilih tempat

Saat naik bus, menghadiri acara, berada di kelas, atau dimana saja, saya selalu mengambil posisi sebelah kanan agar yang tersedia dan bisa menangkap suara hanya telinga kiri.

c. Sok paham

Kalau saya merasa sama sekali tidak memahami omongan orang karena tidak dengar,  saya biasanya hanya mengangguk-angguk sambil bergaya merespon dan mengatakan "Oooo gitu..".  Dari situ saya coba mengulangi topik dan berusaha menangkap intinya dari kata yang tidak saya dengar tadi.

4. Menggali potensi

Menyadari adanya kelemahan, saya tidak mau melemah hingga saya selalu ingin menggali potensi diri. Saya jadi orang yang senang belajar dan bertanya. Tanpa sadar ternyata saya jadi banyak paham dan bisa, dari sinilah mulai muncul rasa percaya diri bahwa ternyata bertelinga satu pun bukan masalah besar.

5. Kuasai potensi yang sudah tergali

Ketika misalnya kita sudah menemukan potensi yang ada, kuasai dan terus tingkatkan agar menjadi ahli, setidaknya, memiliki nilai berbeda dari yang orang punya. karena hanya dengan begitu, orang hanya akan mencari dan disitulah rasa percaya diri akan terus meningkat.

6. Berbagi

Untuk menutupi ketulian saya dan ketika rasa percaya diri sudah tumbuh, saya mulai memberanikan diri untuk berbagi ilmu dan sebagian harta, atau setidaknya, ketika "dipanggil" untuk jadi pembicara serta menulis tidak memasak tarif premium. Jika pun iya, maka saya sisakan untuk....(rahasia).

Percaya diri bagi saya adalah sebuah sikap yang harus ada karena Tuhan sudah sangat percaya bahwa kita mampu melakukan apapun, dimana hal itu terbukti dengan diberikannya segala yang kita butuhkan, bahkan tanpa disadari.

Jangan pernah takut dengan risiko karena risiko terbesar dari sebuah kehidupan itu adalah kematian. Bukankah setiap makhluk pasti akan mati. Jadi mengapa harus takut atau khawatir terhadap sesuatu yang sudah pasti?

Tidak perlu pula overthinking, jalani saja semuanya tanpa harus mempertimbangkan segala yang kita pikirkan.

Memang membangun rasa percaya diri ini tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa, karena Anda pasti bisa!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun