menulis. Ya, nggak apa-apa juga sih kalau ada yang berpendapat begitu.
Mungkin sepintas pembahasan ini merupakan pandangan subyektif saya sebagai seseorang yang mengaku dan hidup dariNamun saya berusaha untuk tidak sesubyektif itu dalam menjelaskan perkara menulis ini, artinya, saya coba mengungkapkan dari berbagai sudut serta pengalaman pribadi selama menjalani hidup selama hampir setengah abad ini.
Meski mungkin literasi di negeri ini yang merupakan bagian dari dunia tulis-menulis masih belum bagus, itu jika tidak mau dikatakan buruk.
Dilansir dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.Â
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).Â
Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Dan uniknya, menurut dari artikel di laman Kominfo RI tersebut, meski malas membaca, tapi bangsa ini sangat cerewet di Media Sosial.
Dilihat dari data-data tersebut rasanya miris, namun jika mau diambil positifnya tentu ada. Misalnya, ketika kita coba menggunakan "Filosofi Masih Untung" yang sering digunakan masyarakat.
"Masih untung mereka baca tulisan di medsos dan mau menuliskan kecerewetannya di sana," mungkin itu perkataan yang bisa diambil sisi positifnya.
Entahlah, argumen seperti itu tepat dan bisa dibenarkan atau tidak, namun demikianlah faktanya.
Dengan buruknya literasi "normal" tapi bangsa ini menjadi sedemikian barbarnya di dalam menuliskan perasaan serta pikirannya di media sosial. Sebenarnya, mungkin, tinggal diarahkan saja agar memahami literasi yang sebenarnya seperti apa.
Menulis sebagai aktivitas pencatatan resmi ataupun sekadar dokumentasi kejadian pun masih sangat minim. Penulisan data-data dan sejarah bangsa ini boleh dibilang kacau!
Dilansir dari ANTARA, sebanyak 472 benda budaya Indonesia dikembalikan pemerintah Belanda pada acara penyerahan di Museum Nasional Etnologi di Leiden, Belanda pada Senin (10/7/2023).
Lihat, Belanda tanpa kita sadar telah membuat sebuah pencatatan terhadap sekian banyaknya artefak milik kita yang disimpan oleh mereka di Leiden. Bahkan konon, jika mau belajar tentang budaya kita, di sana sangatlah lengkap datanya. Miris..
Kesadaran kolektif tentang menulis perlu lebih ditingkatkan lagi di kalangan akademis, terutama di tingkat pendidikan dasar.
Entahlah, apakah sistem pendidikan yang bergonta-ganti dari pemerintah lebih menitikberatkan pada permasalahan ini atau tidak. Jika melihat dari buruknya literasi dan sistem pendataan di berbagai bidang, rasanya sih masih sangat jauh dari harapan.
Maka kanal-kanal informasi seperti kompasiana, blog, media sosial, sebenarnya bisa menjadi sarana perubahan agar bangsa ini lebih "melek" literasi dan mulai dapat menulis tentang banyak hal mengenai negeri ini.
Itu pula yang tengah saya lakukan sejak lama, mau ada uangnya atau tidak, saya selalu berusaha menulis, entah hanya sekadar menulis yang pada akhirnya menjadi dokumen di laptop, maupun menulis di kanal-kanal yang tadi sudah disebutkan.
Bagaimana dengan anda? Yuk ah, mulai menulis...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H