Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Amuk, Sebuah Kata Singkat dengan Sejarah Besar untuk Diksi Dunia

8 September 2024   21:00 Diperbarui: 8 September 2024   21:05 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1901, di provinsi Phang, Malaysia, seorang pria Muslim berusia 23 tahun yang sebelumnya adalah anggota kepolisian mencuri pedang Melayu dan menyerang 5 orang saat mereka sedang tidur atau menghisap opium. Ia membunuh 3 orang, hampir memenggal kepala 1 korban, dan melukai yang lainnya dengan serius .


Amok pertama kali diklasifikasikan sebagai kondisi kejiwaan sekitar tahun 1849 berdasarkan laporan dan studi kasus yang mengungkapkan bahwa sebagian besar individu yang mengamuk menderita penyakit mental. 

Dan sebelum masa itu, amok dipelajari dan dilaporkan sebagai keingintahuan antropologis saja.

Jin-Inn Teoh, seorang profesor psikiatri di Universitas Aberdeen di London, melaporkan pada tahun 1972 bahwa perilaku mengamuk terjadi di semua negara, hanya berbeda dalam metode dan senjata yang digunakan dalam serangan tersebut. 

Menurut Teoh, budaya merupakan faktor modulasi yang menentukan bagaimana amuk terwujud, tetapi bukan apakah itu terjadi atau tidak. 

Dalam seperempat abad berikutnya, kejadian perilaku kekerasan yang mirip dengan amuk telah meningkat secara dramatis di negara-negara industri dunia, melampaui kejadiannya dalam budaya primitif.

Singkatnya, mengamuk tidak boleh lagi dianggap sebagai sindrom kuno yang terikat pada budaya. 

Pendekatan yang lebih berguna dan modern adalah bahwa mengamuk merupakan bentuk ekstrem dari perilaku kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari gangguan mental, patologi kepribadian, dan stresor psikososial. 

Pengenalan dini terhadap faktor risiko untuk mengamuk dan pengobatan segera terhadap kondisi kejiwaan atau gangguan kepribadian yang mendasarinya menawarkan peluang terbaik untuk mencegahnya.

Dengan pembahasan ini, apakah kita harus bangga terhadap kata amuk, atau justru mewaspadainya agar tidak menjadi lebih banyak lagi perkembangan perilakunya?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun