Pada tahun 1901, di provinsi Phang, Malaysia, seorang pria Muslim berusia 23 tahun yang sebelumnya adalah anggota kepolisian mencuri pedang Melayu dan menyerang 5 orang saat mereka sedang tidur atau menghisap opium. Ia membunuh 3 orang, hampir memenggal kepala 1 korban, dan melukai yang lainnya dengan serius .
Amok pertama kali diklasifikasikan sebagai kondisi kejiwaan sekitar tahun 1849 berdasarkan laporan dan studi kasus yang mengungkapkan bahwa sebagian besar individu yang mengamuk menderita penyakit mental.Â
Dan sebelum masa itu, amok dipelajari dan dilaporkan sebagai keingintahuan antropologis saja.
Jin-Inn Teoh, seorang profesor psikiatri di Universitas Aberdeen di London, melaporkan pada tahun 1972 bahwa perilaku mengamuk terjadi di semua negara, hanya berbeda dalam metode dan senjata yang digunakan dalam serangan tersebut.Â
Menurut Teoh, budaya merupakan faktor modulasi yang menentukan bagaimana amuk terwujud, tetapi bukan apakah itu terjadi atau tidak.Â
Dalam seperempat abad berikutnya, kejadian perilaku kekerasan yang mirip dengan amuk telah meningkat secara dramatis di negara-negara industri dunia, melampaui kejadiannya dalam budaya primitif.
Singkatnya, mengamuk tidak boleh lagi dianggap sebagai sindrom kuno yang terikat pada budaya.Â
Pendekatan yang lebih berguna dan modern adalah bahwa mengamuk merupakan bentuk ekstrem dari perilaku kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari gangguan mental, patologi kepribadian, dan stresor psikososial.Â
Pengenalan dini terhadap faktor risiko untuk mengamuk dan pengobatan segera terhadap kondisi kejiwaan atau gangguan kepribadian yang mendasarinya menawarkan peluang terbaik untuk mencegahnya.
Dengan pembahasan ini, apakah kita harus bangga terhadap kata amuk, atau justru mewaspadainya agar tidak menjadi lebih banyak lagi perkembangan perilakunya?***