Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bisakah Menyembuhkan Trauma dengan Menulis? Ini Jawaban Para Ahli

5 September 2024   05:43 Diperbarui: 5 September 2024   06:00 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trauma atau luka di dalam jiwa adalah sesuatu yang sulit dihilangkan, kira-kira itulah anggapan orang awam atau bahkan mereka yang sedang menderitanya.

Saya pun rasanya sulit untuk menerima jika tidak mengetahui sendiri lewat pengalaman pribadi atau orang lain dari berbagai sumber bacaan.

Bahkan, sahabat orang tua saya, beberapa tahun lalu secara langsung memberikan testimoni yang menyangkut tentang kedahsyatan menulis.

Ia yang ketika itu dikategorikan sudah berusia lanjut, menyatakan dirinya  sembuh dari penyakit parkinson setelah menulis dan menerbitkan banyak buku.

Karena "orang jadul" ia menulisnya pun tidak menggunakan komputer, melainkan tulis tangan dan kemudian disalin ke dokumen penulisan di Komputer oleh asistennya.

Kemudian, saya sendiri merasakan, dengan menulis segala apa yang terpikirkan dan terlihat, ternyata itu sangat membantu saya untuk terlepas dari overthinking.

Bahkan, baru-baru ini, saya yang menderita hipertensi, saat kontrol ke dokter terakhir kemarin, sudah berangsur normal. Setidaknya setelah serangkaian kontrol berbulan-bulan, akhirnya dianggap stabil.

Dan apa yang saya lakukan? Menulis. Saya menulis status facebook dan juga menulis novel di digital platform, kemudian yang terakhir menulis di kompasiana.com. Kebetulan job menulis skenario sedang tidak ada, jadi, saya hanya berprinsip harus menulis setiap hari.

Apakah apa yang saya rasakan serta sahabat orang tua saya rasakan dan banyak orang rasakan itu sebuah kebetulan belaka? Ternyata tidak.

Menurut James Pennebaker, PhD, dari University of Texas di Austin, Amerika Serikat, yang saya kutip dari artikel di laman American Psychological Assosiation (APA), menulis dapat menjadi alat yang ampuh untuk membantu orang mengatasi tantangan dalam hidup mereka dan meningkatkan kesehatan mental.

Ia juga membahas penelitiannya tentang penggunaan bahasa, dan bagaimana menganalisis kata-kata yang digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari dapat memberikan wawasan tentang emosi, motivasi, dan kepribadian mereka. 

Dalam sebuah peneletiannya, James hanya memberikan instruksi kepada orang-orang yang menjadi obyek penelitiannya, agar menuliskan saja mengenai trauma yang mereka rasakan.

"Saya benar-benar ingin Anda melepaskannya. Dan saat Anda menulis, saya ingin Anda menulis terus menerus. Jangan khawatir tentang ejaan atau tata bahasa atau hal-hal seperti itu,"perintahnya kepada mereka.

Penelitiannya terhadap subyek dari permasalahan ini berlangsung selama 4 hari dengan meminta mereka menuliskan apapun, terutama terhadap derita yang dialami dan belum pernah diungkapkan ke siapapun.

Dan hasilnya mereka yang mengalami trauma merasakan sebuah perbedaan dari sebelum menuliskan permasalahannya.

Menurut pendapat Deborah Siegel dalam artikel yang dimuat di laman Harvard Business Review, penelitian menunjukkan bahwa trauma merusak jaringan otak , tetapi ketika orang menerjemahkan pengalaman emosional mereka ke dalam kata-kata,  mereka mengubah cara pengorganisasiannya di dalam otak .

Menurutnya, apa yang mungkin sulit diungkapkan dengan lantang, dapat dengan mudah diungkapkan melalui tulisan.

“Kreativitas adalah respons dasar manusia terhadap trauma dan sistem pertahanan darurat alami,” tulis Louise DeSalvo 

Bukunya yang terkenal adalah Writing as a Way of Healing: How Telling Our Stories Transforms Our Lives , sebuah buku terkenal dengan berbagai studi ilmiah tentang kemanjuran penggunaan tulisan sebagai alat pemulihan.

Menurut artikel Tracie Abram di laman Michigan State University, seorang ahli bernama Dr. Jon Kabit-Zinn mengungkapkan bahwa menulis dapat mendefinisikan kesadaran sebagai perhatian terhadap momen saat ini, dengan sengaja, dan tanpa menghakimi.

Anggaplah menulis sebagai aktivitas untuk mengkalibrasi ulang pola pikir Anda ke suasana yang lebih positif. Menulis butuh waktu; Anda harus memperlambat, menyalurkan, memfokuskan, membayangkan, dan mengatur pikiran, emosi, dan nada. 

Dengan cara ini, menulis adalah praktik kesadaran, yang berarti Anda berpijak pada momen saat ini untuk merenungkan dan menanggapi apa yang telah diperhatikan oleh indra Anda.

Di dalam peneletian-penelitian di jurnal ilmiah, menulis yang dimaksud adalah menulis ekspresif. Namun di dalam praktiknya serta juga dari beberapa kasus lainnya, menulis apapun selama dilakukan secara mendalam dan melibatkan rasa trauma tersebut, maka itupun akan dapat menjadi penyembuh.

Tentu, tidak semua kasus trauma ataupun penyakit lain dapat serta merta disembuhkan, karena semuanya tergantung keadaan level penyakit serta keyakinan dirinya untuk bisa lepas dalam rasa sakit yang telah menganggunya selama ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun