Mohon tunggu...
Dimas Fajar
Dimas Fajar Mohon Tunggu... Lainnya - Job seeker, aspiring writer

"Man decays, his corpse is dust. All his kin have perished; But a book makes him remembered through the mouth of its reciter" Puisi Mesir Kuno

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perang yang Tak Bisa Dimenangkan

25 Januari 2021   10:00 Diperbarui: 2 Februari 2021   08:58 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah perang akbar baru telah dilancarkan oleh manusia. Bertahun-tahun, banyak yang sudah memperingatkan manusia akan kedatangan perang besar ini. Namun, lebih banyak orang-orang yang tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang ada. Yang lebih mengkhawatirkan, tidak sedikit pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari perang ini. 

Akan tetapi, Perang ini akan menjadi perang terbesar umat manusia, mengerdilkan dua perang dunia sebelumnya. Alasannya sederhana: perang ini melibatkan dan memusnahkan tidak hanya manusia, namun juga makhluk-makhluk bumi yang lain. Prajurit perang ini juga jauh lebih luas daripada perang-perang besar di masa lalu. Para prajuritnya ada dimana-mana, bahkan bisa jadi saat ini sedang santai membaca tulisan ini.

Berita baiknya adalah perang ini akan membawa seluruh manusia di sisi yang sama. Namun, berita buruknya adalah perang ini kemungkinan akan membawa seluruh manusia kepada sisi yang kalah, atau lebih buruknya, kepada sisi yang menghancurkan diri mereka sendiri.

Perang mahadahsyat ini disebut oleh Ant0nio Guterres (Sekretaris Jenderal PBB) sebagai 'War on Nature', atau Perang dengan Alam. 

"Kondisi planet ini rusak. Umat manusia mengobarkan perang terhadap alam. Ini bunuh diri," 

Begitulah peringatan keras beliau dalam pidatonya di Universitas Columbia di kota New York. Beliau juga menambahkan,

"Keanekaragaman hayati mengalami kerusakan. Satu juta spesies terancam punah. Ekosistem menghilang di depan mata. Gurun-gurun pasir bertambah luas. 10 juta hektar hutan hilang setiap tahunnya. Lautan dikuras dan dijejali sampah plastik. Karbon dioksida yang diserap mengakibatkan kadar air laut menjadi asam. Terumbu karang memutih dan mati". 

Penumpukan karbon dioksida beserta polutan-polutan lainnya di udara juga menimbulkan krisis polusi udara yang menghilangkan nyawa 9 juta orang setiap tahunnya, berkali-kali lipat jumlah korban jiwa pandemik saat ini. 

Peningkatan bencana alam, krisis air dan pangan, gelombang panas, hingga ancaman kepunahan massal keenam, alam sudah membalas ajakan perang dari manusia dengan gudang senjatanya, dan tidak sedikit yang memercayai bahwa serangan balasan dari ibu Pertiwi yang terburuk belum datang.

Pandemi COVID-19 saat ini pun juga tidak lepas dari ulah manusia sendiri yang mengusik wilayah alam yang ada secara berlebihan. Kebanyakan penyakit menular yang sudah ada, seperti penyakit Lyme, Kolera, malaria, dan demam berdarah, berasal dari hewan, terutama hewan-hewan liar. Virus, parasit, maupun bakteri berbahaya tersebut menyentuh manusia akibat pembabatan hutan dan penyingkiran tempat tinggal hewan liar secara masif. 

Hewan-hewan yang dipelihara dan dijinakkan manusia pun juga menjadi penghubung vital antara manusia dengan beragam parasit dan patogen. Jika manusia tidak segera memperbaiki hubungannya dengan alam, dikhawatirkan bahwa penyakit-penyakit menular berbahaya lainnya akan bermunculan di masa depan.

Untuk menambah kesuraman, Bank Dunia juga mengestimasikan bahwa dampak perubahan iklim akan memaksa lebih dari 140 juta orang untuk berpindah dari negara mereka pada tahun 2050, Jauh melebihi angka pengungsi global tahun lalu, yang sudah mencapai 26 juta orang. 

Lebih parah lagi, sebuah laporan yang dipublikasikan pada jurnal Nature Communications pada tahun 2019, memaparkan bahwa lebih dari 300 juta orang di RRC, Bangladesh, India, Thailand, dan Indonesia terancam menghadapi peningkatan banjir bandang dan badai destruktif akibat perubahan iklim yang terus meningkat pada tahun 2050.

Sebagaimana semua orang dapat turut serta dalam perang melawan alam, semua orang di dunia ini juga akan merasakan dampak dari perang ini, kata IPCC (Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim). Untungnya, semua orang juga dapat berpartisipasi untuk menghentikan perang ini. 

Perang ini dapat dihentikan tanpa harus mengangkat senjata dan menghilangkan nyawa lebih banyak lagi. Langkah-langkah sederhana, seperti: mengurangi konsumsi barang-barang mewah, mengurangi plastik, meningkatkan penggunaan transportasi umum, mengurangi konsumsi daging, hingga mempelajari dan mengajarkan kecintaan kepada alam, dapat berkontribusi secara signifikan dalam mengurangi dampak kerusakan alam akibat konflik manusia dengan alam.

Prioritas umat manusia pada abad ke-21 ini, menurut Guterres, adalah berdamai dengan alam. Perdamaian dengan alam takkan bisa tercapai tanpa rasa cinta terhadap alam dan penghuninya. Hal terpenting yang dipelajari manusia selama riwayat hidup mereka di muka bumi ini adalah, tidak bijak untuk memerangi entitas yang sudah ada milyaran tahun sebelum mereka menjejakkan kaki di planet ini. 

Sepanjang sejarah bumi, alam tidak membutuhkan manusia, namun manusia membutuhkan alam. Kesalahan terbesar umat manusia adalah memutus hubungan dengan penyedia udara, pangan, Hanya ada dua penutup dari perang ini, antara bunuh diri secara perlahan peradaban manusia, atau hubungan yang lebih harmonis antara manusia dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun