Pasar game live service semakin ramai dewasa ini. Banyak yang berdatangan dan banyak pula yang berjatuhan. Tentunya, sebuah survey sudah menunjukkan banyak pengembang game tidak yakin model tersebut bisa mencapai keberlanjutan jangka panjang. Terdapat berbagai alasan yang menjadi pemicunya.
Banyak Pengembang Tidak Yakin Game Live Service Memiliki Keberlanjutan
Sebuah survei dari Game Developer Collective telah mengungkap bahwa mayoritas dari pengembang game khawatir tentang game live service dan keberlanjutannya pada masa depan. Sekitar 600 pengembang tercatat menjawab survei tersebut antara Februari hingga Maret 2024 dengan 70 persennya mengaku khawatir tentang model live service.
Partisipan telah mendapat pertanyaan seberapa khawatir tentang keberlanjutan model bisnis live service. Sekitar 31 persen responden menjawab "Very Concerned" atau sangat khawatir, sementara 39 persen menjawan "Somewhat Concerned". 25 persennya lagi menjawab "No Concern" atau tidak mengaku khawatir tentang model dan industri tersebut.
Terdapat banyak alasan mengapa mereka begitu mengkhawatirkan model tersebut. Menurut survei, alasan terbanyak di antaranya berkurangnya minat pemain (63 persen), kompetisi (62 persen), biaya akuisisi pengguna yang meningkat (47 persen), dan naiknya biaya penembangan (34 persen).
Menariknya lagi, 35 persen dari pengembang mempertimbangkan game paling terbarunya untuk mengikuti model live-service. 10 persen laginya merasa studio mereka akan mengikuti tren dengan mengadopsi model monetisasi tersebut. Bahkan, hanya 45 persen merasa model tersebut tidak menguntungkan.
Model Live Service Tuai Respon Beragam
Saat ini, model live service telah menuai pro dan kontra dari publik. Menariknya, masih cukup banyak game live service lama seperti Fortnite, PUBG, dan Roblox yang tetap konsisten menarik minat.
Beberapa game yang mengadopsi model ini pun menuai kontroversi. Mulai dari Diablo Immortal dan Diablo 4 hingga terbaru Suicide Squad: Kill the Justice League dan Skull and Bones.
Memang, masih banyak gamer yang tidak keberatan dengan model seperti ini karena pengembang akan memberi konten baru secara konsisten demi mempertahankan basis pemain. Sementara yang menentang berharap game tersebut sebagai pengalaman single-player yang bisa dinikmati hanya sekali bayar.
Tahun lalu saja banyak judul live service yang berguguran. Mulai dari Rumbleverse, Knockout City, hingga The Day Before. PlayStation pun yang memiliki ambisi besar untuk merambah ke pasar tersebut bahkan harus mengurangi dari 12 judul dalam pengembangan hingga kurang lebih hanya enam.
Sementara judul baru sedang dalam pengembangan dan mulai bermunculan, tampaknya dampak terhadap pasar game live service bisa saja berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI