Ingat sebuah video viral menunjukkan seorang gadis cilik menonton tayangan yang tidak senonoh di ruang publik disaat orang tuanya duduk di sampingnya?
Innalillahi...
Homo sapiens yang lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi komputer berbasis internet menghadapi tantangan baru yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Dari sudut pandang saya, masyarakat dunia, terutama di Indonesia masih belum semuanya mampu mengatur bagaimana cara menggunakan teknologi ini dengan bijak.
Penelitian mengenai pornografi (Bulkley, 2013) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 usia rata-rata seorang anak pertama kali melihat pornografi internet adalah 11 tahun, dimana:
70% anak laki-laki telah menghabiskan setidaknya 30 menit berturut-turut melihat pornografi on-line setidaknya pada satu kesempatan;
35% anak laki-laki telah melakukan ini setidaknya sepuluh kali;
83% anak laki-laki telah melihat seks berkelompok di internet;
67% anak-anak mengaku membersihkan sejarah internet mereka untuk menyembunyikan aktivitas online mereka;
0% pengguna pornografi melaporkan kecanduan.
Lagi-lagi, banyak anak yang masih berusia dini sudah "dipegangi" teknologi ini meskipun sebenarnya pada masa ini anak-anak mestinya belajar tentang dunia dan lingkungan di sekitarnya dibanding menyaksikan tayangan-tayangan tidak bermanfaaat di gadget yang tidak ada habisnya. Parahnya, para orang tua pun kadang tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan anak-anaknya di luar pengawasan mereka.
Beberapa literatur menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak terpapar pornografi (Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, 2017; Semai, 2015; Strasburger et al., 2010; Tim Sejiwa, 2018), antara lain:
tidak sengaja melihat pornografi yang muncul saat menggunakan gadget orangtua atau saat mengakses internet;
menerima dan membuka pesan teks, foto, atau video seksual di media sosial;
memiliki rasa ingin tahu atau penasaran yang tinggi, sehingga membuat anak mencoba mengakses situs bermuatan pornografi;
terpengaruh dengan ajakan atau bujuk rayu teman sebaya dan lingkungan sekitarnya;
perasaan BLAST, yaitu: Bored (Jenuh), Lonely (Kesepian), Angry (Marah), Stressed (Stres), Tired (Lelah);
kurang pendidikan agama, khususnya pembelajaran karakter dan penanaman akhlak dari sekolah;
kurangnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya perhatian orang tua dalam pengawasan media yang digunakan anak.
Saya sendiri yang merupakan mahasiswa S1 Universitas Airlangga juga menemukan sebuah artikel dari Fakultas Kesehatan Masyarakat yang menyebutkan dampak dari perilaku mengakses konten pornografi secara terus menerus ialah terjadinya kerusakan otak yang mengakibatkan korbannya mengalami penurunan fungsi otak. Ciri-ciri seseorang yang mengalami kerusakan otak dikarenakan pornografi, yaitu sulit konsentrasi, sulit mengendalikan diri, sulit menunda keinginan, sulit merencanakan masa depan.
Selain itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh pornografi lebih fatal dibandingkan dengan kerusakan otak yang disebabkan oleh narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza) (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2017). Dampak lainnya yaitu perilaku menyimpang terutama terkait dengan seks, misalnya melakukan hubungan badan sebelum adanya ikatan pernikahan, pelecehan seksual, dan lain sebagainya.
Selain pornografi, penggunaan gadget dalam jangka waktu yang lama juga bisa kita lihat pada anak-anak. Penelitian telah menunjukkan bahwa durasi penggunaan perangkat gawai atau Screen time berlebih bisa memengaruhi perkembangan anak, khususnya yaitu:
Kemampuan kognitif
Screen time sejak dini telah dikaitkan dengan kemampuan kognitif dan akademik yang lebih rendah di tahun-tahun berikutnya.
Kemampuan berbahasa
Perkembangan bahasa juga dipengaruhi oleh lama screen time karena mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi antara anak dan orang tuanya. Faktor kontekstual seperti menonton bersama dan kelayakan konten juga berperan dalam menentukan dampak terhadap perkembangan bahasa.
Kemampuan sosial-emosional
Penggunaan layar yang berlebihan juga dapat menimbulkan masalah pada perkembangan sosial emosional, antara lain obesitas, gangguan tidur, depresi, dan kecemasan. Hal ini dapat mengganggu pemahaman emosional, mendorong perilaku agresif, dan menghambat kompetensi sosial dan emosional.
Orang tua harus berperan aktif dalam memberi batasan penggunaan gawai anak-anak serta memberikan pendidikan dalam berperilaku. Kontrol orang tua terbukti mampu mengurangi penggunaan gawai yang berisiko pada anak secara signifikan. Selain itu, orang tua juga harus mampu memberikan contoh kepada anak dengan mengatur penggunaan gawai mereka sendiri.
Referensi:
Anggraini, T. and Maulidya, E.N. (2020) 'Dampak Paparan Pornografi Pada anak usia Dini', Al-Athfaal: Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), pp. 45--55. doi:10.24042/ajipaud.v3i1.6546.Â
Muppalla, S. K., Vuppalapati, S., Reddy Pulliahgaru, A., & Sreenivasulu, H. (2023). Effects of Excessive Screen Time on Child Development: An Updated Review and Strategies for Management. Cureus, 15(6), e40608. https://doi.org/10.7759/cureus.40608
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H