Mohon tunggu...
Dimas Dharma Setiawan
Dimas Dharma Setiawan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Penulis Artikel di Banten

Penulis adalah PK pada Bapas Kelas II Serang yang menerjunkan diri pada alam literasi. Senang menyikapi persoalan yang sedang hangat di masyarakat menjadi kumpulan argumentasi yang faktual , kritis dan solutif. Berusaha meyakinkan bahwa menulis sebagai hal yang menyenangkan. Setiap tulisan adalah do'a dan setiap do'a memuluskan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salam dari Pahlawan

10 November 2021   07:45 Diperbarui: 10 November 2021   10:17 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Indonesia menjadi bangsa berdaulat tidak didapatkan secara gratis, melainkan ditukar dengan darah dan nyawa yang telah dikobarkan dan dikorbankan para anak bangsa (baca : pahlawan). Mereka telah gigih dan gagah maju ke medan perang melawan congkaknya tentara penjajah yang rakus mengeruk kekayaan bumi pertiwi.

Selama ratusan tahun generasi ke generasi api perlawanan tidak pernah padam. Pada tahun 1628 perlawan pasukan kerajaan Mataram dipimpin oleh Kiai Adipati menyerang pasukan VOC Belanda di Batavia, peperangan sengit terjadi namun akhirnya ikhtiar perjuangan tersebut gagal.  

Pada tahun 1680 rakyat Banten dibawah komando Sultan Ageng Tirtayasa Banten tidak terima atas sistem monopoli dan otoriter yang diberlakukan penjajah.  Mereka melakukan perlawanan terhadap pasukan VOC Belanda, simpul-simpul kolonial diserang dan dibakar hingga luluh lantah.    

Pada tahun 1817 rakyat Maluku yang dipimpin Kapitan Pattimura mencetuskan Proklamasi Portho Haria sebagai tekad ingin menjadi bangsa yang berdaulat. Gagasan tersebut memicu semangat juang para masyarakat, mereka melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda.  

Pada tahun 1825-1830 terjadi perang besar di Pulau Jawa, para pejuang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro berperang melawan pasukan Belanda yang dipimpin Merkus De Kock. Sebuah data menyebutkan lebih dari 200.000 rakyat Jawa gugur dimedan perang dan 8.000 pasukan Belanda tewas mengenaskan.    

Pada tahun 1881-1885 Teuku Umar, Teuku Cik Diktiro, Panglima Polim dan Cut Nyak Dien memimpin rakyat Aceh melakukan penyerangan terhadap pasukan Jenderal Jan Van Swieten. Pihak lawan kewalahan menghadapi serangan tersebut, banyak tentara mereka yang tewas. Serangan ini disebut dengan jihad-fii-sabilillah.

Kekalahan tetara Jepang oleh sekutu pada perang pasifik berbuntut pada melemahnya kekuasaan Jepang di Indonesia. Para tokoh bangsa segera mengambil langkah, mengagas sebuah ikrar kemerdekaan Proklamasi. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno Soekarno bersama Bung Hatta beserta tokoh besar lainnya membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan seyogyanya Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat, namun rongrongan terus terjadi.  Penjajah Belanda dan Inggris bersama sekutunya kembali datang ke Indonesia. 

Serangkaian perlawanan dari para pejuang Indonesia kembali dilakukan. Pada tanggal 10 November 1945 penjajah Inggris mengeluarkan suatu ultimatum kepada para pejuang di Surabaya agar menyerah, Bung Tomo bersama rakyat Surabaya dan para santri merasa terhina dengan sikap sombong tersebut mereka lalu meneriakan pekik "Allohu Akbar" menyerang pasukan Inggris.

Rentang tahun 1945 hingga 1965 peperangan dan rorongrongan terhadap kemerdekaan Indonesia masih terjadi, namun berkat keteladanan anak bangsa dalam mempertahankan tanah air nya, kemerdekaan Indonesia masih terjaga hingga saat ini. 

Pesan agung dari Bung Karno yang pernah diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1966 lampau adalah "Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah" atau populer disebut "Jasmerah".  Semboyan tersebut memiliki makna mulia bahwa penjajahan di bumi nusantara sebagai nestapa pedih, jangan sampai terulang kembali pada masa yang akan datang.    

Pesan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ingarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karso,Tut Wuri Handayani, jika diartikan pada masa saat ini setiap pemimpin harus menjadi teladan,  pemimpin harus memberikan semangat pada bawahannya dan pemimpin harus memberikan kinerja terbaik bagi organisasinya.

Pesan dari Bung Tomo, "jangan memperbanyak lawan, tetapi perbanyaklah kawan".  Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak mau menyerah kepada siapapun juga".

Pada tahun 1954 Haji Soekarwan Wiraatmadja (Kakek Penulis) memiliki teladan dalam pendirian Sekolah Menengah Negeri 1 Serang. Ia juga mengabdi sebagai Pegawai Negeri dengan menjabat sebagai kepala Kantor Perdagangan Kabupaten Serang. Bukti bekas perjuangannya melekat hinggi kini, diatas pusara makamnya terdapat replika bambu runcing dan bendera putih sebagai tanda perjuangan kemerdekaan.

Pada momentum hari pahlawan 10 November 2021 ini penulis berpesan pada diri penulis sendiri dan pembaca bahwa jiwa korsa yang telah ditunjukan para pahlawan dalam memperjuangankan dan mempertahankan kemerdekaan, patut kita teladani dalam bentuk sikap setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,Pancasila, Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.  Generasi saat ini memiliki tugas berat, merawat kemerdekaan Indonesia ditengah tantangan globalisasi yang agresif.

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2021 !!!, Merdekaaaaa. (selesai)  

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun