Pagi Selasa (2/5/2019), saya cukup antipati untuk datang ke kampus dan mengikuti upacara memperingati Hari Pendidikan Nasional karena pikiran pragmatis saya berpendapat bahwa pendidikan bukan untuk diperingati, tapi untuk digalakan untuk menyelesaikan problem masyarakat.Â
Apalagi sebagai dosen yang mahasiswanya mulai mendekati masa ujian akhir semester dan pengumpulan skripsi, tentunya terbebani dengan berbagai macam to do list dan bangun pagi untuk berdiri kurang lebih 1 jam cukup menguji kesehatan (mungkin karena badan semakin menua juga haha). Intinya, pagi ini kestabilan mood saya cukup dipertanyakan.
Saat di lapangan, Alhamdulillahnya, barisan dosen di lapangan dinaungi oleh pepohonan, entah karena sengaja atau tidak. Tidak ada yang spesial di momen tersebut.Â
Namun, begitu Indonesia Raya dikumandangkan dan merah putih dikembangkan, sontak unconscious thought saya mengambil alih consciousness saya.Â
Ketika mengingat kembali konsep bagaimana manusia memproses informasi, stimulus sederhana visual mau pun audio secara tidak sadar mampu memberikan efek (unconsciously effect) bagaimana kita berpikir, mengambil keputusan, dan berperilaku sesuai dengan skema/asosiasi yang mirip atau terkait dengan stimulus -- istilah kerennya adalah priming effect.Â
Dalam konteks lagu Indonesia Raya yang mana ritme dan tempo dan juga berbagai kata-kata yang berbau perjuangan yang menjadi lirik lagu seketika mampu menciptakan suasana nasionalisme di lapangan pagi ini.
Dalam kondisi ter-priming tersebut, saya terjebak dalam nostalgia pendidikan yang secara ringkas saya bahas dalam 3 poin.
Yang pertama, bahwa angka partisipasi pendidikan masih sangat rendah. Ketika terlibat dalam Indonesia Mengajar (IM) saya mengamati benar bagaimana sikap masyarakat dalam mendorong generasi mudanya untuk berangkat ke sekolah, atau bahkan untuk sekadar mendaftarkan anaknya di sekolah untuk sekolah, sekali pun hal tersebut gratis.Â
Saya mengamati betul bagaimana anak harus bolos sekolah karena diajak orangtuanya mengunjungi keluarga di desa sebelah, tidak hadir ujian karena diajak memancing ikan, lalai mengerjakan tugas karena diajak kakaknya berbelanja keperluan rumah tangga ke kota terdekat, dan lain sebagainya.Â
Partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan tinggi pun juga masih mengkhawatirkan, seperti misalnya ketidakinginan untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan S2 dan seterusnya yang masih sangat rendah, selama hal tersebut tidak memberikan salient benefit utamanya di bidang profesional mereka.
Bahwa, yang kedua, iliterasi tidak hanya terjadi di masyarakat bawah. Iliterasi sering disempitkan dengan ketidakmampuan mengenal huruf, membaca dan menulis. Fakta ini sering dikaitkan dengan rendahnya partisipasi dalam kegiatan belajar formal di sekolah.Â
Saya juga melihat fenomena iliterasi ini terjadi bahkan di kalangan emerging class and above walaupun mereka bertitel sarjana sekali pun.Â
Bukan berarti mereka tidak bisa membaca dan menulis, iliterasi dalam konteks ini adalah fenomena di mana kita cenderung menggali pengetahuan (intelligence-gathering) dari sumber yang kurang proper.
Misal akun sosial media (sekali pun itu akun official), expert judgement, atau yang lebih parah, peer group yang membuat iklim hoax mewabah hebat. Padahal dalam ilmu komunikasi, kita sama-sama tahu bahwa informasi akan terus dimodifikasi setiap kali ia berpindah dari satu orang ke orang lain.Â
Penelitian akademis sebagai jendela terhadap munculnya ilmu pengetahuan baru sudah banyak dilakukan dan tersedia dalam jurnal baik berbahasa Indonesia dan Inggris, dengan pengarang orang Indonesia, tersedia gratis (walaupun ada yang berbayar) di google scholar.
Namun, masih sedikit dari kita yang tertarik dan menyempatkan diri untuk menginvestasikan waktu kita untuk membaca dan menelaah pengetahuan tersebut, bahkan ketika ilmu tersebut dikemas dalam buku ilmiah populer sekalipun.
Yang ketiga, dan yang terakhir, bahwa keterampilan teknis masih sangat mendominasi dan populer di kalangan kita, hal ini yang membuat masyarakat kita kurang mampu berpikir secara abstrak, reflective, dan melihat fenomena masyarakat dari berbagai sudut pandang secara objective.Â
Bahwa kebudayaan berpikir secara evidence-based dan, suatu saat semoga ini bisa kita capai bersama, literature based bisa menjadi fondasi masyarakat kita dalam berpikir, mengolah informasi, mengambil sikap dan berperilaku dalam konteks sosial.Â
Dalam konteks mengembangkan dan menelurkan ilmu pengetahuan baru (yang mana menjadi indikator negara maju), berpikir abstrak tentunya menjadi salah satu aspek yang sangat vital.Â
Memang masih banyak bahwa yang lainnya dan kebetulan tiga hal di atas yang terlihat sangat vokal dan kentara ketika saya melihat merah putih dikibarkan pada selasa pagi
Saya tidak tahu seberapa besar efek priming yang dihasilkan oleh lagu tersebut, atau seberapa dalam saya mengingat kembali pengalaman saya saat dulu menjadi guru di gerakan IM.Â
Tapi yang jelas, saat itu saya cukup menahan supaya air mata tidak menetes dari pipi sembari melihat merah putih dikibarkan hingga ke ujung tiang.Â
Apa pun penyebabnya, rasanya kita sama-sama sepakat bahwa pendidikan adalah modal utama penggerak ekonomi dan peradaban, dan ketertinggalan kita di bidang pendidikan masih menjadi hal yang masih perlu bersama kita perjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H