Mohon tunggu...
Dimas Budi Prasetyo
Dimas Budi Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan konsultan

Praktisi di bidang marketing research dan dosen psikologi. https://dimasbepe.wordpress.com/who-am-i/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Priming Effect dan Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2019   11:39 Diperbarui: 2 Mei 2021   07:44 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi Selasa (2/5/2019), saya cukup antipati untuk datang ke kampus dan mengikuti upacara memperingati Hari Pendidikan Nasional karena pikiran pragmatis saya berpendapat bahwa pendidikan bukan untuk diperingati, tapi untuk digalakan untuk menyelesaikan problem masyarakat. 

Apalagi sebagai dosen yang mahasiswanya mulai mendekati masa ujian akhir semester dan pengumpulan skripsi, tentunya terbebani dengan berbagai macam to do list dan bangun pagi untuk berdiri kurang lebih 1 jam cukup menguji kesehatan (mungkin karena badan semakin menua juga haha). Intinya, pagi ini kestabilan mood saya cukup dipertanyakan.

Saat di lapangan, Alhamdulillahnya, barisan dosen di lapangan dinaungi oleh pepohonan, entah karena sengaja atau tidak. Tidak ada yang spesial di momen tersebut. 

Namun, begitu Indonesia Raya dikumandangkan dan merah putih dikembangkan, sontak unconscious thought saya mengambil alih consciousness saya. 

Ketika mengingat kembali konsep bagaimana manusia memproses informasi, stimulus sederhana visual mau pun audio secara tidak sadar mampu memberikan efek (unconsciously effect) bagaimana kita berpikir, mengambil keputusan, dan berperilaku sesuai dengan skema/asosiasi yang mirip atau terkait dengan stimulus -- istilah kerennya adalah priming effect. 

Dalam konteks lagu Indonesia Raya yang mana ritme dan tempo dan juga berbagai kata-kata yang berbau perjuangan yang menjadi lirik lagu seketika mampu menciptakan suasana nasionalisme di lapangan pagi ini.

Dalam kondisi ter-priming tersebut, saya terjebak dalam nostalgia pendidikan yang secara ringkas saya bahas dalam 3 poin.

Yang pertama, bahwa angka partisipasi pendidikan masih sangat rendah. Ketika terlibat dalam Indonesia Mengajar (IM) saya mengamati benar bagaimana sikap masyarakat dalam mendorong generasi mudanya untuk berangkat ke sekolah, atau bahkan untuk sekadar mendaftarkan anaknya di sekolah untuk sekolah, sekali pun hal tersebut gratis. 

Saya mengamati betul bagaimana anak harus bolos sekolah karena diajak orangtuanya mengunjungi keluarga di desa sebelah, tidak hadir ujian karena diajak memancing ikan, lalai mengerjakan tugas karena diajak kakaknya berbelanja keperluan rumah tangga ke kota terdekat, dan lain sebagainya. 

Partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan tinggi pun juga masih mengkhawatirkan, seperti misalnya ketidakinginan untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan S2 dan seterusnya yang masih sangat rendah, selama hal tersebut tidak memberikan salient benefit utamanya di bidang profesional mereka.

Bahwa, yang kedua, iliterasi tidak hanya terjadi di masyarakat bawah. Iliterasi sering disempitkan dengan ketidakmampuan mengenal huruf, membaca dan menulis. Fakta ini sering dikaitkan dengan rendahnya partisipasi dalam kegiatan belajar formal di sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun