"Seperti di rumah simbah (eyang) ya Pi", pekik istriku ketika bangunan limasan berhiaskan gebyok lawasan menyambut kami dengan ramah. Sore itu, saya berkesempatan mengajak keluarga saya untuk bersantap bersama di Keong Mas Resto. Sebuah tempat makan yang berlokasi di pinggiran kota dan berada di antara dua jalan penting di kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta.
***
Bisa dibilang, tempatnya tersembunyi. Lalu bagaimana saya bisa tahu tempat itu? Pada awalnya, seorang teman mengajak saya untuk bertandang ke Keong Mas Resto untuk pertama kalinya. Kami sempat salah jalan, karena aplikasi GPS yang kami gunakan 'sedikit' ngawur menunjukkan jalan.
Jalan menuju ke lokasi yang beralamat di Jl. Puri Sewon Asri tersebut sudah baik. Jalan beraspal, dengan lebar dapat dilalui satu buah mobil dan satu buah motor. Bangunan yang ada di sekitarnya belum begitu padat. Area persawahan masih mendominasi. Sangat kontras dengan suasana di jalan Parangtritis dan jalan Bantul.
Saya merasa sangat beruntung ketika diajak bertandang. Karena tempat ini akan masuk ke dalam daftar tempat makan alternatif ketika ada kolega yang bertanya, terutama di hari libur. Di hari libur, jalan Parangtritis dan jalan Bantul akan semakin sibuk melayani hilir mudik kendaraan yang mengantarkan pelancong. Resto maupun rumah makan yang ada di jalan tersebut, biasanya sudah penuh sesak dengan bus terparkir.
***
Warna dominasi coklat yang berasal dari warna asli kayu jati yang menjadi unsur utama bangunan tersebut dan gebyok lawasan, bagaikan tombol playback dalam ingatan istri saya. Rumah simbah di Kulon Progo---sebelum direnovasi--mirip seperti yang ada di Keong Mas Resto. "Tunggu dulu, masih ada kejutan lain di dalmnya", ucap saya menambah ia penasaran.
Kebetulan, kala itu pak Fajar---pemilik resto---ada di lokasi. Beliau bergegas membilas tangannya dari sisa-sisa busa sabun yang masih menempel ketika melihat kehadiran saya bersama keluarga. Pak Fajar menyambut kami dengan ramah dan saya pun mengenalkan istri dan anak saya kepada beliau, kemudian beliau mempersilakan kami untuk duduk.
Istri saya yang telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada tempat tersebut pun langsung melayangkan pertanyaan kepada pak Fajar. "Kenapa Bapak memilih kayu dan bangunan limasan sebagai resto Bapak?", tanya istri saya penasaran. Senyum renyah mengawali jawaban pak Fajar: "Saya pada dasarnya menyukai unsur kayu. Untuk bangunannya sendiri adalah identitas diri saya, bahwa saya adalah orang Jawa."
Sambil berbincang-bincang, kami memesan minuman dan makanan. Untuk makanan, saya sengaja memesan menu prasmanan. Tak berapa lama kemudian, kuali berukuran sedang, bewarna coklat, telah hadir di meja sebelah kami. Ada 3 kuali. Masing-masing memiliki misteri mengenai 'Apa yang sebenarnya ada di dalamnya?' Sendok sayur bertangkai kayu, dengan cawan terbuat dari batok kelapa, siap sedia menciduk isi dalam kuali untuk menguak misteri di dalamnya. Sesegera pak Fajar mempersilakan kami untuk menyantap makanan yang telah tersaji.
Satu persatu isi kuali kami ciduk. Misteri pun terkuak! 3 kuali tersebut berisikan menu Jangan (sayur) Ndeso Lombok Ijo, Sayur Asem dan Sayur Brongkos. Tersedia pula nasi putih, dengan lauk nasi ayam kremes. Tanpa ragu, istri saya langsung menciduk Jangan Ndeso Lombok Ijo. Sedangkan saya, menciduk Sayur Brongkos.