Sebutan butho galak sendiri adalah sebutan lokal bagi si tahu susur. Cemilan tersebut adalah cemilan kegemaran ibu Sinta sang pemilik warung saat berlibur ke rumah neneknya di Piyungan, Bantul. Sekilas, tampilannya biasa saja, seperti tahu susur pada umumnya. Namun setelah digigit dan tercecap oleh lidah, 'kegalakan'nya pun keluar. Rasa pedas tertinggal diujung lidah, mulut pun terasa cukup panas karena 'kegalak'annya.
Butho galak sudah tunduk di dalam perut, berikutnya cangkem butho akan beradaban dengan cangkem yang sesungguhnya. Cangkem butho, yang berarti mulut raksasa. Gembus (ampas tahu) yang dibelah diisi dengan sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu, lalu melompat ke dalam kolam minyak goreng panas.Â
Diberi nama cangkem butho karena ukurannya cukup besar, sehingga saat menyantapnya bak raksasa sedang membuka mulut lebar-lebar melahap santapannya. Rasa pedas pun tak lupa tertinggal. Namun saat saya memakannya, gembus sebagai bahan utama cangkem butho tampaknya bukan gembus, melainkan tempe. Karena teksturnya yang cukup keras, tidak lembut seperti tekstur gembus pada umumnya.
Pitoelas, dengan harga Rp 17.000,00 saya bisa menyantap makanan dan minuman sampai 'puas'! Tapi tidak boleh dibawa pulang, harus makan ditempat. Tapi kalau saya tak sanggup jika harus tambah, karena dengan berbagai menu tersebut dengan harga Rp 17.000,00 saya sudah merasa kenyang. Saya pun memilih menikmati nuansa senja kala itu dengan perut kenyang.
Salam ngunyah,
Dimas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H