Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makanan yang "Ndeso" Sarat dengan Filosofi dan Memori

1 Agustus 2017   08:14 Diperbarui: 1 Agustus 2017   19:26 2848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aneka butho (dok.pri)
Aneka butho (dok.pri)
Ada makanan berat, lebih asik juga ada makanan ringan. Butho galak dan cangkem butho pun menjadi pilihan. Butho galak yang berarti raksasa galak adalah sebutan lain untuk tahu susur. Tahu putih yang berisikan aneka sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu untuk selanjutnya digoreng. 

Sebutan butho galak sendiri adalah sebutan lokal bagi si tahu susur. Cemilan tersebut adalah cemilan kegemaran ibu Sinta sang pemilik warung saat berlibur ke rumah neneknya di Piyungan, Bantul. Sekilas, tampilannya biasa saja, seperti tahu susur pada umumnya. Namun setelah digigit dan tercecap oleh lidah, 'kegalakan'nya pun keluar. Rasa pedas tertinggal diujung lidah, mulut pun terasa cukup panas karena 'kegalak'annya.

Butho galak sudah tunduk di dalam perut, berikutnya cangkem butho akan beradaban dengan cangkem yang sesungguhnya. Cangkem butho, yang berarti mulut raksasa. Gembus (ampas tahu) yang dibelah diisi dengan sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu, lalu melompat ke dalam kolam minyak goreng panas. 

Diberi nama cangkem butho karena ukurannya cukup besar, sehingga saat menyantapnya bak raksasa sedang membuka mulut lebar-lebar melahap santapannya. Rasa pedas pun tak lupa tertinggal. Namun saat saya memakannya, gembus sebagai bahan utama cangkem butho tampaknya bukan gembus, melainkan tempe. Karena teksturnya yang cukup keras, tidak lembut seperti tekstur gembus pada umumnya.

Sego Golong siap disajikan langsung dari tangan peraciknya (dok.pri)
Sego Golong siap disajikan langsung dari tangan peraciknya (dok.pri)
Terakhir, teh kali menjadi penutup sempurna makan sore saya kala itu. Perut rasanya sudah cukup puas dengan makanan tadi, meskipun di warung ini kalau ingin 'tambah' itu gratis, alias tak perlu juga menambah mengeluarkan biaya. Warung yang buka pukul 10.00 -- 00.00 WIB setiap harinya ini ternyata memiliki harga seperti namanya. 

Pitoelas, dengan harga Rp 17.000,00 saya bisa menyantap makanan dan minuman sampai 'puas'! Tapi tidak boleh dibawa pulang, harus makan ditempat. Tapi kalau saya tak sanggup jika harus tambah, karena dengan berbagai menu tersebut dengan harga Rp 17.000,00 saya sudah merasa kenyang. Saya pun memilih menikmati nuansa senja kala itu dengan perut kenyang.

Salam ngunyah,

Dimas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun