Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berawal dari Gemar Nglathak Hingga Memiliki Warung Nglathak

23 Januari 2017   07:01 Diperbarui: 23 Januari 2017   08:05 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nglathak, nyate kambing ala Jogja (sumber: dokumentasi pribadi)

“Lakukanlah pekerjaan yang kamu suka, maka kamu akan melakukan pekerjaan tersebut dengan senang hati dan ikhlas serta pekerjaan itu juga akan menyukaimu.”

Kurang lebih kalimat itulah yang memotivasi laki-laki kelahiran Jakarta ini. Muhammad Subroto (33), begitulah orang tuanya memberikan nama untuknya. Pria yang akrab disapa Mas To’ ini adalah seorang pengusaha sate.

Pernah mendengar istilah: “Lingkungan yang akan membentukmu”? Saya kira hal itu benar adanya dan dialami oleh Mas To’. Jebolan Perternakan IPB (Institut Pertanian Bogor) itu nekad berwirausaha. Tak seperti kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi lainnya yang bersekolah untuk mendapatkan ijazah lalu mencari lapangan pekerjaan. Jiwa wirausaha rupanya merasuki Mas To’ sejak ia duduk di bangku kuliah. Hal itu tersirat ketika ia bercerita kepada teman-teman Kompasiner Jogja yang mampir untuk santap malam di kedai barunya Warung Nglathak. Berlokasi di Jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni No.7, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar 300 meter ke utara dari persimpangan empat Fakultas Teknik Universitas  Negeri Yogyakarta (UNY). Banner besar bertulisan Nglathak mencegat Anda ditengah jalan.

“Teh Bunga Telang sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi kurang terkenal sehingga saya bantu mempromosikan dalam bentuk Teh Biru”, begitu ujarnya. Bunga itu dibelinya dari seorang teman yang kebetulan beralmamater sama denganya. Jejaring sesama  alumni pun kebanyakan bergelut dibidang kewirausahaan.

Awal Mula Kemunculan Nglathak

Warung Nglathak. Gerobak sejak menjajakan sate klathak kaki lima. Nge-tag berarti makan dapat diskon. Ngaji 2 juz, gratis. Buka puasa sunah senin & kamis, gratis (sumber: dokumentasi pribadi)
Warung Nglathak. Gerobak sejak menjajakan sate klathak kaki lima. Nge-tag berarti makan dapat diskon. Ngaji 2 juz, gratis. Buka puasa sunah senin & kamis, gratis (sumber: dokumentasi pribadi)

Selain berwirausaha, bapak satu anak ini memiliki hobi bermain air softgun. Ia dan teman-temannya sesama air softer gemar mengkonsumsi olahan daging kambing, terutama sate klathak. Biasanya seusai bermain air soft gun mereka menuju warung sate klathak. Menikmati olahan daging kambing yang ditusuk menggunakan jeruji pelk roda sepeda yang dilumuri bumbu rempah-rempah dan dibakar di atas bara api ini memang memiliki keunikan serta sensasi tersendiri.

Alasan menggunakan tusuk dari jeruji pelk ban sepeda yaitu agar daging kambing yang dibakar masak merata hingga kedalam. Karena besi adalah penghantar panas yang baik, maka daging kambing bagian dalam juga bisa matang sempurna.

Istilah Nglathak tersebut berawal ketika Mas To’ dan teman-temannya ingin makan sate klathak. ‘Yuk nglathak yuk!’ Kira-kira begitulah kalimat ajakannya. Jadi Nglathak adalah nyate kambing ala Jogja. Istilah itulah yang dijadikan nama kedai milik Mas To’.

Rupanya ia tak main-main dengan bisnis berbahan dasar daging kambing ini. Setelah sukses beternak domba dan kambing, membuka usaha catering untuk keperluan aqiqah dan membina peternak kambing lokal, Mas To’ mulai merambah bisnis kaki lima.

27 Mei 2015, Mas To’ mulai membuka kedai kaki lima Nglathaknya di daerah Ngampilan. Usahanya itu pun berkembang pesat. Nglathaknya banyak memikat banyak orang. Mulai dari warga setempat, masyarakat lokal hingga wisatawan lokal maupun asing. Menurut pengakuannya, dia akan kebanjiran pelanggan setiap akhir pekan.

Tetapi kedai kaki limanya tersebut hanya bertahan selama satu tahun saja. Di tengah perkembangan pesat usaha kaki limanya tersebut ditambah dengan telah banyaknya pelanggan sate Nglathak. Memilih menutup usahanya tersebut adalah pilihan konyol yang harus diambilnya. Lokasi yang sudah tidak memungkinkan menjadi faktor utama ia mengambil keputusan berat tersebut.

Kaki Lima Hijrah ke Tengah Kota

Suasana cozy di Warung Nglathak (sumber: dokumentasi pribadi)
Suasana cozy di Warung Nglathak (sumber: dokumentasi pribadi)

Tak mau semakin mengecewakan penikmat sate klathak, pada 03 Desember 2016 Mas To’ kembali membuka usaha sate klathaknya di lokasi yang sekarang. Yaitu di Jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni No.7, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengingat nama Warung Nglathak telah melekat di hati para pelanggannya, Mas To’ pun melabeli kedai barunya tersebut dengan label yang sama. Konsep kaki lima ia tinggalkan. Hadir dengan konsep baru dengan tampilan lebih menarik, Mas To’ membawa Warung Nglathaknya tersebut menyasar ke kalangan muda dan suka berfoto, khususnya mahasiswa. Mengingat lokasinya yang berada ditengah kota dan berada dilingkungan kampus, Warung Nglathak disulap kekinian dan tentunya instagramable.

Tempat ini pun tak terlihat seperti warung, tetapi identik dengan cafe. Hal tersebut terlihat dari interior dan penataan ruangnya. Kepulan asap akibat dari pembakaran sate pun jauh dari hadapan kita. Tempat tersebut memang sengaja dibuat lebih cozy oleh Mas To’. Terbukti dengan fasilitas yang ia berikan, free wifi dan buku bacaan gratis yang ada didalam totebag yang berada menggantung disamping setiap meja.

Tak cukup sampai di situ saja. Wirausahawan ini memperkaya varian menu di dalam daftar menunya. Ada sate klathak mozarella, perpaduan antara sate klathak original dengan keju mozarella yang gurih. Ada tongseng, daging kambing kuah kecap yang ringan dan segar. Untuk varian yang satu ini adalah favorit saya! Bagi yang tidak suka daging kambing, atau takut darah tinggi. Tenang, kedai ini juga menyediakan menu ayam goreng. Ayam yang digunakan bukan sembarang ayam. Ayam organik menjadi pilihannya. Selain makanan utama, ada juga minuman, makanan pembuka serta makanan penutup. Tentu saja unik dan dengan cita rasa ajiiib punya! Penasaran? Monggo mampir dan selamat mencicipinya.

Ada yang Spesial di Warung Nglathak

Sate Klathak Mozarella, teh biru dan tengkleng (sumber: dokumentasi pribadi)
Sate Klathak Mozarella, teh biru dan tengkleng (sumber: dokumentasi pribadi)
Bunga Telang kontributor teh biru (sumber: dokumentasi pribadi)
Bunga Telang kontributor teh biru (sumber: dokumentasi pribadi)
Tak hanya sate klathaknya saja, tetapi semua menu yang berbahan dasar daging kambing di Warung Nglathak tidak menggunakan daging kambing muda. Duh gimana nasib gigi saya? Pasti alot dan bikin gigi sakit tentunya. Tenang.. Tidak akan menjadi spesial jika Anda mengalami hal tersebut.

Meskipun menggunakan daging kambing betina afkir, alias daging dari kambing yang berusia di atas lima tahun (sudah tidak produktif). Ditangan Mas To’ olahan daging kambing tersebut tidak berbau prengus dan juga alot. Dan benar! Mulai dari sate klathak, gulai, tongseng dan tengkleng, saya tidak menemukan daging kambing yang berbau dan alot, justru daging empuk nan nikmat yang saya temui. Warbiyazak!

Bukan tanpa alasan Mas To’ menggunakan daging kambing betina afkir. Berlatar belakang pendidikan peternakan, pria lulusan IPB tersebut memikirkan kelangsungan populasi hewan tersebut. “Kalau yang hewan betina muda disembelih terus, populasinya akan semakin berkurang”, begitu terangnya.

Apalagi yang spesial? Masih banyak.

Bahan baku yang ada di kedai ini semuanya berasal dari lokal. Kambingnya berasal dari peternak kambing yang ada di daerah Bantul. Untuk membakar sate klathaknya, ia memakai briket arang yang berasal dari bathok kelapa. Selain untuk membantu mengurangi limbah bathok kelapa, penggunaan briket arang menghasilkan panas yang lebih dan irit dalam penggunaannya. Tungku pembakarannya pun kekinian. Teknologi hybrid ia terapkan. Para penjajak sate biasanya menggunakan minyak dan kertas untuk penyalaan arangnya, Mas To’ menggunakaan gas sebagai penyalaan awal briket arang. Nasinya, berasal dari beras organik yang di beli dari petani di daerah Magelang. Susu sebagai bahan dasar yoghurt ia dapatkan dari peternak sapi perah yang berada di daerah Cangkringan. Bunga Telang kering ia dapatkan dari temannya sesama alumni IPB di daerah Kediri.

Bahan baku lokal tak selamanya kalah dengan bahan baku import. Selain dapat bersaing dengan bahan baku import, bahan baku lokal kualitasnya lebih bagus. Dari segi harga? Harga itu relatif. Seperti kalimat berikut: ‘Ada rupa, ada harga’. Kalimat tersebut berarti, kualitas bagus pasti juga memiliki harga yang sebanding.

Berawal dari kegemaran, dibumbui dengan tekad yang kuat serta ketekunan, rupanya tak ada yang tak mungkin. Hal itu telah dibuktikan oleh sosok inspiratif bernama Muhammad Subroto, pemilik Warung Nglathak. Ia tak bisa hingga seperti saat ini tanpa melalui fasa yang bernama proses. Itu semua adalah hasil dari buah ia menikmati sebuah proses. Hingga kini pun ia masih berproses. Proses tidak akan pernah mengkhianati hasil. Cintailah pekerjaanmu, maka pekerjaanmu juga akan mencintaimu.

Kota pelajar, 22 Januari 2017

Salam pamol,

Dimas Anggoro Saputro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun