Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersepeda Bisa Mengajarkan Kita Menjadi Manusia

12 Januari 2017   01:35 Diperbarui: 12 Januari 2017   07:33 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kakek menggandeng sepeda. Dokumentasi pribadi

Muhidin menceritakan betapa mirisnya nasib pesepeda kini. Menurutnya, kecepatan menjadi harga mutlak di jalan raya. Yang lambat menyingkir jauh-jauh. Ngeyel, sikat! Muncullah tagar #SepedaSunyi. Berawal dari para pegiat sepeda yang menyalakan lilin dan mengusung ‘sepeda putih’ sebagai simbolnya yang bertempat di Tugu, Yogyakarta. Tonggak lahirnya gerakan tersebut adalah tragedi 05 Januari. Tragedi yang telah merenggut nyawa seorang bocah bernama Nova Arif Safaat

Bocah kelas 1 SD itu meninggal ditempat setelah di ‘sikat’ sebuah bus yang melaju kencang di jalan Tentara Pelajar (Palagan) KM 10 dari arah selatan. Dalam kecepatan itu kita lupa kemanusiaan kita, begitu katanya. Nasehat kebaikan menghilang saat orang menunggangi kecepatan. Bahkan, lupa pada dirinya sendiri dan keluarganya. Begitulah menurut Milan Kundera.

Bersepeda. Banyak nilai-nilai pendidikan yang bisa kita petik, kita pelajari dan kita ajarkan, sebenarnya. Filosofi bersepeda dapat mengajarkan di antaranya: rendah hati, kesederhanaan, tenggang rasa dan kebersamaan. 

Seseorang yang bersepeda akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengan orang yang ditemuinya. Bertegur sapa, berbincang-bincang ringan tanpa harus diburu bunyi klakson tak tau diri yang memekakan telinga. Bahkan bisa berhenti mendadak di saat orang lain memanggilnya. Melakukan kebaikan memang bergantung setiap individu manusia sendiri, kembali lagi ke pribadi masing-masing.

Mengkayuh untuk pulang. Dokumentasi pribadi
Mengkayuh untuk pulang. Dokumentasi pribadi
Teringat sewaktu kecil dulu ketika masih tinggal di pusat kota Yogyakarta. Kampung di salah satu pusat kota itu memiliki gang-gang kecil dengan deretan rumah padat dipinggirnya. Jika dulu bersepeda melewati gang-gang tersebut dan berpapasan dengan orang tua, saya harus turun dari sepeda, menuntun sepeda dan menegur orang tua tersebut seraya mengucap “Ndherek langkung (permisi)”. Ada aturan di beberapa gang yang mengharuskan saya menuntun sepeda, tidak boleh mengendarainya.

Kini, memiliki mobil dan motor menjadi parameter terdepan untuk menunjukkan kasta sosial kita di masyarakat, dengan bangganya pula. Kegembiraan bersepeda kini (mungkin) banyak kita temui dengan iming-iming hadiah dan kaos. Lambaian umbul-umbul hingga silau papan reklame lebih asik dan menarik. Persembahan dari para pemilik usaha dengan modal besar.***

Sepeda semakin tersisih. Bersepeda tak lagi sama seperti dahulu. Penghormatan bagi yang hidup di sekeliling, ramah dan patembayan, dan saling sapa. Kini mungkin kebanyakan bersepeda adalah pilihan gaya hidup. Dikendarai pada hari-hari tertentu. Ironi ketika sebuah moda transportasi yang ramah dan menyehatkan berubah menjadi tak ubahnya barisan pamer. Kegiatan itu tak memiliki kontribusi untuk sekadar memperbaiki kualitas peradaban lalu lintas kita.

Bersepeda untuk mendukung aktivitas sehari-hari dengan alih-alih tubuh menjadi sehat dan ikut berkontribusi dalam pengurangan dampak pemanasan global hanya menjadi angan dan wacana. Jikalau direalisasikan mungkin hanya sehari-dua hari. Panas-panas tai ayam.

Mengeluhkan semakin hari kok semakin panas. Cuaca tak menentu. Apakah itu akibat dari efek rumah kaca atau pemanasan global? Siapa yang berbuat hingga berakibat seperti itu? Saya adalah salah satu kontributornya, jika Anda ingin mengetahuinya. Saya masih bergantung kepada energi fosil. Atap yang memayungi keluarga saya bak cermin pemantul cahaya dan panas ke angkasa yang dinamai atmosfer. Masih banyak lagi yang saya setorkan ke dalam tabungan bernama efek rumah kaca atau pemanasan global.

Pantaskah saya masih menyandang sebuah nama salah satu makhluk ‘sempurna’ ciptaan Tuhan yang bernama manusia??

Kota Pelajar, 11 Jan. 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun