Mohon tunggu...
Dimas Anggaru Pratama
Dimas Anggaru Pratama Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar yang haus ilmu

Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta. Suka Beda Sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aroma Persaingan Usaha di Balik Polemik Susu Kental Manis

18 Desember 2017   16:58 Diperbarui: 18 Desember 2017   19:40 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pengamat kebijakan publik nasional dalam sebuah artikel beberapa waktu lalu menyampaikan, salah satu produk air minum dalam kemasan di Indonesia sedang menghadapi serangan pemberitaan negatif yang dilaksanakan secara masif dan terorganisir oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika sinyalemen tersebut betul, upaya-upaya seperti ini tentunya dapat dikategorikan sebagai bentuk persekusi akibat persaingan dagang yang tidak etis dan sangat tidak layak untuk dilakukan.

Persoalan yang dihadapi produk air minum dalam kemasan tersebut sejatinya mirip sekali dengan yang dialami susu kental manis (SKM). Entah angin apa yang membuat isu SKM juga tiba-tiba menghangat. Dalam enam bulan terakhir, berbagai pemberitaan maupun aktivitas yang "menyerang" secara terbuka keberadaan produk ini seolah tak ada habisnya.

Tak ayal, perang opini di media pun bersliweran dan saling bersahutan. Ada yang pro dan kontra terhadap SKM. Tercatat selama periode Juli sampai akhir November 2017, terdapat lebih dari 270 berita negatif mengenai SKM. Ini belum termasuk serangan melalui media sosial serta acara seminar atau diskusi terbatas.

Sepintas tak ada yang aneh dari berbagai aktivitas itu. Namun jika ditelisik lebih dalam, aroma persaingan usaha dari kampanye negatif SKM begitu "kental" terasa. Sejumlah data dan informasi memperkuat dugaan tersebut.

Paling tidak ada tiga hal yang menjurus persaingan usaha berada di balik kampanye negatif terhadap SKM. Pertama, berbagai premis negatif mengenai SKM datang secara masif, sistematis dan terstruktur.

Pemilihan sudut pandang (angle) dan pola serangan hampir sama dan saling terkait. Angle utama yang dihembuskan adalah bahwa SKM bukanlah susu karena mengandung gula yang tinggi dan juga iklan yang disusun oleh produsen dianggap menyesatkan karena diarahkan kepada anak-anak. Akibatnya, terbentuk opini SKM tidak aman/layak dikonsumsi anak-anak.

Padahal, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan sudah jelas menyebutkan SKM termasuk susu dan masuk kategori pangan 01.3.1 (http://jdih.pom.go.id). Di sana disebutkan SKM adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari campuran susu dan gula hingga mencapai tingkat kepekatan tertentu; atau merupakan hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula, dengan atau tanpa penambahan bahan lain.

Gula yang ditambahkan harus dapat mencegah pembusukan. Produk dikemas secara kedap (hermetis) dan dipasteurisasi. Untuk SKM di Indonesia sendiri telah diatur berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan juga Codex Stan 282-1971.

Berbagai ketentuan itu adalah penyempurnaan sekaligus penegasan dari Peraturan BPOM Nomor 1 Tahun 2015 (http://bit.ly/2A8QXnj) dan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun 2006. (http://bit.ly/2jtKeBx). Dua peraturan terakhir juga menata Kategori Pangan. Melihat perjalanan panjang munculnya berbagai aturan tersebut, tentu sangat mengherankan jika keberadaan SKM baru diributkan sekarang.

Kejanggalan kedua yang menguatkan dugaan persaingan usaha dibalik polemik SKM adalah tuduhan bahwa produk ini menjadi penyebab utama timbulnya berbagai penyakit seperti obesitas dengan risiko diabetes, serta penyakit kardiovaskuler. Sulit rasanya memastikan bahwa SKM sebagai penyebab utama munculnya berbagai risiko tersebut.

Padahal, di Indonesia ada banyak makanan lain yang juga mengandung gula cukup tinggi. Anehnya, mereka sama sekali tidak dipersoalkan. Belum lagi sejumlah pakar nutrisi yang menegaskan persoalan penyakit terkait gula muncul akibat gizi dan asupan yang tidak seimbang serta gaya hidup masyarakat yang kurang gerak (sedentari). 

Ketiga, aktifitas beberapa Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat serta komunitas penulis yang tiba-tiba getol menyerang SKM sejak pertengahan 2017. Mereka kerap mengadakan seminar, forum diskusi atau aksi di jalanan yang demikian gencar, mencoba menciptakan opini negatif terhadap SKM.

Informasi yang diperoleh mensinyalir mereka memiliki hubungan dengan pelaku usaha tertentu. Jika informasi ini benar, maka patut dipertanyakan netralitas dan tujuan dibalik semua ini.

Mengapa SKM yang salah

Boleh jadi jawaban atas pertanyaan kenapa geger SKM baru terjadi beberapa bulan belakangan ada pada data yang diterbitkan oleh Nielsen. Berdasarkan riset Nielsen tahun 2016, peningkatan konsumsi SKM pada tahun 2016 adalah 5,6% dibandingkan pertumbuhan susu bubuk yang minus 0,1%.

Harga SKM yang terjangkau menjadi alternatif bagi orang tua dengan kemampuan ekonomi tertentu untuk memberikan susu bagi keluarganya.

Keberadaan SKM yang terus dihubungkan dengan konsumsi gula penyebab obesitas dan diabetes juga patut dipertanyakan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2015, persentase gula yang disumbangkan konsumsi pangan olahan di mana SKM masuk di dalamnya hanya 15% dari total gula yang dikonsumsi masyarakat, sedangkan sisanya sebesar 85% diperoleh dari pangan lain.

Artinya, mayoritas sumber gula sesungguhnya bukan berasal dari SKM. Apalagi, di dalam kategori Pangan Olahan saja terdapat banyak produk-produk lain. Singkat kata, terlalu naif jika menuding SKM sebagai sumber utama penyebab obesitas dan diabetes. Terlebih lagi, sampai sekarang belum ada penelitian atau kajian yang dapat membuktikan pengaruh signifikan SKM terhadap tingkat obesitas dan diabetes, khususnya pada anak-anak.

Melihat berbagai fakta di atas, BPOM dan juga kementerian terkait lain termasuk Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak haruslah ekstra hati-hati menyikapi polemik ini. Pemerintah serta para pemangku kepentingan lainnya tidak boleh mudah terprovokasi dan reaktif menanggapi isu-isu di pasar. Apalagi, berbagai tudingan tak didasari kajian dan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan plus ada indikasi persaingan usaha di belakangnya. Terakhir, persaingan usaha merupakan hal yang wajar, namun, alangkah baiknya dilakukan dengan upaya-upaya yang etis dan bukan dengan melakukan kampanye negatif dibelakang layar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun