Pembaca pun dapat rehat sejenak dari ketegangannya, sebab James Dashner mengisi tiap bab dengan cerita yang pendek, tidak bertele-tele, dan hanya menghabiskan sekitar 4—6 halaman saja. Dengan gaya becerita seperti itu, wajar apabila karya pria asal Amerika Serikat ini mudah dicerna oleh pembaca, termasuk pembaca usia muda dan awam.
Satu hal yang menjadi kekurangan adalah bagian akhir cerita. Yup, entah mengapa menurut penulis Dashner kerap gagal memenuhi ekspetasi pembaca di bagian ini. Setelah The Scorch Trials berakhir dengan akhir yang menggantung namun tanggung, bisa dilihat sendiri dari filmnya, kali ini penulis menilai akhir cerita The Death Cure tampak sedikit absurd.
Beberapa konflik tak pernah terselesaikan secara tuntas. Ibaratnya, konflik internal selesai, namun eksternal tidak. Namun, penulis menilai memang seperti inilah cerita yang diinginkan oleh James Dashner.
Terlepas dari itu, semangat pemberontakkan Thomas dan teman-temannya yang ditunjukkan dalam cerita tetap menjadi nilai yang paling berharga dari karya James Dashner ini. Tak hanya terdapat pada The Death Cure, melainkan pada keseluruhan Triloginya.
Dan pastinya, publik wajib menantikan Dylen O’Brien dkk mengadaptasikan peran serta cerita novel ini ke layar lebar tahun 2017 mendatang.
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H