Pandemi COVID-19 menyebabkan kondisi dunia berubah. Tidak hanya dari segi kesehatan masyarakat dunia, tetapi juga dari berbagai sektor semisal ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan, dan banyak lagi.
Kondisi dunia perlahan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya jumlah kasus aktif COVID-19. Penyakit yang menyerang sistem pernafasan ini dapat menyebabkan kematian, dibarengi dengan beberapa gejala seperti sesak nafas, demam tinggi, batuk-batuk, dan lain sebagainya. Pandemi yang berawal dari kota Wuhan, Tiongkok ini telah menyebar ke hampir setiap negara di dunia, termasuk Indonesia sendiri.
Per tanggal 8 Oktober 2020, menurut statistik mengenai jumlah kasus aktif COVID-19 yang dikeluarkan oleh Center for System Sciences and Engineering John Hopkins University (CSSE JHU) (Hopkins 2020), terdapat kasus aktif di dunia sebanyak 36.071.253 juta kasus. Sedangkan, untuk di Indonesia sendiri, per tanggal yang sama, yaitu 8 Oktober 2020, terdapat kasus aktif sebanyak 315.714 ribu kasus. Hal ini menandakan bahwa di Indonesia sendiri, jumlah kasus COVID-19 sudah cukup menghawatirkan masyarakat, khususnya mereka yang berada dalam kondisi rentan.
Di tengah kondisi pandemi seperti ini, tentunya terdapat banyak aspek kehidupan kita yang terpengaruhi. Semisal, pekerjaan, aktivitas sosial, beribadah, dan gaya hidup secara keseluruhan. Sejauh ini, hampir semua negara di dunia sudah menerapkan beberapa kebijakan baru terkait penanganan COVID-19 agar ditekan penyebarannya sehingga tidak membahayakan orang banyak. Adapun contoh dari kebijakan-kebijakan pembatasan sosial skala besar atau PSBB, penutupan akses keluar masuk negara, penutupan tempat-tempat umum, dan memberlakukan pola hidup sehat. Selain itu, jam kerja untuk rumah sakit dan tenaga medis ditambah seiring dengan meningkatnya jumlah kasus aktif.
Seiring dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada masa pandemi COVID-19 ini, berbagai permasalahan terkait usaha-usaha untuk mulai menyesuaikan diri dengan kondisi baru bermunculan. Selain karena sebagian masyarakat terkena COVID-19, sebagian lagi berusaha untuk terus selalu bertahan di kondisi yang menyebabkan kehidupan mereka berubah seketika. Tidak jarang mereka mengalami reaksi-reaksi psikologis sebagai akibat dari PHK, kehilangan orang yang disayangi, merasa kehilangan harapan dan tujuan, dan lain sebagainya.
Menurut sebuah artikel jurnal di Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh International Journal of Medicine (Serafini, et al. 2020), beberapa contoh reaksi psikologis yang kemudian muncul antara lain adalah ketakutan berlebih atas infeksi COVID-19, isolasi sosial berlebih, frustasi dan kebosanan, dan kesepian yang dapat membuat orang menjadi tidak berdaya.
Dapat disimpulkan, bahwa keempat contoh reaksi psikologis tersebut adalah suatu urutan kejadian. Dari artikel tersebut dijelaskan, bahwa pertama-tama, orang akan merasa takut karena sudah merasa terekspos kepada sumber virus, takut menyebarkan virus ke orang-orang terdekat.
Setelah mengalami ketakutan berlebih, orang akan mulai menghindar dari kerumunan sebagai akibat dari kebijakan lockdown yang lama-lama bisa menyebabkan ansietas atau kecemasan sebagai akibat dari kurangnya pengalaman fisik seperti beraktivitas pada biasanya dan kesepian atau lelah berkepanjangan.
Setelah orang mengisolasi dirinya sendiri, bisa muncul gejala seperti perasaan frustasi dan bosan sebagai akibat dari pengurungan diri, berkurangnya kontak dengan orang lain, dan berubahnya kebiasaan hidup. Setelah itu, orang bisa merasa kesepian yang dapat dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan kecenderungan bunuh diri. Tentunya kondisi ini dapat diperparah jika terdapat trauma yang sudah dimiliki sejak kecil, atau substance abuse berupa kebiasaan meminum alkohol atau narkoba.
Lantas, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Kondisi di Indonesia juga tidak berbeda. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan layanan swaperiksa secara daring melalui lamannya pdskji.org/home mulai dari bulan April 2020 sampai dengan bulan Agustus 2020 untuk melihat dampak pandemi COVID-19 di Indonesia.
Berdasarkan hasil dari 4010 swaperiksa, sebanyak 64.8% dari pengguna Swaperiksa PDSKJI mengalami masalah psikologis dengan komposisi secara jender 71% wanita dan 29% pria dengan kelompok umur yang paling banyak mengalami masalah psikologis adalah 17-29 tahun dan 60> (PDSKJI 2020). Menurut sumber yang sama, diterangkan bahwa tiga masalah psikologis terbesar yang dialami adalah cemas sebanyak 65% dari responden, depresi sebanyak 62% dari responden, dan trauma sebanyak 75% dari responden. Selain itu, tiga wilayah responden terbanyak secara turut-berturut adalah Jawa Barat (26.7%), DKI Jakarta (21.5%), dan Jawa Tengah (15.5%).
Khusus untuk depresi itu sendiri, dalam artikel lain dijelaskan bahwa terdapat empat faktor risiko utama depresi sebagai akibat dari pandemi COVID-19 (Winurini 2020). Yaitu faktor jarak dan isolasi sosial, resesi ekonomi akibat COVID-19, stress dan trauma pada tenaga kesehatan, dan stigma dan diskriminasi. Dari penjelasan data di atas mengenai jumlah masyarakat yang mengalami gejala-gejala psikologis seperti cemas, depresi, dan trauma dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan mental sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan mental masyarakat itu sendiri, apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19.
Di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (Fanuel and Tapiomas 2006) yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” disebutkan bahwa setiap orang Indonesia berhak untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Memperoleh pelayanan kesehatan di sini, selain merupakan salah satu isi dari UUD 1945, juga merupakan hak dasar dari seorang manusia.
Indonesia memiliki suatu undang-undang tersendiri terkait kesehatan jiwa, yaitu UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Menurut Pasal 1 nomor 1 UU No.18 Tahun 2014 (Republik Indonesia 2014), kesehatan jiwa adalah “kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.”
Menurut penjelasan umum atas UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, diterangkan bahwa undang-undang ini adalah bentuk jaminan akan tujuan pembangunan kesehatan yang setinggi-tingginya dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai upaya kesehatan termasuk upaya kesehatan jiwa melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa adanya undang-undang ini dilatarbelakangi oleh belum optimalnya pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Apakah yang dimaksud dengan ODMK dan ODGJ? ODMK adalah (Handoyo 2020) orang yang memiliki masalah kejiwaan namun masih dapat beraktivitas seperti biasa, meski merasa tidak nyaman. Sedangkan, untuk ODGJ adalah orang yang mengalami masalah kejiwaan tetapi sudah memengaruhi aktivitasnya sehari-sehari sehingga menurunkan produktivitas hidupnya dan memerlukan pengobatan lebih lanjut.
ODMK dan ODGJ sering kali terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Belum lagi ODGJ dan ODMK masih mendapat stigma sosial yang buruk dari masyarakat sehingga mereka memiliki sedikit akses terhadap layanan kesehatan mental yang berakibat menurunnya produktivitas dalam berkegiatan sehari-hari. Secara hukum, belum terdapat peraturan yang komprehensif mengenai pelayanan kesehatan mental sehingga hak-hak bagi ODGJ dan ODMK masih belum dapat terlayani.
Lalu hak dan kewajiban apa sajakah yang dimiliki oleh ODMK dan ODGJ? Menurut Pasal 68 UU No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, diterangkan bahwa ODMK berhak untuk (Republik Indonesia 2014):
- Mendapatkan informasi yang tepat mengenai Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
- Menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa.
Menurut Pasal 69 dalam UU No.18 Tahun 2014, ODMK berkewajiban untuk memelihara kesehatan jiwanya dengan cara menjaga perilaku, kebiasaan, gaya hidup sehat, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial.
Sedangkan hak seorang ODGJ menurut Pasal 70 ayat (1) dalam UU No.18 Tahun 2014 adalah:
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
- Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan kebutuhannya;
- Memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
- Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
- Mendapatkan perlindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi;
- Mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
- Mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.
Kewajiban untuk ODGJ tidak disebutkan, karena dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri sehingga harus bergantung dengan orang lain, dalam hal ini orang-orang terdekatnya dan tenaga medis.
Dalam Pasal 75 UU No.18 Tahun 2014, disebutkan peran pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa. Antara lain mengadakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesehatan jiwa kepada masyarakat secara keseluruhan dan berkesinambungan (Pasal 76 ayat (1)), menyediakan sarana dan prasarana upaya kesehatan jiwa (Pasal 77), menjamin ketersediaan dan kesejahteraan tenaga medis di bidang kesehatan jiwa (Pasal 78), mengatur ketersediaan obat psikofarmaka (Pasal 79 ayat (1)), mengatur penatalaksanaan ODGJ yang terlantar (Pasal 80), melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar (Pasal 81 ayat (1)), dan melakukan penampungan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan bagi ODGJ yang sembuh (Pasal 82).
Selain pemerintah, masyarakat juga memiliki peran serta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84 dan 85 UU No.18 Tahun 2014. Menurut Pasal 84 ayat (1) dan (2) UU No.18 Tahun 2014, masyarakat dapat berperan dalam upaya kesehatan jiwa baik secara perseorangan atau kelompok. Dalam Pasal 85 dalam undang-undang yang sama, masyarakat dapat berperan dengan cara memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana prasarana kesehatan jiwa, melaporkan adanya ODGJ yang butuh pertolongan, dan melaporkan tindak kekerasan yang dialami dan yang dilakukan ODGJ.
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa ODMK dan ODGJ mempunyai hak untuk mendapatkan layanan kesehatan mental yang tentunya disiapkan oleh pemerintah agar mereka dapat terjamin hak-haknya dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Tentu juga, ODMK dan ODGJ haruslah didukung oleh masyarakat sekitar dalam rangka menghilangkan stigmatisasi yang buruk soal ODMK dan ODGJ. Lantas, bagaimana pelaksanaan penyediaan layanan kesehatan mental sejauh ini, khususnya di masa pandemi COVID-19?
Pada akhir bulan April 2020 (Winurini 2020), Kantor Staf Presiden (KSP) bersama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Kementrian Kesehatan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, PT Telkom, Infomedia, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) meluncurkan sebuah layanan konsultasi psikologi kesehatan jiwa atau Sejiwa. Layanan Sejiwa akan ditujukan untuk membantu masyarakat dalam menangani ancaman tekanan psikologis di tengah pandemi Covid-19.
Selain itu, Kementrian Kesehatan sudah meluncurkan Buku Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Pandemi Covid-19 yang merujuk pada kebijakan WHO. Kementrian Kesehatan juga ikut melibatkan peran masyarakat melalui Desa Siaga Covid-19. Desa Siaga Covid-19 adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan mengatasi masalah kesehatan, baik fisik maupun mental, secara mandiri dalam menghadapi Covid-19. Desa Siaga kemudian diturunkan menjadi RT/RW Siaga Sehat Jiwa dengan mendatangkan psikolog klinis yang mengedukasi dan memberikan panudan keterampilan praktis kepada masyarakat untuk menjaga kesehatan mentalnya.
Selain layanan yang disediakan oleh pemerintah, bagi mereka yang tetap menginginkan layanan kesehatan jiwa secara mudah dan praktis, terdapat beberapa alternatif lain seperti mengunduh aplikasi layanan kesehatan jiwa seperti Riliv, Sanvello, 7cups, Mindshift, dan banyak lagi yang menawarkan layanan konsultasi kesehatan jiwa. Selain itu, juga dapat tetap mengajukan sesi konseling ke psikolog atau psikiater di klinik terdekat sesuai dengan waktu yang kita inginkan.
Dapat disimpulkan bahwa layanan kesehatan mental adalah suatu hal yang penting dan sudah dijamin keberadaannya oleh pemerintah melalui Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. ODMK, ODGJ, dan orang biasa pun berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan dan tidak mendapat diskriminasi dari pihak manapun terkait kondisi kesehatan jiwanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H