Sumber: berita
Polisi turut menetapkan Ketua RT berinisial D (53) sebagai tersangka kasus penggerudukan mahasiswa yang tengah melakukan ibadah Doa Rosario di Tangerang Selatan.
AKBP Ibnu mengatakan Ketua RT dan tiga tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI No 12 Tahun 1951 juncto Pasal 170 KUHP terkait Pengeroyokan juncto Pasal 351 KUHP ayat 1 tentang penganiayaan juncto Pasal 335 KUHP ayat 1 tentang pemaksaan disertai ancaman kekerasan atau perbuatan kekerasan juncto Pasal 55 KUHP ayat 1.
"Pasal 170 KUHP terkait pengeroyokan dengan ancaman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan," kata Ibnu.
Kejadian tersebut tentunya sangat disayangkan bagi kita semua sebagai umat beragama yang tinggal di Indonesia. Pasalnya kemerdekaan untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama masing-masing tertuang di dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau biasa disebut UUD 1945.Â
Di sini saya mencoba untuk menelaah beberapa hal. Yang pertama, terdapat 2 (dua) perbedaan laporan. Dari sudut pandang perwakilan mahasiswa bernama Legy, ia menyebutkan kedatangan Ketua RT ke lokasi dibarengi dengan ucapan kata-kata kasar. "Kami selesai doa, pak RT datang, dia ngomong 'bangsat, anjing, tolol, jangan ibadah di sini'," yang tentunya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan intoleransi. Sementara itu, keterangan lain menyebutkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa di dalam sebuah kamar kos dinilai mengganggu meresahkan warga karena dilakukan pada jam 9 malam.
Karena memiliki teman yang juga beragama Katholik, lantas saya berinisiatif untuk bertanya tentang kegiatan doa yang dimaksud di dalam berita-berita dan teman saya menuturkan bahwa do'a rosario merupakan salah satu tradisi penghormatan kepada Bunda Maria (dalam Islam=Siti Maryam) yang dilakukan di satu waktu tertentu. Teman saya juga menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud merupakan ibadah tertutup yang bisa dilakukan sendiri ataupun bersama orang lain di sebuah ruangan.
Dari penjelasan teman saya, saya dapat menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut sebenarnya tidak dapat dikategorikan "mengganggu" terlebih ketika mengetahui fakta kalau kegiatan do'a dilakukan di dalam kamar kost. Kepolisian Resort Tangerang Selatan sendiri telah menahan 4 (empat) tersangka, dan menurut saya pribadi penangkapan ini tidak serta merta akan menyelesaikan masalah. Karena di banyak jejaring sosial, banyak komentar yang sekiranya malah semakin menimbulkan perpecahan, yang kira-kira membandingkan antara mayoritas-minoritas, perizinan, dan banyak hal lainnya yang menurut saya tidak relevan.
Jika kita kembali pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita dapat melihat bahwa banyak dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan beragama muslim. Lantas, mengapa mereka tidak membentuk sebuah negara Islam saja? Padahal mereka memiliki andil yang cukup besar dalam memerdekakan Indonesia.
Besar harapan saya, agar setiap diri kita dapat merefleksikan sejarah perjuangan yang menekankan akan pentingnya persatuan di dalam perbedaan. Bahkan di dalam "Piagam Madinah", Nabi Muhammad SAW menjaminkan kebebasan beragamakeyakinan dan praktik bagi semua warga negara yang "mengikuti orang-orang yang beriman".
Karena Ketua RT ditetapkan sebagai tersangka yang memprovokasi terjadinya pengeroyokan dan pengancaman, sekiranya saya ingin menyampaikan fungsi Rukun Tetangga berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018, yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 5 Permendagri No. 18 Tahun 2018
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, LKD memiliki fungsi:Â
b) menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;
Kita dapat melihat di dalam Pasal 5 huruf b telah disebutkan LKD termasuk di dalamnya Rukun Tetangga, Rukun Warga, dll harus memupuk rasa persatuan. Sehingga tindakan provokasi yang dilakukan oleh "D" selaku Ketua RT tidak dapat dibenarkan.
Kedua, dampak psikologis yang dialami korban. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam tentunya ini akan menimbulkan efek buruk di mana teman dan saudara kita se-tanah air akan merasakan ketakutan yang mungkin mereka merasa tidak nyaman dan aman untuk tinggal di Indonesia.
Besar harapan saya sebagai penulis kepada teman-teman yang beragama non-muslim yang membaca tulisan ini agar menghindari perdebatan yang ada di kolom-kolom berita jejaring sosial (internet) karena hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Bahkan sesama kami sebagai umat muslim sendiri memiliki pandangan berbeda dan tingkat pendidikan yang berbeda juga. Sehingga menurut hemat saya, kita tidak perlu membuang-buang tenaga hanya untuk turut berkomentar dan cukup menyerahkan kejadian seperti ini kepada kepolisian dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H