Sejak masuknya Islam ke Nusantara, pendidikan Islam merupakan salahsatu unsur tersebarnya Islam ke penjuru tanah air. Bila berkaca dari hasil seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” yang dihelat di Medan pada 1963 menyiratkan makna bahwa Islam dipastikan masuk di Nusantara yaitu melalui garis bibir pantai Sumatera dan Aceh. Walaupun memang telah disepakati demikian, namun perdebatan itu seolah masih mewarnai ruang diskusi hingga detik ini. Spekulasi berbagai teori tentang masuknya Islam menambah daftar panjang perdebatan mengenai sejak kapan Islam datang di Nusantara.
Secara garis besar, pesantren masih dipandang sebagai kelanjutan dari sistem pengajaran mandala pada masa Hindu-Budha (Moestopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, 2001:150). Mandala dapat diartikan sebagai asrama yang menampung para pertapa atau pelajar yang ingin mendalami agama Siwa, serta berada ditengah-tengah hutan dengan dipimpin oleh guru dewa. Pesantren Ampeldenta yang berada di Surabaya dianggap sebagai bentuk dari pesantren yang telah berdiri sejak abad ke 15.
Bila ditinjau dari segi kebahasaan, pesantren berasal dari kata funduq yang memiliki arti asrama, dan shastri yang berarti orang-orang yang mengetahui buku-buku suci. Sehingga pondok pesantren memiliki arti asrama yang dihuni oleh orang-orang yang mengetahui buku-buku suci (Sayono, Perkembangan Pesantren di Jawa Timur, Tesis PPS UGM, 2001).
Dalam artikel ini akan membahas mengenai keberadaan pesantren yang diidentikkan dengan le petit histoire pesantren. Mengapa disebut le petit histoire? Hal ini dikarenakan pesantren merupakan ranah pendidikan kecil. Meskipun bersifat kecil namun dapat menggerakkan sebuah perlawanan untuk menggelorakan kemerdekaan. Dalam tulisan ini akan membahas keberadaan pondok pesantren di Nusantara, sejak masa kerajaan-kerajaan Islam, kependudukan Hindia Belanda, sampai masa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Dalam Historiografi Kolonial
Paku Buwana III (1991: 5) dalam Serat Centhini Jilid I menggambarkan bahwa keberadaan pesantren ketika itu tidak terlalu banyak. Dalam serat itu dijelaskan bahwa Giri (Ampel-Giri didapati sebagai pembuka bentuk pesantren pertama) yaitu sebuah wilayah yang dihuni oleh penduduk mayoritas Islam dengan dipimpin oleh Sunan Giri. Masyarakat di Giri sudah mengenal adanya Tuhan, menunaikan syariat nabi, membaca kitab suci Al Qur’an dan membangun masjid atau musholla. Soewito Susanto (1970: 99) dalam Babad Tanah Jawi hanya menulis bahwa pesantren di Ampeldenta dengan dipimpin oleh Sunan Ampel telah memiliki banyak santri. Lain lagi dalam Kitab Cebolek karangan (Moestopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, 2001:154-163).
Pada dasarnya pada masa kerajaan-kerajaan Islam, historiografi pesantren sudah ditulis, namun masih sangat terbatas. Pada masa ini, pesantren telah menjadi sarana penyebaran agama Islam dari daerah ke daerah. Sehingga tak begitu mengherankan jikalau para peneliti berpendapat bahwa pesantren adalah salahsatu sarana penyebar agama Islam di Nusantara.
Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Dalam Ranah Historiografi Kolonial
Pemerintah Hindia-Belanda menilai pondok pesantren memiliki andil yang cukup besar untuk pendidikan para pribumi. Untuk itu, Pemerintah Hindia-Belanda melakukan sebuah survei mengenai keberadaan pesantren. Hasilnya, didapati bahwa pesantren telah berdiri namun bentuknya masih sangat sederhana. Imron Arifin (1993) dalam bukunya Kepemimpinan Kyai dijelaskan bahwa pada masa kolonial kondisi pondok pesantren masih berbentuk ruangan persegi yang terbuat dari bambu yang dianyam.
Sayono (2001) dalam Tesis PPS UGM yang berjudul Perkembangan Pesantren di Jawa Timur menuliskan bahwa jumlah pesantren sudah cukup banyak hingga mencapai 300 buah. Sayono (2001) mengambarkan bahwa tulisan yang menyangkutkan mengenai pesantren dapat dilihat pada tulisan L.W.C Berg yang berjudul De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijk Goederen or Java en Madoera. Dalam tulisan ini, Berg memberikan gambaran mengenai pendidikan pesantren di Jawa dan Madura.
Sayono (2001) menjelaskan bahwa kuantitas pesantren telah digambarkan secara rinci oleh Berg, mengenai latarbelakang berdirinya pesantren ditulis oleh Guillot dan Snouck Hurgronye, sementara proses pendidikan yang diterapkan oleh pesantren di tulis oleh Achmad Djajadiningrat. Pondok pesantren dikatakan berdiri manakala seseorang (kyai) membuka pengajian agama Islam, lambat laun kebanyakan orang yang belajar mengenai agama kemudian bertempat tinggal ditempat yang dimaksud (rumah kyai itu). Sayono (2001) memberitakan bahwa aktivitas yang dilakukan di pondok pesantren sehari-hari ialah membaca dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, serta talamidz menyetorkan hafalannya pada kyai untuk diperiksa. Dalam pendidikan pondok pesantren metode yang digunakan adalah sorogan.
Pemerintah Hindia-Belanda sempat memiliki pandangan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang rendah, sehingga kemajuan yang berarti bagi para muridnya. Namun pandangan ini berubah drastis, tatkala terjadi Pemberontakan Petani di Banten pada 1888 yang membuat pesantren dibatasi pergerakannya. Tokoh-tokoh kiai yang memberontak kepada Belanda menyebabkan pesantren dapat membahayakan Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang yang menyebabkan para petani memberontak kepada Pemerintah Hindia-Belanda tidak terlepas dari peraturan yang ditetapkan oleh Belanda itu sendiri.
Anzar Abdullah dalam Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia sampai Orde Baru (2013), Pemerintah Hindia-Belanda sempat menetapkan bahwa Sekolah Agama Kristen (Zendingschool) wajib ada disetiap karasidenan. Untuk memperkuat kedudukan itu, maka dibentuklah sebuah badan khusus yang menangani sekaligus mengawasi kehidupan pendidikan pesantren, priesterraden.
Karena kebijakan itulah, maka muncullah berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh para kiai dan santri. Tak pelak karena adanya serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh kiai dan santri, maka Pemerintah Hindia Belanda mengawasi guru agama (kyai).
Bahkan Suminto (1985:193) dalam "Politik Islam Hindia-Belanda" menggambarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda memandang guru agama sebagai sosok yang sangat berbahaya. Hal ini tidak terlepas dari meledaknya Pemberontakan Petani di Banten pada 1888 membuat pemerintah semakin mengawasi geark-gerik guru agama (kyai). Meskipun demikian historiografi kolonial lebih terkesan sebagai pemetaan keberadaan pesantren sebagai bentuk kepentingan kolonial itu sendiri.
Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Pasca Kemerdekaan
Pada masa revolusi fisik, pesantren memiliki kontribusi yang sangat penting bagi pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Melalui resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, menandai perang jihad fi sabilillah melawan londo kafir. Selaras dengan itu, penulisan yang menggunakan pendekatan pesantren pada saat post-kemerdekaan terhitung banyak. Namun, ada beberapa penulisan pesantren yang menggunakan pendekatan kisah sehingga menimbulkan kerancuan karena pendekatan kisah pondok pesantren termasuk kategori historiografi atau tidak.
P3 M sempat menuliskan buku yang berjudul Kyai dan Perubahan Sosial dengan pengarang Hiroko Horikoshi (1987) yang menjelaskan tentang peranan kyai dalam mengubah tatanan masyarakat di sekitar pondok pesantren. Landasan teori yang dipakai dalam buku ini adalah teori culture broker. Sebenarnya, teori ini pernah digunakan oleh Clifford Geertz dalam sebuah artikel yang berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker, namun penelitian Horikoshi menampilkan hasil yang berbeda.
Sebuah buku yang mengulas tentang pesantren pertama kali, berjudul Direktori Pesantren I, diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta (Sayono, Perkembangan Pesantren di Jawa Timur, Tesis PPS UGM, 2001). Dalam buku ini menerangkan mengenai panduan bagi pemula yang tertarik mempelajari pesantren. Buku ini menuliskan profil 255 pesantren secara singkat, mulai dari latarbelakang berdirinya, para pendiri pondok pesantren, sarana dan prasarana pesantren, sampai kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren.
Penelitian tentang kyai ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier (2013) dengan judul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Dalam buku ini menjelaskan tentang corak pesantren dengan berbagai tipe, seperti adanya lima tiang penyangga pesantren, yaitu kyai, pondok, santri, kitab kuning dan masjid. Bila dihitung sejak masa kemerdekaan hingga saat ini telah banyak buku yang membahas tentang pesantren baik itu dengan perspektif kiai, santri ataupun pendidikannya.
Abdul Jamil (2001) yang mengarang buku berjudul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisasak. Pada awalnya buku ini adalah bagian dari disertasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku ini mengupas mengenai anatomi gerakan KH. Ahmad Rifai mengenai pemikiran tindakan. Dalam karya ini, Abdul Jamil menggunakan sumber primer untuk menunjang penelitiannya. Pada kalimat penutup terdapat sebuah statement yang memberikan sebuah tipologi kebudayaan baru yang dijuluki sebagai regional-tradisional-movement dengan tiga ciri yaitu loyalitas, hubungan kekerabatan dan hubungan antar status tradisional.
Buku lain yang mengupas tentang pesantren adalah Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakin yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie (2002). Buku ini menggunakan perspektif sejarah pemikiran dan mengkaji mengenai peta Islam yang bergerumul di Jawa. Zainul Milal Bizawie (2002) mengkaji secara rinci mengenai komunitas pesantren dengan segala penerapannya dalam ilmu sejarah adalah hal yang baru yang menggairahkan.
Dua buku yang diulas itu merupakan buku-buku yang relatif beredar setelah reformasi. Selain dua buku itu, dijumpai buku-buku lain yang masih eksis hingga saat ini, diantaranya: Abdul Mun’im D.Z. (2017) dengan karyanya yang berjudul Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara, Sukamto (1999) dalam bukunya Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Martin Van Bruinessen (1999) dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, dan lain sebagainya.
Penulis Dimas Bagus Aditya, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H