Anzar Abdullah dalam Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia sampai Orde Baru (2013), Pemerintah Hindia-Belanda sempat menetapkan bahwa Sekolah Agama Kristen (Zendingschool) wajib ada disetiap karasidenan. Untuk memperkuat kedudukan itu, maka dibentuklah sebuah badan khusus yang menangani sekaligus mengawasi kehidupan pendidikan pesantren, priesterraden.
Karena kebijakan itulah, maka muncullah berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh para kiai dan santri. Tak pelak karena adanya serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh kiai dan santri, maka Pemerintah Hindia Belanda mengawasi guru agama (kyai).
Bahkan Suminto (1985:193) dalam "Politik Islam Hindia-Belanda" menggambarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda memandang guru agama sebagai sosok yang sangat berbahaya. Hal ini tidak terlepas dari meledaknya Pemberontakan Petani di Banten pada 1888 membuat pemerintah semakin mengawasi geark-gerik guru agama (kyai). Meskipun demikian historiografi kolonial lebih terkesan sebagai pemetaan keberadaan pesantren sebagai bentuk kepentingan kolonial itu sendiri.
Melihat Le Petit Histoire Pesantren: Kacamata Pesantren Pasca Kemerdekaan
Pada masa revolusi fisik, pesantren memiliki kontribusi yang sangat penting bagi pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Melalui resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, menandai perang jihad fi sabilillah melawan londo kafir. Selaras dengan itu, penulisan yang menggunakan pendekatan pesantren pada saat post-kemerdekaan terhitung banyak. Namun, ada beberapa penulisan pesantren yang menggunakan pendekatan kisah sehingga menimbulkan kerancuan karena pendekatan kisah pondok pesantren termasuk kategori historiografi atau tidak.
P3 M sempat menuliskan buku yang berjudul Kyai dan Perubahan Sosial dengan pengarang Hiroko Horikoshi (1987) yang menjelaskan tentang peranan kyai dalam mengubah tatanan masyarakat di sekitar pondok pesantren. Landasan teori yang dipakai dalam buku ini adalah teori culture broker. Sebenarnya, teori ini pernah digunakan oleh Clifford Geertz dalam sebuah artikel yang berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker, namun penelitian Horikoshi menampilkan hasil yang berbeda.
Sebuah buku yang mengulas tentang pesantren pertama kali, berjudul Direktori Pesantren I, diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta (Sayono, Perkembangan Pesantren di Jawa Timur, Tesis PPS UGM, 2001). Dalam buku ini menerangkan mengenai panduan bagi pemula yang tertarik mempelajari pesantren. Buku ini menuliskan profil 255 pesantren secara singkat, mulai dari latarbelakang berdirinya, para pendiri pondok pesantren, sarana dan prasarana pesantren, sampai kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren.
Penelitian tentang kyai ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier (2013) dengan judul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Dalam buku ini menjelaskan tentang corak pesantren dengan berbagai tipe, seperti adanya lima tiang penyangga pesantren, yaitu kyai, pondok, santri, kitab kuning dan masjid. Bila dihitung sejak masa kemerdekaan hingga saat ini telah banyak buku yang membahas tentang pesantren baik itu dengan perspektif kiai, santri ataupun pendidikannya.
Abdul Jamil (2001) yang mengarang buku berjudul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisasak. Pada awalnya buku ini adalah bagian dari disertasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku ini mengupas mengenai anatomi gerakan KH. Ahmad Rifai mengenai pemikiran tindakan. Dalam karya ini, Abdul Jamil menggunakan sumber primer untuk menunjang penelitiannya. Pada kalimat penutup terdapat sebuah statement yang memberikan sebuah tipologi kebudayaan baru yang dijuluki sebagai regional-tradisional-movement dengan tiga ciri yaitu loyalitas, hubungan kekerabatan dan hubungan antar status tradisional.
Buku lain yang mengupas tentang pesantren adalah Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakin yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie (2002). Buku ini menggunakan perspektif sejarah pemikiran dan mengkaji mengenai peta Islam yang bergerumul di Jawa. Zainul Milal Bizawie (2002) mengkaji secara rinci mengenai komunitas pesantren dengan segala penerapannya dalam ilmu sejarah adalah hal yang baru yang menggairahkan.
Dua buku yang diulas itu merupakan buku-buku yang relatif beredar setelah reformasi. Selain dua buku itu, dijumpai buku-buku lain yang masih eksis hingga saat ini, diantaranya:  Abdul Mun’im D.Z. (2017) dengan karyanya yang berjudul Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara, Sukamto (1999) dalam bukunya Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Martin Van Bruinessen (1999) dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, dan lain sebagainya.