Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... Penulis - CW

Journalist & Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tak Punya Tradisi Jadi Oposisi, Golkar Selalu Main Dua Kaki?

31 Agustus 2018   02:53 Diperbarui: 31 Agustus 2018   03:02 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu-satunya partai politik di Indonesia yang tidak memiliki tradisi menjadi oposisi, hanyalah Partai Golkar. Apapun pilihan politiknya saat pilpres, tak peduli kandidatnya meang atau kalah, pada akhirnya, mereka akan berlabuh jua di lingkaran kekuasaan. Hal ini jugalah yang kerap membuat partai politik ini terkesan selalu bermain dua kali dalam kontestasi demokrasi.

Sejak era reformasi bergulir, partai berlambang pohon beringin ini selalu bergejolak kala menghadapi pemilihan presiden. Perseteruan antar kader sering terjadi, bahkan tak jarang berujung pecah kongsi. Banyak elite yang lari, karena aspirasi tidak diakomodasi.

Akibat konflik ini, banyak pula partai politik baru yang tercipta. Seperti Hanura yang didirikan Wiranto, Nasdem oleh Surya Paloh, dan Gerindra besutan Prabowo Subianto. Ketiga tokoh itu mendirikan parpol sendiri karena tidak mendapat tempat di internal Golkar.

2004

Pada tahun 2004, Golkar sudah mulai terbelah dalam menghadapi pilpres. Meski kala itu, partai berlambang beringin ini mengusung kader sendiri sebagai capres, yakni pasangan Wiranto dan Solahuddin Wahid (Gus Solah). Sayang, pasangan ini kalah telak oleh kader sendiri yaitu Jusuf Kalla (JK) yang menjadi wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Wiranto kecewa kepada Golkar karena pada pilpres itu dukungan kader lebih banyak ke pasangan SBY-JK. Ia lantas memutuskan keluar dari partai dan mendirikan Hanura. Sementara Prabowo yang kecewa karena tak diusung di pilpres, mendirikan Gerindra.

Usai kontestasi, Golkar lalu merapat ke SBY-JK dan menjadi bagian dari pemerintahan dalam lima tahun ke depannya.

2009

Di Pilpres 2009, Golkar kembali pecah. Namun kali ini, berganti posisi. Dukungan resmi diberikan kepada pasangan SBY-Boediono, sementara JK terlempar dari kubu petahana. SBY kembali menang, dan Golkar kian nyaman di lingkaran kekuasaan.

2014

Di tahun 2014, kondisi serupa kembali terulang. JK bergabung dengan koalisi PDI Perjuangan dengan menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi). Sementara Golkar mendukung Prabowo--Hatta Radjasa. Seperti 2004 silam, JK menang dan Golkar kembali ke pangkuan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun