Kematian Dimas Dikita Handoko, taruna junior Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) akibat dianiaya senior-seniornya sudah dianalisa dengan apik oleh Mbak Ira, dalam tulisannya Sekolah Kedinasan Haruskah Identik dengan Tradisi Kekerasan? Seketika tak dapat dielakkan, nama STIP memang menjadi trending topic di berbagai media.
Beberapa sahabat yang bersekolah di STIP menunjukkan loyalitasnya. Di beberapa akun media social-nya, mereka menyebut-nyebut nama almamaternya sebagai bentuk dukungan kepada kampus itu dalam menghadapi kasus ini. Memang tak seorang pun yang menginginkannya, tapi penyesalan selalu datang belakangan.
Betapa mirisnya memang melihat seragam taruna berlogo "perhubungan" itu menjadi barang bukti di kantor polisi. Kadang sulit menjelaskan apa yang kita alami ketika menjadi seorang "taruna" di dalam suatu sistem pendidikan semi militer. Semua proses berlangsung seolah terpaku pada apa yang disebut "tradisi". Apa yang pernah dialami senior-seniornya, "harus" dialami juga oleh mereka yang baru masuk (junior).
Tidak semua perguruan tinggi kedinasan (PTK) menjalankan sistem pendidikan semi militer. PTK yang dimaksud di sini yaitu perguruan-perguruan tinggi yang dinaungi oleh Kementerian/Lembaga pemerintah.
Perlu kita ketahui beberapa perguruan tinggi yang menjalankan sistem pendidikan semi militer yaitu semua perguruan tinggi di bawah BPSDM Kementerian Perhubungan (STIP, STPI, STTD, ATKP, dan masih banyak lagi), IPDN (Kemendagri), AMG/STTMKG (BMKG), STSN (Lembaga Sandi Negara), STP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), Program Diploma Bea Cukai STAN (Kementerian Keuangan), STIN (Badan Intelijen Negara), STPN (Badan Pertanahan Nasional), Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) dan Akademi Imigrasi (AIM) di bawah Kemenkumham. Panggilan untuk peserta didik di sini biasanya "taruna" atau di IPDN disebut "praja".
Beberapa PTK tidak menerapkan sistem semi militer di antaranya program diploma selain program bea cukai STAN (Kemenkeu), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (Kemensos) dan masih banyak lagi.
Sementara ada beberapa perguruan tinggi non-PTK (yang swasta) yang juga menjalankan sistem semi militer. Biasanya sekolah/perguruan tinggi di bidang pelayaran dan penerbangan.
Menjadi seorang taruna identik dengan "kebanggaan". Berseragam lengkap atribut dan pangkat-pangkat, siapa yang tidak bangga. Menjadi taruna diharuskan menjadi gagah, kuat, berani sehingga sering terkesan sok jago. Gengsi yang kuat menjadi melekat pada seorang taruna. Jadi saya sering menyebutnya kebanggaan yang kebablasan. Tapi memang tidak semua.
Saya sendiri sudah merasakan menjadi bagaimana menjadi junior dan senior di sebuah perguruan tinggi kedinasan (PTK) semi militer. Di kampus kami, sikap saling menghormati antara junior-senior terjalin dengan baik tanpa ada kekerasan dan penganiayaan. Hal ini dikarenakan pengawalan dari pihak kampus dan lembaga yang menaunginya. Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah terjadi di kampus kami ada taruna yang harus luka atau masuk rumah sakit karena interaksi dengan seniornya. Kalau yang terluka hatinya karena yang diputus pacarnya, banyak.
Seiring perjalanannya, sering kami menerima ejekan kalau kami itu "taruna nanggung" atau "setengah taruna". Mengapa demikian? Sebab pembinaan kami dianggap kurang "sama beratnya" dengan taruna-taruni berseragam dengan logo kampus berbeda. Kami dianggap terlalu "enak" menyandang seragam lengkap atribut dan pangkat tanpa "pembinaan fisik" (tanda kutip) dari instruktur dan/atau senior.
Beberapa senior saya ada yang terpancing. Ini yang saya sebut dengan "gengsi" itu.
Berbagai kontroversi muncul, ada yang tidak sepakat kalau kampus kami masih menerapkan pola pendidikan semi militer (ketarunaan), lebih baik disebut mahasiswa. Alasan ini didasari ilmu dan pekerjaan- nya bersifat scientific, tidak memerlukan kegiatan fisik yang berat.
Ini juga pertanyaan yang dilontarkan oleh Prof. Rhenald Kasali (UI) ketika bertemu dengan kami (berseragam taruna) dalam sebuah acara reality show kepemimpinan, untuk apa kalian dibina dengan semi militer? Tidak nyambung dengan pekerjaan kalian nanti.
Tapi masih banyak yang setuju dengan pembinaan semi militer. Alasan ini didasari pada penanaman kedisiplinan, mentalitas serta loyalitas.
Kalau di STIP, pembinaan fisik memang sangat diperlukan. Let see, STIP adalah perguruan tinggi yang khusus mendidik calon-calon pelaut. Pekerjaan di kapal tidaklah gampang: pekerjaan fisik yang berat (menurut saya).
Kalau pendidikan semi militer masih dianggap perlu, "pembinaan fisik" harus dilakukan tanpa tanda kutip. Kalau di kampus kami, cukup dengan memberi hukuman yang sama merata pada junior-junior: push up, sit up, lari, guling-guling, merayap dan lain-lain. Ini cukup melelahkan, tapi malah menyehatkan. Kalau masih kurang, dinaikkan intensitasnya, karena taruna-taruna adalah orang-orang terpilih yang memang sudah menjalani seleksi kesehatan. Dengan begitu benar-benar tercipta fisik yang kuat dan sehat.
Inti dari kuliahnya kan menyerap ilmu dan keterampilan (skill) untuk bisa bekerja nantinya. Bukan menerima pukulan dan "bogem" dari senior-senior yang tidak jelas apa maksud dan tujuannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H