Mohon tunggu...
Dilva Nahida
Dilva Nahida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perdata Islam di Indonesia

22 Maret 2023   09:04 Diperbarui: 22 Maret 2023   09:45 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENGERTIAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah ketetapan hukum Islam yang mengatur hubungan individu dengan individu dan individu dengan kelompok di negara Indonesia yang beragama Islam. Hukum Perdata Islam di Indonesia berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, masalah kebendaan, hak-hak atas benda, jual beli, pinjam meminjam, kerjasama bagi hasil, pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi. Hal ini bertujuan agar terciptanya kehidupan tertib hukum, sosial, dan kenyamanan bersama.

PRINSIP PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM KOMPILASI ISLAM

• UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


• Hukum Kompilasi Islam
Perkawinan menurut Hukum Kompilasi Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan merupakan ibadah. Istilah perkawinan adalah merupakan istilah umum, yang digunakan
untuk semua makhluk ciptaan Allah dimuka bumi. Sedangkan pernikahan hanya diperuntukkan bagi manusia dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yangsakinah, mawaddah dan warahmah.

PENTINGNYA PENCATATAN PENCATATAN PERNIKAHAN

Pencatatan pernikahan sangat penting dilaksanakan pasangan mempelai karena buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah, dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari pernikahan tersebut dan memperoleh hak-hak sebagai ahli waris.

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai warga negara yang baik, maka sebagai warga negara Indonesia harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia termasuk dalam hal pencatatan pernikahan. Hal tersebut untuk mengingat pencatatan merupakan suatu proses administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bagi semua warga negara Indonesia.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan sisi yang lain, bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, maka dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga dipertegas bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat. Pencatatan pernikahan bagi mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019.

DAMPAK YANG TERJADI BILA PERNIKAHAN TIDAK DICATATKAN SOSIOLOGIS, RELIGIUS, DAN YURIDIS

1. Kedudukan dan status anak yang dilahirkan
Pasal 42 UU Perkawinan dijelaskan
bahwa "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah". Perkawinan yang sah merupakan perkawinan menurut masing-masing agamanya. Perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragamaselain Islam.

 Pencatatan tersebut dibuktikan dengan adanya akta perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Oleh karena itu, jika anak terlahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, maka status anak yang dilahirkan sama halnya dengan anak luar kawin. Akibatnya anak tersebut akan memiliki akta kelahiran yang hanya tercantum nama ibunya saja. Hal ini akan
mempengaruhi psikologis anak, karena ia merasa berbeda dengan anak yang lain.

2. Pewarisan
Bahwa anak yang terlahir dari orangtua yang perkawinannya tidak dicatatkan, maka sama halnya dengan anak luar kawin. Akibatnya terhadap hak mewaris anak tersebut hanya memiliki hak mewaris terhadap ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal tersebut dijelaskan juga dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Oleh karena itu, anak tidak dapat mewaris dari ayahnya dan tidak terjadi hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

3. Dampak pendidikan
Bagi anak yang merupakan masyarakat Hukum Adat yang
melakukan pendidikannya di sekolah umum, maka anak tersebut diharuskan mengikuti pelajaran agama yang bukan merupakan kepercayaannya.

4. Dampak ekonomi
Terhambatnya peminjaman uang ke bank dikarenakan tidak adanya bukti akta perkawinan.

5. Dampak psikologis
Adanya diskriminasi terhadap pengadministrasian di kalangan Warga Negara Indonesia yang seharusnya memiliki hak sama dalam pemenuhan pengadministrasian.

PENDAPAT ULAMA DAN HUKUM KOMPILASI ISLAM TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL

• Menurut Imam Syafi'i
Menikahkan wanita hamil karena dengan laki-laki yang menzinahinya atau laki-laki yang bukan menzinainya diperbolehkan dan akad nikahnya sah tanpa ada persyaratan taubat dan melahirkan sebelum menikah. Akan tetapi apabila yang menikahinya bukan yang menghamilinya, maka dilarang untuk berhubungan badan sampai melahirkan .

• Menurut Imam Hanafi
Bahwa tidak sah nikahnya kecuali bertaubat dan melahirkan sebelum melakukan pernikahan. Apabila keduanya melangsungkan pernikahan tanpa bertaubat maka nikahnya tidak sah dan dibatalkan, sampai dua syarat di atas terpenuhi maka pernikahan dapat dilangsungkan kembali.

• Menurut Imam Maliki dan Imam Hambali
Mengatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya.

• Menurut Kompilasi Hukum Islam Membolehkan untuk menikahi wanita hamil karena zina tanpa harus menunggu kelahiran anak tersebut.

HAL-HAL YANG DILAKUKAN UNTUK MENGHINDARI PERCERAIAN

1. Menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan
2. Menjaga pasangan dan memperlakukannya dengan baik
3. Menghindari sikap egois
4. Menghindari kekerasan
5. Saling terbuka
6. Memperbaiki kesalahan dengan jujur dan tulus
7. Berdoa dan berserah diri kepada Allah

BOOK REVIEW

• Judul : Perjanjian Utang Piutang

• Pengarang : Gatot Supramono, S.H., M.Hum.

• Kesimpulan
Dari seluruh uraian pembahasan buku "Perjanjian Utang Piutang" dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya dalam mengadakan perjanjian utang piutang, terutama kreditur merasa tidak cukup perjanjiannya sampai di situ karena selalu berkeinginan utang yang diberikan kepada debitur pada waktu pengembaliannya dapat berjalan dengan lancar. Agar dapat menjamin keamanan utangnya, kreditur selalu berupaya menggunakan lembaga lembaga yang telah tersedia. 

Debitur dapat diminta untuk membuat akta pengakuan utang yang berdasarkan Pasal 224 HR/Pasal 258 RBg harus dibuat dengan grosse akta, karena dengan akta yang bertitel "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa" eksekusi pengakuan utang dilakukan ke pengadilan tanpa melalui gugatan per data. Kelemahannya utang yang tercantum dalam grosse akta pengakuan utang nilai harus sudah pasti, dan debitur mem punyai harta kekayaan yang cukup untuk disita eksekusi.

Perjanjian utang piutang dibuat dengan akta notaris akta pengakuan utang. namun akta pengakuan utang yang bukan grosse akta ti- dak sejalan dengan isinya, karena berisi perjanjian utang piutang bahkan ditambah dengan perjanjian jaminan dan pemberian kuasa. Selain itu, kreditur dapat meminta barang-barang debi tur yang khusus untuk dijaminkan sebagai pelunasan utang Barang-barang bergerak dapat dibebani gadai atau fidusia. Adapun barang tidak bergerak yang berupa tanah dan ba ngunan dibebani dengan hak tanggungan dan yang berupa kapal dibebani dengan hipotek.

• Inspirasi
Inspirasi saya mengenai buku "Perjanjian Utang Piutang" yaitu bahwasanya kita dapat mengerti konsep utang piutang beserta hukumnya yang ada pada UU / peraturan di Indonesia. Sehingga hal itu dapat memberikan manfaat untuk kita sendiri agar tidak sembarangan dalam melakukan perjanjian utang piutang.

Dilva Nahida (212121040) 

4B - Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syariah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun