Klenteng Hok An Kiong, yang terletak di Surabaya, bukan hanya sebuah tempat ibadah bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga saksi bisu berbagai perubahan politik dan sosial yang terjadi di Indonesia. Sejak berdirinya, klenteng ini telah melalui berbagai era, mulai dari masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan, hingga era Orde Baru. Setiap periode membawa tantangan dan perubahan yang mempengaruhi fungsi dan pengelolaan klenteng ini.
Pada masa kolonial Belanda, Klenteng Hok An Kiong didirikan sebagai pusat spiritual dan sosial bagi komunitas Tionghoa yang tinggal di Surabaya. Klenteng ini berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat berkumpul, berinteraksi, dan memperkuat jaringan sosial di antara warga Tionghoa. Namun, masa kolonial juga membawa tantangan tersendiri.Â
Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa, termasuk pembatasan terhadap aktivitas keagamaan dan budaya. Meski demikian, Klenteng Hok An Kiong tetap bertahan dengan menjalankan berbagai kegiatan secara tertutup. Klenteng ini juga memainkan peran penting dalam menjaga identitas budaya Tionghoa di tengah tekanan dan diskriminasi.
Dan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, suasana politik dan sosial di negara ini berubah drastis. Pemerintah Indonesia yang baru berusaha membangun identitas nasional yang kuat dan menyatukan berbagai etnis di bawah payung kebangsaan Indonesia. Pada periode ini, Klenteng Hok An Kiong mengalami perubahan dalam pengelolaannya.Â
Pengurus klenteng mulai menyesuaikan diri dengan kebijakan baru pemerintah yang lebih inklusif namun tetap menantang, khususnya dalam hal integrasi etnis dan budaya. Selama masa ini, Klenteng Hok An Kiong juga menjadi tempat bagi komunitas Tionghoa untuk berkontribusi dalam pembangunan negara. Banyak anggota komunitas yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan kemudian dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Klenteng berfungsi sebagai tempat di mana mereka dapat merayakan kemenangan dan berbagi visi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Era Orde Baru, yang dimulai pada tahun 1966 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, membawa tantangan baru bagi Klenteng Hok An Kiong. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan asimilasi yang ketat, yang bertujuan untuk mengintegrasikan komunitas Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia secara paksa. Kebijakan ini mencakup pelarangan penggunaan bahasa dan nama Tionghoa serta pembatasan terhadap praktik budaya dan keagamaan. Bagi Klenteng Hok An Kiong, era ini merupakan masa yang penuh tekanan.Â
Banyak ritual dan kegiatan keagamaan yang harus dijalankan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari sanksi. Namun, klenteng ini tetap menjadi simbol perlawanan kultural bagi komunitas Tionghoa. Para pengurus dan jemaat klenteng berusaha mempertahankan tradisi mereka, meskipun harus beradaptasi dengan situasi politik yang sulit. Mereka terus mengadakan upacara-upacara penting, meski dalam lingkup yang lebih terbatas, dan menjaga agar semangat komunitas tetap hidup.
Di tengah berbagai perubahan politik dan sosial, Klenteng Hok An Kiong menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Klenteng ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil mempertahankan identitas dan fungsinya sebagai pusat keagamaan dan budaya. Pada era reformasi pasca-Orde Baru, situasi mulai berubah.Â
Pemerintah Indonesia mulai mengakui kembali keragaman budaya dan agama sebagai bagian integral dari identitas nasional. Ini memberikan napas baru bagi Klenteng Hok An Kiong. Kebebasan beragama dan berbudaya yang lebih luas memungkinkan klenteng ini untuk kembali mengadakan upacara-upacara besar secara terbuka dan meriah. Peran klenteng dalam komunitas pun kembali menguat, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan identitas Tionghoa di Surabaya.
Selain itu, Klenteng Hok An Kiong juga beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pengurus klenteng mulai memanfaatkan teknologi modern untuk memperluas jangkauan mereka. Media sosial dan platform digital digunakan untuk menyebarkan informasi tentang kegiatan klenteng, sejarah, dan nilai-nilai budaya Tionghoa kepada generasi muda. Ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa tradisi dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh klenteng ini terus hidup dan relevan di masa depan.
Klenteng Hok An Kiong di Surabaya merupakan contoh nyata bagaimana sebuah lembaga keagamaan dan budaya dapat bertahan dan beradaptasi di tengah perubahan politik dan sosial yang signifikan. Dari masa kolonial, kemerdekaan, hingga era Orde Baru, klenteng ini telah melalui berbagai tantangan dan terus memainkan peran penting dalam komunitas Tionghoa di Surabaya. Dengan semangat ketahanan dan inovasi, Klenteng Hok An Kiong tidak hanya bertahan tetapi juga terus berkembang, menjadi simbol kekuatan budaya dan keagamaan yang mampu menghadapi perubahan zaman.
  Â
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq, A.A., 2019. Regulasi pemerintah Orde Baru terhadap agama Khonghucu di Indonesia (1966-1998). Skripsi, Program Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suryokusumo, B. & Sugiarto, I., 2016. Arah perkembangan klenteng di Jawa Timur ditinjau dari bentuk atap. Universitas Brawijaya, Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H