Mohon tunggu...
AK Pometia
AK Pometia Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan Sederhana yang berpikir kompleks. Cinta Hasil Pikir dan Pelangi Kreativitas pada Guratan Pena.

A Wife ~ Mother of 2 Teenagers and a Blogger https://www.akpometia.com/ {akpometia@gmail.com}

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

UNBK, HOTS, dan Rangking PISA, Salah Kaprah Penerapannya di Indonesia

26 Maret 2019   09:30 Diperbarui: 27 Maret 2019   14:22 3255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hotchalkeducationnetwork.com

Reaksi saya waktu itu, hanya tersenyum, membaca protes-protes lucu dari pelajar SMA di Instragam Kemdikbud RI dan penasaran ketika terjadi gelombang protes dan keriuhan soal-soal UNBK tahun ajaran 2017/2018 yang dirasakan cukup sulit oleh sebagian besar siswa di seluruh Indonesia, bukan hanya siswa, guru-guru pun mengakui hal tersebut, yang menurut Menteri Pendidikan, Bapak Muhadjir Effendy, UNBK mengadopsi soal-soal berdasarkan HOTS, High Order Thinking Skills, dikarenakan rendahnya peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia dibandingkan dengan negara lain, jadi, standar ujian nasional ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan. (). Lebih lanjut lagi, menurut Kapuspendik Kemdikbud Bapak Muhamad Abduh, soal-soal UNBK berbasis HOTS ini akan dijadikan standar pelaksanaan UN sampai dengan tahun 2025.

April 2019 nanti, setelah pemilu, Pelajar SMP dan SMA di seluruh Indonesia akan melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Soal-soal UNBK tersebut dipastikan akan menerapkan metode HOTS. Kebingungan saya pun makin menjadi ketika Kemdikbud "Keukeuh" masalah HOTS ini, dan berita-berita online pun selalu meng-asosiasikan soal-soal ujian ataupun kompetisi matematika dan science dengan HOTS, walapun ada beberapa pihak yang bersuara dan mencoba meneriakkan sesuatu baik mengenai pelaksanaan ujian nasional dan penerapan soal-soal HOTS dalam UNBK karena paham ada permasalahan mendasar yang justru luput dan terabaikan.

Kenapa Bingung?

Yaa jelas bingung, karena "sang pencipta" HOTS, Benjamin Bloom yang terkenal dengan Taksonomi Bloom-nya dan kerangka kerja dari penemuannya banyak digunakan sebagai dasar rujukan pengembangan sistem pendidikan di banyak negara  TIDAK PERNAH meng-asosiasikan HOTS HANYA melalui soal-soal ujian secara taklik buta, jauh lebih dalam dan fundamental dari itu.

High Order Thinking Skills students, adalah tujuan akhir yang ingin dicapai sistem pendidikan setiap negara untuk mempersiapkan generasi muda mereka masuk kedalam abad millennial. Tiga kemampuan dasar dan utama yang dikembangkan dalam wilayah kognitif berdasarkan Taksonomi Bloom adalah Kemampuan Literasi, Matematika dan Science, adapun dua wilayah lainnya yang juga penting namun tidak menjadi pokok bahasan disini adalah wilayah Afektif dan Psikomotorik. 

Ketiga wilayah tersebut, Kognitif, Afektif dan Psikomotorik harus sudah diterapkan sejak siswa berada di jenjang pendidikan usia dini. Pada jenjang usia dini ini, Low Order Thingking Skills lah yang ditanamkan dan diajarkan ke siswa agar ketika mereka masuk kedalam pendidikan dasar dan menengah otak mereka sudah siap untuk masuk ke dalam proses High Order Thinking Skills. Ketika proses pembelajaran sejak dini sampai dengan jenjang pendidikan lanjutan menerapkan konsep Bloom, maka sah saja jika soal-soal ujian mereka berbasiskan HOTS.

www.cambridge.org
www.cambridge.org
Tentang PISA dan OECD

Sedangkan PISA adalah Survey International Tiga Tahunan yang bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan diseluruh dunia dengan menguji kecakapan dan pengetahuan dari pelajar-pelajar berusia 15 tahun yang mendekati masa akhir pendidikan dasar dan menengah mereka (SD, SMP dan SMA) . Soal-soal dalam tes PISA ini memang menggunakan tipe soal yang berbasis HOTS.

Wajar jika soal-soal tes PISA berbasis HOTS karena PISA "Lahir" dari OECD (Organisation for Economic  Cooperation and Development) yang berkantor pusat di Paris, Perancis, dimana negara-negara pendiri organisasi ini adalah negara yang sudah menerapkan taksonomi Bloom dalam sistem pendidikan mereka.

OECD sebelumnya bernama OEEC (Organisation for European Economic Co-operation), Organisasi Kerjasama Pembangunan Ekonomi Eropa yang mengatur bantuan dari Amerika dan Kanada untuk Pemulihan Ekonomi Eropa paska Perang Dunia Kedua  sebelum akhirnya direformasi menjadi OECD, dan PISA adalah salah satu program yang dibuat oleh organisasi ini.

Program ini akan memberikan penilaian seberapa cakap para pelajar tersebut dapat mengaplikasikan apa-apa yang telah mereka pelajari disekolah dalam kehidupan sehari-hari.

Membaca, Matematika dan Science adalah 3 subjek utama yang dites secara bergantian setiap 3 tahun sekali.

Selain 3 subjek utama yang diuji, tak kalah penting dan masuk kedalam parameter penilaian mereka, adalah kuesioner, para pelajar tersebut juga diharuskan mengisi kuesioner yang menginformasikan latar belakang mereka, seperti tingkat pendidikan orang tua dan seberapa banyak inventaris yang mereka miliki dirumah. Kepala sekolah juga harus mengisi kuesioner tentang bagaimana mereka mengelola dan menjalankan sekolah. Sekolah dan pelajar yang terpilih menjadi sampling dalam kuesioner ini harus lulus standar teknis yang ketat dari PISA.

Hasil tes tahun 2015 sudah diumumkan di  Desember, 2016. Sedangkan hasil tes tahun 2018, akan diumumkan di Desember, 2019 nanti. Dari hasil survey tahun 2015, Indonesia berada  di urutan 9 besar terbawah dari 72 negara peserta.

clipart-library.com
clipart-library.com
Negara mana yang menduduki peringkat Pertama?  SINGAPURA. 

Mengapa Singapura menduduki peringkat pertama?

Karena sistem pendidikan mereka sudah menggunakan metode pembelajaran HOTS sejak mulai usia dini. Di usia 4 - 6 tahun, kemampuan literasi sudah diajarkan. Matematika dan science pun diperkenalkan melalui konsep, BUKAN hafalan rumus.

Contoh, untuk memperkenalkan konsep berhitung dari 1 sampai dengan 10, guru tidak langsung serta merta menuliskan angka 1 + 1 = 2, melainkan melalui konsep jumlah barang, misal:

si A mempunyai 1 buah buku dan si B juga mempunyai 1 buah buku, jika buku A ditambah dengan buku B, berapa total jumlah buku mereka semua dan ini dilakukan sambil beraktivitas yang berkaitan dengan penjumlahan satuan. Begitu pun ketika memperkenalkan konsep satuan, puluhan dan ratusan (https://www.mceducation.com/downloads/Early_Childhood_Catalogue_2019/html5/index.html?&locale=ENG&pn=25).

Hal tersebut terwujud karena pemerintah Singapura sudah mempunyai cetak biru pendidikan secara detail dan lengkap. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan bangsa ingin menghasilkan penerus yang seperti apa. Buku-buku pelajaran yang digunakan pun sangat interaktif, menarik dan berkesinambungan, sehingga  mudah dipahami baik oleh siswa dan pengajar. Tidak Instan, karena menanamkan Konsep kedalam pola pikir anak ada tahapannya. Setiap pokok bahasan dan pelajaran mengajak siswa untuk pelan-pelan menapaki tangga Taksonomi Bloom.

 

Dimana Salah Kaprahnya?

        HOTS - High Order Thinking Skills adalah Rangkaian, sekali lagi Rangkaian Pembelajaran secara Utuh dan Terintegrasi dari mulai Usia Dini sampai dengan jenjang pendidikan lanjut yang dalam setiap tahapan metode pembelajarannya bertujuan untuk merangsang pola pikir tingkat tinggi siswa sehingga output yang dihasilkan adalah siswa dengan kemampuan analitikal tinggi, berpikir kritis dan berorientasi pada pemecahan masalah serta cakap mengevaluasi suatu keadaan atau kejadian, skills yang pastinya  berguna untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari serta bermanfaat untuk masuk kedalam level kehidupan selanjutnya. Ada tingkatan-tingkatan pembelajaran dasar yang harus dilalui sebelum siswa bisa mencapai taraf berpikir tersebut.

        Rangkaian pembelajaran tersebut tentunya melibatkan sistem pendidikan secara menyeluruh mulai dari Negara - Kebijakan di Bidang Pendidikan; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - Kurikulum yang mengakomodir tujuan pendidikan jangka panjang Indonesia; buku-buku yang menunjang metode pembelajaran tipe HOTS, Guru sebagai sumber daya manusia utama yang harus terlebih dulu menjiwai hakekat Taksonomi Bloom; Perangkat Pendidikan, mulai dari prasarana dan sarana sekolah, misal gedung sekolah yang memadai, mencakup didalamnya perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap; laboratorium penunjang belajar, jumlah murid ideal perkelas, dengan maksimum jumlah siswa perkelas sekitar 20-an murid, lay out murid dalam kelas ketika proses pembelajaran terjadi pun menjadi bagian terpenting, dan lain sebagainya.

        Sedangkan rendahnya rangking PISA Indonesia yang menjadi dasar argumen Kemdikbud untuk mengadopsi soal-soal ujian nasional berbasis HOTS sama sekali tidak berdasar. Hasil Penilaian dari PISA bertujuan untuk menyediakan bukti-bukti sistematik serta memetakan kekuatan pendidikan di tiga mata pelajaran utama yaitu Literasi, Matematika dan Science diantara negara-negara anggota, sehingga pembuat kebijakan bisa menggunakannya sebagai dasar dalam mengambil kebijakan-kebijakan pendidikan di negaranya masing-masing, kebijakan yang seharusnya bermuara pada kesiapan siswa untuk masuk kedalam abad millenial.

Rendahnya peringkat suatu negara menjadi parameter utama adanya sistem pembelajaran holistik yang harus dibenahi BUKAN soal-soal ujian yang harus mengadopsi sistem HOTS secara paksa, serta mengimplikasikan rendahnya minat siswa terhadap profesi sebagai peneliti dan periset ilmu pengetahuan.

        Jika yang dilakukan semata-mata hanya untuk mengejar peringkat tanpa peduli pada potensi kecerdasan anak-anak Indonesia dan enggan memikirkan bagaimana anak-anak Indonesia siap memasuki abad millenial, maka memang solusi tercepatnya menurut Kemdikbud adalah mengubah soal ujian. 

Dan itu yang dilakukan Indonesia, (berusaha) mengejar peringkat, tanpa tahu esensi apa yang dikejar. Ketika Ujian Nasional Berbasis Komputer dipertahankan dan soal-soal UNBK dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodir HOTS, tanpa paham apa itu HOTS, sudah bisa dipastikan High Order Thinking Skills hanya diatas kertas ujian dan sebatas gembar-gembor Euforia Berpikir Tinggi namun tidak betul-betul mencetak pelajar yang berkemampuan High Order Thinking Skills.

Padahal yang seharusnya dirubah adalah sudut pandang, sudut pandang yang tepat untuk serius dan betul-betul merumuskan CETAK BIRU Pendidikan Indonesia Terbaik untuk 20 tahun kedepan, sehingga siapapun menteri pendidikannya akan meneruskan estafet pembangunan berdasarkan cetak biru tersebut.           

         Seandainya mau lebih jeli melihat, maka hasil tes PISA 2015 lalu mengindikasikan satu hal, Indonesia tengah "Berjuang." Tanpa adanya siswa yang memiliki kecakapan memadai ketika meninggalkan pendidikan dasar dan menengah, maka universitas-universitas di Indonesia sudah bisa dipastikan tidak mempunyai kapasitas memadai untuk mengembangkan dan mempertahankan program-program penelitian mereka serta tidak akan mampu bersaing di kancah internasional.

Sektor-sektor swasta pun akan kesulitan untuk bisa berkompetisi secara internasional dalam hal penemuan teknologi dan pengetahuan, secara global Indonesia akan mengalami kesulitan dalam transisi perubahan ekonomi, akan sulit mengubah perekonomian Indonesia menjadi ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan. Rendahnya penemu dan periset pengetahuan disuatu negara mengindikasikan rendahnya data hasil riset dan penelitian yang tersedia sebagai dasar pengambilan keputusan/kebijakan strategis suatu negara dan kualitas keputusan yang dibuat oleh para pemangku kebijakan.

Ketika Cetak Biru Terbaik dibuat, Mudah untuk Membangun Rumah, Gedung, Kantor atau  apapun yang kita inginkan, karena seluruh hal teknis dan mendasar serta bentuk akhir bangunan sudah tertuang dalam cetak biru tersebut, pun Indah dan kokohnya bangunan sudah Tergambar di depan mata. Sehingga ketika  sang kontraktor berganti, tidak akan menemui kesulitan berarti untuk mewujudkan bangunan yang diimpikan.

Sebaliknya, membuat Bangunan Sangat Sederhana tanpa ada Cetak Biru sebagai pedoman, pekerja bangunan, mandor dan pemilik akan luar biasa sulit mewujudkan Bangunan sederhana itu, apalagi membayangkan hasil akhirnya, yang pasti terjadi adalah kekurangan atau bahkan kelebihan material, pekerja yang bekerja dengan asal jadi dan pemilik bangunan yang meratapi kualitas bangunan, bentuk dan keindahan yang jauh dari harapan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun