Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi, Ninie Soesanti mengatakan bahwa tidak semua prasasti dapat dikatakan sebagai data sejarah. Hal ini karena setiap sumber data sejarah harus melalui proses verifikasi dan pengujian yang cukup panjang untuk menyatakan bahwa peninggalan tersebut memang layak menjadi data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketentuan ini juga berlaku pada produk-produk kesusasteraan.
Majunya peradaban di suatu daerah dapat ditandai dengan suburnya kasusastraan di daerah tersebut. Hal ini juga berlaku pada kerajaan Kediri yang memiliki perkembangan sastra sangat pesat.Â
Hal ini tidak terlepas dari peran raja-raja Kediri yang memiliki kontribusi besar dalam memperhatikan kebudayaan dan kesusasteraan di daerahnya.
Bisa dibilang, raja Kediri adalah pengayom para pujangga sekaligus ahli dalam bersastra.
"Karya sastra adalah wadah pemikiran, perenungan, yang meninggalkan nilai-nilai, baik keagamaan, etika, kosmologi, dan yang lainnya." ujar Ninie.
Beberapa larya sastra di era Kediri di antaranya yaitu Kakawin Baratayudha, Kitab Kresnayana, Kitab Sumarasantaka, Kitab Hariwangsa, Kitab Smaradhahana, dan lain sebagainya.
Acara seminar kebudayaan ini begitu membuka cakrawala pemikiran bahwa Kediri adalah pusat peradaban yang maju pada abad ke-8.
Kebudayaan dan sejarah adalah harus terus dijaga dan dilestarikan, apalagi peminatnya juga tidak banyak. Di sinilah peran pemerintah dalam nguri-nguri budaya sangat diperlukan. Dhito Pramono, Bupati Kediri adalah contoh nyata seorang pemimpin yang mau menjaga dan menggerakkan kebudayaan di kabupaten yang dipimpinnya. Hal ini bisa menjadi contoh bagi para pemimpin daerah lain untuk ikut melestarikan dan menelusuri jejak-jejak peninggalan sejarah di daerahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H