Pada pertengahan bulan Maret lalu, saya sempat mengikuti acara pembinaan komunitas literasi di Kediri. Salah satu tema dalam pembahasan forum itu adalah Pengembangan Ide Kreatif Berbasis Kearifan Lokal. Menariknya, dalam pemaparan materi tersebut disampaikan langsung oleh wartawan senior dari Radar Kediri, yaitu Tauhid Wijaya.
Tauhid banyak menyinggung soal betapa lokalitas pantas untuk diangkat sebagai suatu ide kreatif dalam berkarya. Wartawan asli Kediri tersebut mengatakan bahwa dengan mengangkat lokalitas sebagai suatu karya kreatif, maka potensi-potensi yang sebelumnya terpendam dapat menjadi terlihat.
Dari situ, kesadaran saya terkait lokalitas menjadi tergugah. Selama ini, saya selalu berpikir bahwa negera maju seperti Jepang, Korea, Jerman, Prancis, Finlandia dan lain-lain adalah negara-negera keren yang bahasa dan budayanya patut untuk kita pelajari. Hal itu perlu kita lakukan jika mau maju dan tidak tertinggal---maka kita harus membuka diri seluas-luasnya terhadap wawasan dunia luar.
Namun, semenjak mendapat pencerahan selepas pembinaan tersebut, saya menjadi punya sudut pandang lain, bahwa lokalitas perlu diangkat sebagai suatu konten atau karya intelektual dalam rangka mengenalkan, mempromosikan serta melestarikan suatu budaya atau apapun yang dimiliki oleh daerah tertentu. Dengan begitu, apa yang dimiliki oleh daerah kita dapat dikenal oleh daerah lain dan tidak menutup kemungkinan untuk dikenal oleh dunia luar.
Saat ini, kita tengah hidup di Abad XXI, di mana hal itu menuntut kita untuk terus bergerak maju agar tidak tertinggal. Prof. Djoko Saryono berkata bahwa era ini ditandai dengan revolusi industri keempat yang memangkas serta mengguncang segala tatanan hidup yang mapan pada masa lalu.
Hal tersebut dilakukan oleh tangan-tangan tersembunyi dan luput oleh indera kita. Di abad ini, orang-orang berlomba-lomba untuk menggapai modernitas, kontemporer dan segala sesuatu yang mengarah ke kemajuan. Tidak terasa, mereka mulai meninggalkan hal-hal yang berbau kuno dan konservatif.
Kita tentu sering menemui teman, kerabat, tetangga, atau bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun mempunyai hobi, yakni membuat suatu konten atau karya kreatif yang diunggahnya ke sosial media. Entah dalam bentuk audio, visual, audio visual atau tekstual.
Semua karya memang patut untuk diberi apresiasi oleh para penikmatnya. Adalah suatu hal yang naf bila kreator tidak mengharapkan sesuatu dari hasil jerih payahnya membuat karya. Entah itu royalti, atau hanya sekadar apresiasi. Sebab, seperti ada yang kurang rasanya bila tidak ada yang merespon karya dari kreator.
Saya sebagai anak muda yang kerap menyalurkan ekspresi dengan berkarya pun juga tak luput dari perasaan narsistik itu. Rasa ingin dipuji, rasa ingin diperhatikan dan rasa ingin dikomentari, baik nanti akan mendapat komentar yang membuat kita berterima kasih atau malah membuat kita mengelus dada.
Maka tidak jarang kita akan menemui kreator yang membuat suatu konten tentang dunia global; Jpop, Kpop, Kdrama, Cdrama, Anime, Holiwood, dan sebagainya.
Semua ruang kreasi penuh sesak dengan topik budaya luar negeri. Supaya dikira anak gahol, barangkali. Alhasil, banyak generasi kita yang pandangannya terpusat pada globalisasi. Dunia luar dianggapnya sebagai sesuatu yang "seksi" dan menarik untuk diketahui.
Tidak heran jika banyak generasi muda yang lebih memilih belajar Bahasa Korea daripada Bahasa Jawa. Lebih banyak generasi muda yang lebih tertarik belajar huruf hangeul alih-alih aksara Jawa. Lokalitas kian terdesak dan tidak memiliki tempat dalam ruang kreasi generasi muda.
Padahal, Indonesia yang sering mendapat julukan negera +62 oleh bangsanya sendiri ini punya kebudayaan yang sangat kaya. Apabila kita mau mengeksplorasi secara mendalam semua kebudayaan itu, tentu perlu waktu seumur hidup untuk mempelajarinya---saking banyaknya.
Maka sudah seharusnya kita mempelajari khasanah budaya sendiri, salah satunya yaitu mempelajari manuskrip atau naskah jawa. Bagaimana perasaan kamu ketika aku menyebutkan kata manuskrip? Ngeri? Alergi? Atau malah tertarik?
Aku sendiri baru mulai mengenal apa itu manuskrip atau naskah jawa dari salah satu mata kuliah yang aku pelajari di kampus; Filologi. Dari situ, aku mulai mengetahui apa itu naskah kuno, seberapa penting peranannya dan seberapa wajib kita harus mempelajarinya.
Naskah kuno, salah satu jenisnya adalah naskah Jawa yang merupakan suatu naskah yang ditulis oleh nenek moyang kita zaman dahulu di tanah Jawa.
Konon, naskah Jawa mulai ditulis pada abad ke-9. Isi naskah tersebut meliputi perasaan serta pengalaman mengenai kejadian-kejadian masa lampau yang kurang lebih dapat memberikan suatu gambaran untuk kita mengenai keadaan pada zaman tertentu. Namun, sayangnya jumlah naskah Jawa yang ada di Indonesia saat ini tidak banyak jumlahnya.
Kenapa tidak terbesit dalam pikiran para kreator muda untuk mengupas serta mengulik naskah Jawa sebagai warisan budaya nenek moyang kita?
FYI, saat ini banyak naskah kuno yang berasal dari Negara kita justru dirawat di Negara lain seperti Belanda, Inggris dan lain-lain. Kita tidak punya cukup perhatian terhadap budaya dan kekayaan bangsa kita sendiri sehingga bangsa lain berdiri di barisan terdepan dan menawarkan diri untuk merawat peninggalan nenek moyang kita. Miris, bukan?
Kalian tidak harus terjun langsung unntuk merawat sendiri manuskrip Jawa karena tidak semua orang bisa melakukannya. Pihak yang berhak unntuk merawat serta melestarikan naskah Jawa adalah orang-orang yang bekerja di bidang sejarah seperti filolog, misalnya.
Namun, yang bertugas untuk mempelajari naskah Jawa tidak terbatas pada profesi tertentu saja. Semua orang, khususnya masyarakat Jawa sangat berhak untuk mempelajarinya. Naskah kuno tersebut tersebar di beberapa museum, kraton, dan perpustakaan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kamu bisa melakukan observasi terkait khasanah budaya tersebut. namun, jika ingin lebih mudah lagi, saat ini naskah Jawa sudah banyak yang dialihmediakan ke digital.
Ya, kita memang hidup pada zaman di mana dunia sedang mengalami revolusi digital yang begitu dahsyat. Hal ini menuntut kita untuk mampu berpikir kembali tentang sebebrapa lestari kebudayaan dan peradaban yang kita miliki. Revolusi digital ini terus bergerak maju dan dikendalikan oleh kecerdasan buatan. Internet, dan maha data (Djoko Saryono, 2020).
Sebagai generasi Z, kita harus melek dengan revolusi digital. Jangan sampai kita terhanyut dalam arus kemajuan zaman tanpa membawa identitas kita sebagai bangsa berbudaya.
Budaya harus dapat berjalan seiring dengan kemajuan teknologi. Salah satu caranya dengan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah nenek moyang kita, salah satunya naskah Jawa.
Agar tidak punah termakan waktu, naskah jawa harus digitalisasi sehingga generasi kita yang berikutnya dapat terus mempelajari kekayaan negeri kita tersebut. maka bukan tidak mungkin bangsa kita akan melahirkan masyarakat informasi yang peduli terhadap budayanya sendiri.
Kalian, para content writer, youtuber, instragramer, film maker dan para kreator lain yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Ajaklah masyarakat kita untuk mengenal lebih dalam mengenai budaya kita sendiri.
Edukasilah masyarakat supaya naskah jawa ini tidak semakin ditenggelamkan eksistensinya oleh budaya luar. Angkatlah lokalitas sebagai suatu konten yang dikemas semenarik mungkin. Supaya yang lokal tidak selalu diremehkan, bahkan oleh bangsa kita sendiri.
Kalian punya andil besar dalam mengangkat suatu perspektif lokal agar tidak semakin pudar dan hilang di tengah lautan globalisasi ini. Hal ini karena lokalitas selalu punya karakter tersendiri yang unik dan berbeda dari yang lain.
Lokalitas pasti punya sisi lain yang menarik untuk didalami. Maka dari itu, para konten kreator dapat mengajak masyarakat untuk mengetahui dan mempelajari naskah kuno dengan metode yang interaktif, menarik dan menyenangkan.
Maka bukan suatu hal yang mustahil jika naskah Jawa sebagai bagian dari kekayaan Indonesia dapat kembali eksis di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman yang semakin meninggalkan masa lalu ini. Warisan budaya nenek moyang ini akan tetap lestari jika generasi mudanya mau peduli dan mempelajari.
Sesuatu yang selama ini dianggap arkais, kini juga dapat bersaing dengan budaya luar negeri yang selama ini kita puji-puji. Sebagaimana kata Tauhid Wijaya, bahwa yang lokal bisa mengglobal. Naskah Jawa juga memiliki kesempatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H