Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat untuk Bapak Presiden: Bupati Pengusir Warganya pada Zaman Jokowi

24 Januari 2016   20:33 Diperbarui: 24 Januari 2016   20:41 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم

Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang

 

Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu,

Bapak Presiden, Ir. H. Joko Widodo yang terhormat,

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa melindungi Bapak, dan menguatkan serta menolong Bapak dalam memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan penuh keadilan, keberkahan dan kesejahteraan. Semoga Allah swt senantiasa memampukan dan menolong serta membimbing Bapak dalam melaksanakan janji-janji dan sumpah jabatan sebagai Presiden NKRI 2014-2019. aamiin.

Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia, inilah hal yang sangat miris dan memprihatinkan yang terjadi di zaman Bapak. Pada zaman pemerintahan Anda, ada seorang Bupati dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ir. H.Tarmizi Saat, MM, yang meminta warga negara Indonesia (sebagian penduduk asli situ) yang tinggal di wilayahnya keluar dari wilayahnya? Tidak percaya? Baiklah silakan baca link berita berikut ini:

http://bangka.tribunnews.com/2016/01/24/ini-himbauan-bupati-bangka-terkait-ahmadiyah

Kalau untuk kronologi bisa membaca pada link http://www.suara.com/news/2016/01/24/162447/kronologi-tindakan-intoleransi-terhadap-ahmadiyah-bangka .

Jurnalis media online merekam dalam beritanya bagaimana sang Bupati keukeuh 'memaksa' warganya tersebut pergi dari wilayahnya. Ini bisa dilihat di link: http://bangka.tribunnews.com/2016/01/24/warga-ahmadiyah-tolak-angkat-kaki-ini-alasannya .

Sementara itu pegiat HAM, berusaha secar obyektif melihat persoalan tersebut sebagaimana mereka tulis dalam link berikut: http://www.rappler.com/indonesia/119452-human-rights-watch-ahmadiyah-bangka-islam

Bapak Presiden, mungkin sudah tahu Jemaat Ahmadiyah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Mereka bersyahadat yang sama dengan umumnya umat Islam. Begitu juga rukun iman. Perihal perbedaan penafsiran, ingatkah Bapak, sebagai orang dari kalangan NU, atau ahlus Sunnah, percaya bahwa Nabi Muhammad saw mengabarkan kedatangan Imam Mahdi? Mayoritas umat Islam mempercayai ini. Mereka percaya akan datang, dan sekarang belum datang. Sementara Jemaat Ahmadiyah mempercayainya sudah datang, yaitu pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as (1835-1908). Beliau menyatakan diri sebagai murid setia nan tulus dari Baginda Nabi Muhammad saw (571-632). Tidak ada maksud dan tujuan beliau menjadi Nabi yang menghapus dan menolak ajaran Islam, dan ajaran Nabi Muhammad saw. Tidak benar bila menuduh beliau mengaku lebih tinggi bahkan sebanding dengan Nabi Muhammad saw.

Bapak Presiden yang sebagai orang Jawa, dan masih menghormati falsafah Jawa, saya percaya Bapak memegang erat falsafah 'yen dijiwit kroso loro ojo njiwit liyan' (kalau dicubit terasa sakit jangan mencubit orang lain). Hal mana itu senada dengan yang Amir (Ketua Umum), Mln. Abdul Basit Sy kami dengungkan dalam International Peace Symposium bertempat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada 30 September 2015, saat beliau poin dasar bahwa kita hendaknya tidak melakukan sesuatu tindakan kepada orang lain yang kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu sebagaimana pernah disabdakan oleh Junjungan kita, Nabi Muhammad saw, ((وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ)) ‘wa an tuhibba lin naasi ma tuhibbu li nafsika, wa takraha lahum ma takrahu li nafsika.’ - “Engkau menyukai perlakuan terhadap sesama manusia yang engkau juga menyukainya terjadi atas diri engkau. Dan engkau benci sesuatu yang terjadi atas mereka yang mana itu juga engkau benci terjadi atas diri engkau.”[1]

Beliau juga mengutip definisi singkat dan padat serta amat elok dari Nabi Muhammad saw mengenai siapa itu yang dimaksud dengan orang Muslim dan orang Mu-min (beriman), ‏ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ‏ ‘Al-Muslimu man salimal Muslimuuna min lisaanihi wa yadihi wal-Mu’minu man aminahun naasu ‘alaa dimaa-ihim wa amwaalihim.’ – “Yang dimaksud dengan orang Muslim (Islam) ialah orang yang ucapan dan perbuatannya menciptakan perdamaian dan keselamatan orang-orang Muslim lainnya dan yang dimaksud dengan orang Mu-min ialah orang yang dipercaya oleh umat manusia memberikan keamanan dalam hal darah dan harta mereka.”[2]

Iya, benar. Persoalan agama dan keyakinan terkadang dipandang rumit, sensitif dan disikapi sentimen emosional. Terkadang, penguasa atau pemerintah atau pemegang kekuasaan mana pun seperti lemah tak berdaya menghadapinya. Mereka bisa mati kutu, artinya merasa kalah menghadapi guru mereka, yaitu para ulama. Mati kutu dalam arti, bagaimana menghadapi ucapan bernada dan berisi keras otoritas agama. Atau bukan itu, melainkan memang mereka berpahaman seperti itu.

Semata-mata saya tidak menyalahkan Bapak. Karena, dalam satu dan lain hal, Bapak berhasil menghalangi kampanye 'menghabisi' Syi'ah, salah satu golongan Muslim di Indonesia yang dicap oleh MUI bahwa mereka 'Islam-nya' enggak benar, sesat dst. Okelah, sebagai orang yang sepenuhnya tidak menyetujui isi keyakinan saudara2 Syiah, memang benar ada beberapa keyakinan mereka yang perlu 'diluruskan'. Namun, ada perbedaan antara bagaimana meluruskan secara argumentatif dan santun, dengan kampanye hitam, penyesatan dan bernuasa 'menghabisi'. Inilah arus besar yang mengalir dari suatu sumber, yang berkeinginan, sadar atau tidak sadar, agar orang2 yg beda keyakinan 'bertobat' maksudnya sama dengan kayakinannya. Tentu saja dengan cara kekerasan, minimal kekerasan verbal. Ibarat bola liar, sekali suatu golongan dicap sesat dan ditindak dengan cara yang bersifat kekerasan, bahkan mengalir darah, dan pelaku penindakan tidak ditindak apa-apa, maka itu akan merangsang pelaku lain untuk melakukan hal yang sama; dan ia merasa leluasa karena sanksi hukum padanya tidak ada, atau bisa dibilang ringan. Inilah terorisme di tingkat resmi.

Bapak Jokowi, atau siapa pun yang menjadi Presiden RI, menghadapi persoalan; saat segolongan yang mengatasnamakan agama, berteriak kencang agar sekelompok masyarakat lainnya yang berpenafsiran lain dari mereka, ditindak, entah bagaimana. Kegamangan muncul karena mereka mengatasnamakan mayoritas. Masyarakat terangsang dan terpancing; atau mungkin tidak, bahkan bisa jadi tidak, melainkan oknum aparat yang memiliki kesamaan ideologis dengan pemfatwa, mengatur sedemikian rupa supaya sebagian masyarakat tergiring. Hal lain yang membuat kegamangan ialah pemerintah sedang berfokus ke pembangunan ekonomi. Kegaduhan politik sudah merepotkan. Ditambah lagi kegaduhan sosial keagamaan.

Ada dua hal yang harus dilakukan; pertama: mengikuti suara yang mengatasnamakan mayoritas (bisa jadi cuma atas nama, yang sesamanya, sebenarnya diam); kedua: bertahan pada rasionalitas, hukum positif dan konstitusi. Masing-masing ada dampaknya. Dampak pertama, secara kasat mata, masalah selesai atau dianggap selesai. Minoritas, yang ibarat duri dalam daging, sudah dicabut. Namun, yakinlah, akan ada masalah lain. Peneriak atas nama mayoritas takkan puas sejauh itu. Mereka ingin ini, lalu ingin itu, dan seterusnya. Mereka ingin, yang itu, keyakinannya juga salah, batasi dan larang...lalu...lalu..dst. Kemudian,...dst. Sementara itu, dampak atas pilihan kedua, yaitu bertahan pada rasionalitas, hukum positif dan konstitusi. Masing-masing ada dampaknya, memang akan membuat pemerintah ini digoyang atau diserang. Tapi, percayalah, inilah jalan tengah yang kuat dan kokoh guna mencapai tujuan nasional yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945; yaitu:

· melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

· untuk memajukan kesejahteraan umum,

· mencerdaskan kehidupan bangsa,

· melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 Dalam kasus kriminalisasi kelompok minoritas apa saja (termasuk bisa jadi mayoritas di lingkungan minoritas, di daerah lain yang mayoritasnya beda), setelah menghadapi persoalan perbedaan keyakinan dengan gaya lama, yaitu pertama, ribut-ribut di media perihal isu 'aliran menyimpang dan sesat', kedua, entah bagaimana perkampungan golongan minoritas, berhasil diserang warga di situ (bisa jadi lain kabupaten), baik dengan cara dibakar perumahannya, atau dirusak; ketiga bupati beserta jajarannya, dengan didukung ormas-ormas keagamaan dibuat sepakat agar mereka angkat kaki; keempat; pemerintah pusat dibuat tak berdaya selain menuruti keinginan mereka. Satu hal yang masih perlu dilihat sebagai positif, yaitu perlindungan jiwa para terusir tersebut. Namun, hal kelima, aparat hukum dan pengadilan tidak berminat menyelidiki dan menyidik, bagaimana individu pelaku penyerangan itu perlu diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Hal keenam, ialah, lembaga yudikatif resmi, juga gagal mengidentifikasi, apakah masyarakat minoritas yang mempunyai keyakinan tertentu itu salah secara hukum positif, baik pidana maupun perdata. Sepertinya mereka mengamini, bila lembaga keagamaan, dengan bebas, dan tentu saja sesuai keyakinannya, menilai-nilai dan menghakimi keyakinan orang lain. Okelah, semua orang berhak berpendapat perihal keyakinan orang lain. Namun, berbeda dengan MUI dan para pendukungnya. Bila mereka berbicara dan berfatwa menuduh dan menilai ke satu atau beberapa pihak lainnya sebagai salah, menyimpang atau sesat (bisa jadi ada yg salah dari yg dituduh, bisa jadi, bahkan banyak yang tidak benar juga); serta merta individu atau oknum pemerintah dan aparatnya yang secara pribadi memiliki keyakinan sama meresponsnya. Meski MUI hanya sekedar menilai 'sesat dst', namun, sama sekali mereka tidak punya solusi kreatif dan beradab guna menghadapi persoalan perbedaan keyakinan. Setelah selesai berfatwa, mereka diam dan membiarkan pemerintah lokal yang punya kesamaan ideologis 'mengeksekusi' sasaran tertuduh. Eksekusinya, sederhana, minta mereka bertobat atau angkat kaki, kalau tidak, tidak bertanggungjawab. Jika warga melakukan anarkis. Beginikah kita mengatur negara??

Ketujuh, tidak adanya kreatifitas tradisi baru yang mencerdaskan guna menyelesaikan masalah yang memang tidak akan selesai, perbedaan keyakinan dan kepercayaan. Tentu saja sangat mudah dan sederhana. Hanya perlu rasionalitas, keteguhan hati dan keberanian. Siapa yang terbukti merugikan jiwa, harta dan properti orang lain, ditindak tegas. Soal perbedaan keyakinan, solusinya mudah, kedepankan kebebasan berkeyakinan, jangan mudah sentimen dan tersinggung dengan pertentangan atau penjelasan beda pihak lain yang berbeda keyakinan. Perbedaan keyakinan takkan pernah bisa diselesaikan di dunia. Dianggap selesai bisa, dengan cara menghabisi orangnya dst. Tapi keyakinan dan kepercayaannya tetap ada. Lagipula apakah itu membuat kita pantas disebut manusia. Sudah takdir Allah, itu semua perbedaan dan pertentangan keyakinan dan agama hanya akan selesai lewat penghakiman Allah di hari kemudian. Tidak di dunia ini.

Saya berharap, pemerintahan Bapak Jokowi sadar betul akan hal ini. Semoga tinta emaslah yang Bapak Jokowi tulis. Bukan tinta merah. Semoga tertulis dalam sejarah, hal-hal baik dan membangun dari pemerintahan Bapak Jokowi. Sebab, Gubernur Bangka Belitung, adalah satu partai dengan Bapak Presiden. Begitu juga wakil Bupati Bangka, Rustamsyah dari PDI-P. Meski, sang Bupati, dari PKS. Ingatlah, Bapak Presiden, orang-orang dari mana, yang secara keji banyak memfitnah, atau kampanye hitam kepada Bapak saat pemilihan umum kemarin...Ingatlah pak...para pemfitnah itu, bukan dari kalangan kami...orang-orang berjumlah kecil yang kurang dipandang, yang berfokus utk bisa mendapat hak hidup dan menjalani kehidupan dengan mematuhi konstitusi RI, dan dengan hati-hati tidak akan merugikan sesama bangsa. Boro-boro memfitnah orang..apalagi semulia dan seterkemuka Bapak Presiden. Jangan biarkan kezaliman ini terjadi. Ingatlah pepatah lama, kekekalan, baik itu nama baik atau lama memerintah, seorang raja (pemimpin), ialah dengan keadilan.

Sekian terima kasih semoga Allah swt selalu membimbing kita dalam membangun masyarakat Indonesia yang toleran dan berkemajuan.

 

وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan akhir doa kita ialah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

 

Salam hormat,

 

D. A. Dartono,

kawan dan saudara dari Mln. Ahmad Syafi'i dan warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia lainnya di Bangka.

NB: mengatasnamakan pribadi, bukan institusi organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 

 

 

 

[1] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Anshar r.’anhum, hadits Muadz ibn Jabal ra
[2] Kitab Hadits Jami’ at-Tarmidzi, Kitab tentang iman, no. 2627

"Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya, dan seorang mukmin (yang sejati) adalah orang yang mana manusia lainnya selamat dari (bahayanya) pada darah dan harta mereka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun