Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat untuk Bapak Presiden: Bupati Pengusir Warganya pada Zaman Jokowi

24 Januari 2016   20:33 Diperbarui: 24 Januari 2016   20:41 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak Presiden, mungkin sudah tahu Jemaat Ahmadiyah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Mereka bersyahadat yang sama dengan umumnya umat Islam. Begitu juga rukun iman. Perihal perbedaan penafsiran, ingatkah Bapak, sebagai orang dari kalangan NU, atau ahlus Sunnah, percaya bahwa Nabi Muhammad saw mengabarkan kedatangan Imam Mahdi? Mayoritas umat Islam mempercayai ini. Mereka percaya akan datang, dan sekarang belum datang. Sementara Jemaat Ahmadiyah mempercayainya sudah datang, yaitu pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as (1835-1908). Beliau menyatakan diri sebagai murid setia nan tulus dari Baginda Nabi Muhammad saw (571-632). Tidak ada maksud dan tujuan beliau menjadi Nabi yang menghapus dan menolak ajaran Islam, dan ajaran Nabi Muhammad saw. Tidak benar bila menuduh beliau mengaku lebih tinggi bahkan sebanding dengan Nabi Muhammad saw.

Bapak Presiden yang sebagai orang Jawa, dan masih menghormati falsafah Jawa, saya percaya Bapak memegang erat falsafah 'yen dijiwit kroso loro ojo njiwit liyan' (kalau dicubit terasa sakit jangan mencubit orang lain). Hal mana itu senada dengan yang Amir (Ketua Umum), Mln. Abdul Basit Sy kami dengungkan dalam International Peace Symposium bertempat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada 30 September 2015, saat beliau poin dasar bahwa kita hendaknya tidak melakukan sesuatu tindakan kepada orang lain yang kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu sebagaimana pernah disabdakan oleh Junjungan kita, Nabi Muhammad saw, ((وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ)) ‘wa an tuhibba lin naasi ma tuhibbu li nafsika, wa takraha lahum ma takrahu li nafsika.’ - “Engkau menyukai perlakuan terhadap sesama manusia yang engkau juga menyukainya terjadi atas diri engkau. Dan engkau benci sesuatu yang terjadi atas mereka yang mana itu juga engkau benci terjadi atas diri engkau.”[1]

Beliau juga mengutip definisi singkat dan padat serta amat elok dari Nabi Muhammad saw mengenai siapa itu yang dimaksud dengan orang Muslim dan orang Mu-min (beriman), ‏ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ‏ ‘Al-Muslimu man salimal Muslimuuna min lisaanihi wa yadihi wal-Mu’minu man aminahun naasu ‘alaa dimaa-ihim wa amwaalihim.’ – “Yang dimaksud dengan orang Muslim (Islam) ialah orang yang ucapan dan perbuatannya menciptakan perdamaian dan keselamatan orang-orang Muslim lainnya dan yang dimaksud dengan orang Mu-min ialah orang yang dipercaya oleh umat manusia memberikan keamanan dalam hal darah dan harta mereka.”[2]

Iya, benar. Persoalan agama dan keyakinan terkadang dipandang rumit, sensitif dan disikapi sentimen emosional. Terkadang, penguasa atau pemerintah atau pemegang kekuasaan mana pun seperti lemah tak berdaya menghadapinya. Mereka bisa mati kutu, artinya merasa kalah menghadapi guru mereka, yaitu para ulama. Mati kutu dalam arti, bagaimana menghadapi ucapan bernada dan berisi keras otoritas agama. Atau bukan itu, melainkan memang mereka berpahaman seperti itu.

Semata-mata saya tidak menyalahkan Bapak. Karena, dalam satu dan lain hal, Bapak berhasil menghalangi kampanye 'menghabisi' Syi'ah, salah satu golongan Muslim di Indonesia yang dicap oleh MUI bahwa mereka 'Islam-nya' enggak benar, sesat dst. Okelah, sebagai orang yang sepenuhnya tidak menyetujui isi keyakinan saudara2 Syiah, memang benar ada beberapa keyakinan mereka yang perlu 'diluruskan'. Namun, ada perbedaan antara bagaimana meluruskan secara argumentatif dan santun, dengan kampanye hitam, penyesatan dan bernuasa 'menghabisi'. Inilah arus besar yang mengalir dari suatu sumber, yang berkeinginan, sadar atau tidak sadar, agar orang2 yg beda keyakinan 'bertobat' maksudnya sama dengan kayakinannya. Tentu saja dengan cara kekerasan, minimal kekerasan verbal. Ibarat bola liar, sekali suatu golongan dicap sesat dan ditindak dengan cara yang bersifat kekerasan, bahkan mengalir darah, dan pelaku penindakan tidak ditindak apa-apa, maka itu akan merangsang pelaku lain untuk melakukan hal yang sama; dan ia merasa leluasa karena sanksi hukum padanya tidak ada, atau bisa dibilang ringan. Inilah terorisme di tingkat resmi.

Bapak Jokowi, atau siapa pun yang menjadi Presiden RI, menghadapi persoalan; saat segolongan yang mengatasnamakan agama, berteriak kencang agar sekelompok masyarakat lainnya yang berpenafsiran lain dari mereka, ditindak, entah bagaimana. Kegamangan muncul karena mereka mengatasnamakan mayoritas. Masyarakat terangsang dan terpancing; atau mungkin tidak, bahkan bisa jadi tidak, melainkan oknum aparat yang memiliki kesamaan ideologis dengan pemfatwa, mengatur sedemikian rupa supaya sebagian masyarakat tergiring. Hal lain yang membuat kegamangan ialah pemerintah sedang berfokus ke pembangunan ekonomi. Kegaduhan politik sudah merepotkan. Ditambah lagi kegaduhan sosial keagamaan.

Ada dua hal yang harus dilakukan; pertama: mengikuti suara yang mengatasnamakan mayoritas (bisa jadi cuma atas nama, yang sesamanya, sebenarnya diam); kedua: bertahan pada rasionalitas, hukum positif dan konstitusi. Masing-masing ada dampaknya. Dampak pertama, secara kasat mata, masalah selesai atau dianggap selesai. Minoritas, yang ibarat duri dalam daging, sudah dicabut. Namun, yakinlah, akan ada masalah lain. Peneriak atas nama mayoritas takkan puas sejauh itu. Mereka ingin ini, lalu ingin itu, dan seterusnya. Mereka ingin, yang itu, keyakinannya juga salah, batasi dan larang...lalu...lalu..dst. Kemudian,...dst. Sementara itu, dampak atas pilihan kedua, yaitu bertahan pada rasionalitas, hukum positif dan konstitusi. Masing-masing ada dampaknya, memang akan membuat pemerintah ini digoyang atau diserang. Tapi, percayalah, inilah jalan tengah yang kuat dan kokoh guna mencapai tujuan nasional yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945; yaitu:

· melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

· untuk memajukan kesejahteraan umum,

· mencerdaskan kehidupan bangsa,

· melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun