Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Xi, Khonghucu dan Ide Spiritualitas yang Tak Mati

25 Juli 2015   19:06 Diperbarui: 25 Juli 2015   19:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari belakangan ini kita saksikan dalam berbagai berita mengenai Xi dan ketertarikannya pada Confucius (Khonghucu) dan ide serta pengaruhnya. Berbagai media cetak dan elektronik mengupas hal dimaksud. Sebagai contoh ialah Time, the Economist, Huffingtonpost, Bloomberg dan media terkenal tingkat dunia lainnya.

Memang benar, jauh sebelum RRT (Republik Rakyat Tiongkok) berdiri, di kalangan jutaan, bahkan ratusan juta rakyat Tiongkok, ide-ide, nilai-nilai dan spiritualitas yang berasal dari ajaran, ujaran dan teladan guru Khong telah hidup dan dijalani selama lebih dari dua ribu tahun. Tentu saja, itu jauh sebelum lahirnya dinasti Ching, dinasti Ming, dinasti Tang, bahkan dinasti Han, bahkan sebelum lahirnya Shih Huang Ti, pemersatu Cina.

Menyaksikan fenomena ini membuat saya teringat salah satu pernyataan Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra, Khalifatul Masih II, yang merupakan Imam Jemaat Ahmadiyah sejak tahun 1914-1965. Pribadi yang lahir pada 1889 di Qadian, India ini merupakan putra dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad 'alaihis salaam, pendiri Jemaat Ahmadiyah. Pernyataan tersebut ialah bahwa kebutuhan dan perkembangan jasmaniah, moralitas (akhlak) dan spiritualitas (kerohanian) adalah hal-hal yang secara fitrati telah ada dan memang ada dalam diri manusia. Ia tidak bisa dipisah-pisahkan, juga tidak bisa dihilangkan. Penjelasan beliau ini dijelaskan kembali oleh cicit beliau, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih V atba pada khotbah Jumat beliau tanggal 24 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK, sebagai berikut:

 

Sebuah pertanyaan yang semakin banyak meningkat dan meluas timbul hari-hari ini, khususnya di dalam benak kaum muda-mudi dan umumnya di kalangan masyarakat. Khususnya lagi ialah dari kalangan yang menentang agama atau dari kalangan mereka yang belum mendapat bimbingan yang tepat dan orang-orang yang tidak mengikuti sesuatu agama. Pertanyaan tersebut ialah, “Karena pendidikan duniawi dapat menyebabkan tumbuhnya moral/akhlak yang baik lalu apa gunanya mengikuti sesuatu agama? Bukankah agama dan para pemeluk agama menyatakan bahwa agama mengajarkan akhlak yang baik?” Mereka katakan, “Akhlak dapat kami tanamkan dalam diri kami tanpa mengikuti agama apapun.” Bahkan, mereka menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mengikuti agama apa pun memiliki moral yang lebih baik daripada orang-orang religius (yang mengikuti agama).

Secara khusus tuduhan ini ditujukan kepada penganut Islam. Para penganut agama lain kebanyakan telah menjauhkan diri dari kepercayaan mereka, tetapi kebanyakan orang Muslim, bahkan yang tidak mengamalkan ajarannya, mengaitkan diri atau menyatakan diri dengan jelas sebagai orang Muslim yang merupakan agama asal mereka sejak lahir (yaitu Islam). Oleh karena itu, pada kenyataannya tuduhan tersebut ditujukan terhadap Islam dan berbagai upaya, berbagai cara dan berbagai tema bahasan diajukan [oleh penentang agama] untuk mempengaruhi generasi muda kita agar berupaya menentang terhadap agama atau memisahkan diri dari agama. Secara khusus, ini terjadi di negara-negara Barat yang aspek baik dari pendidikan mereka adalah banyak menekankan pada percobaan, tahqiq (penelitian) dan eksplorasi, tapi ini perlu dilakukan secara metodologis, dalam corak yang benar.

Maka dari itulah, ketika para remaja bertanya kepada para orang tua dan orang-orang dewasa di rumah mereka membahas tentang bagaimana jawaban berbagai pertanyaan yang timbul di dalam pikiran mereka tersebut, maka para orang tua tersebut tidak menjawabnya baik karena kurangnya waktu sebab mereka sibuk memikirkan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya atau karena mereka tidak memiliki pengetahuan. Bukannya meluangkan banyak waktu guna menjawab pertanyaan para remaja itu, para orang tua malah menekan mereka [para muda-mudi yang bertanya seperti itu] agar mereka diam dan tidak mengajukan pertanyaan semacam itu.

Hal ini menyebabkan para remaja yang mengajukan pertanyaan itu beranggapan meski agama, baik itu Islam menyatakan diri benar yang menyediakan semua resolusi (pemecahan) berbagai masalah, namun tidak memiliki jawaban yang praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Terjadi juga hal ini bahwa perbuatan orang-orang dewasa bertentangan apa-apa yang mereka nasehatkan kepada anak-anak dan para remaja. Bersamaan dengan para remaja itu dalam diam mendengarkan nasehat dan pengajaran dari orang-orang dewasa, tetapi ketika mereka menikmati sebuah kebebasan, mulailah mereka menjauhkan diri dari agama. Mereka pun menyertai orang-orang yang menjadikan mereka jauh dari agama. Sebagai akibatnya, kendatipun Islam itu agama yang hidup dan mempunyai ajaran yang indah, namun kita menemukan terdapat di kalangan umat Islam yang menolak agama dan menolak keberadaan Tuhan.

Dalam keadaan seperti ini setiap dari kita semua harus mengarahkan perhatian pada bagaimana kita menjadikan diri kita masing-masing mengamalkan agama kita dan juga menginspirasi (mendorong) anak-anak keturunan kita untuk menjalankannya juga. Suatu hal yang pasti Islam adalah agama yang sempurna dan menjelaskan berbagai macam persoalan. Al-Quran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, dan teladan sempurna penuh berkat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (damai dan berkah Allah padanya), yang merupakan perwujudan dari Al-Quran ada di depan kita dan keteladanan beliau saw itu telah menghasilkan perubahan revolusioner dalam diri para sahabat (ridha Allah semoga menyertai mereka). Mereka mengerti apa itu agama. Mereka mengerti apa itu akhlaq (moralitas) dan mereka juga meraih kemajuan dalam segi materi (jasmaniah). Namun, mereka meraih pemahaman tiap-tiap hal itu sesuai dengan tempatnya masing-masing, agama itu dimana? Akhlak itu dimana? Dan apa itu kemajuan jasmani?

Para muda-mudi kita, para muda-mudi kita yang mengajukan pertanyaan itu bahkan secara khusus sebenarnya orang-orang dewasa pun – yang mana tanggung jawab memberikan pemahaman kepada generasi penerus ada pada mereka - harus berusaha memahami pertalian antara akhlak yang benar, kesuksesan materi dan agama dan kemudian menempatkan mereka semua dalam amal perbuatan di kehidupan sehari-hari. Ketika para orang dewasa memahami titik pandangan (noktah/point) ini maka tentu mereka akan dapat membuat anak-anak keturunan mereka paham akan hal tersebut. Ketika para muda memahaminya, itu akan membuka jalan kesuksesan bagi mereka dalam segi agama dan juga duniawi, dan mereka akan menyadari betapa indah ajaran Islam, dan mereka akan mengakui kebohongan pencela Islam.

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul saat ini yang diajukan oleh orang-orang yang tidak beragama atau memusuhi agama bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya, ini telah terjadi di masa lalu waktu demi waktu. Orang-orang yang berkeberatan dengan agama senantiasa mengangkat masalah ini dan juga masalah lainnya. Dengan mengangkat soal ini, keberatan mereka terhadap agama menjadi terbukti. Hal demikian ini karena mereka tidak berusaha memahami agama dalam corak yang benar, dan juga karena mereka yang disebut para pembesar dan pemuka agama, dengan menyajikan hal-hal atau solusi yang salah dari penemuan (dibuat-buat) mereka sendiri, atau karena ketidakpahaman mereka atas agama, telah membuat orang-orang berpendidikan menjadi terjebak masuk dalam kebingungan dan kerumitan lebih lanjut tentang agama.

Allah Ta’ala telah berbuat baik kepada kita pada zaman ini dengan mengutus Hadhrat Masih Mau’ud (Imam Mahdi) ‘alaihis salaam untuk menjauhkan kerumitan masalah ini. [Dengan memberi pemahaman kepada kita], beliau as menciptakan kekuatan dalam diri kita untuk mengerti secara mendalam atas masalah itu dan membuatnya terasa mudah bagi kita setelah kita memahaminya dan solusinya terselesaikan. Pada suatu waktu Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu (semoga Allah meridhai beliau) menyampaikan khotbah Jumat perihal korelasi (kaitan, hubungan) antara moralitas (akhlak), kemajuan materi (capaian duniawi) dan agama, serta sudut pandang Islam tentang masalah ini dan bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam (damai dan berkah Allah pada beliau) menjelaskan hakikat hal ini melalui keteladanan dan perbuatannya. Maka dari itu, sebagaimana telah saya katakan beliau ra telah menjelaskan topik ini dalam salah satu khotbah beliau, dan menjelaskannya secara ringkas. Dalam rangka mengambil manfaat dari penyampaian beliau ra ini, pada hari ini saya hendak menyajikannya kepada hadirin semua.

Kita berkata kepada dunia dengan sungguh-sungguh bahwa Islam adalah sebuah agama yang dikirim Allah Ta’ala sesuai dengan fitrah (sifat dasar dan suci) kemanusiaan sepenuhnya. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menguraikan Islam adalah agama fitrah. Beliau ra bersabda, “Agama, akhlak dan kebutuhan manusia – yang terkait dengan jasmaninya – saling mempengaruhi, saling menyerap dan merasuk satu dengan yang lain, sehingga sulit untuk memisahkan itu semua. Seseorang yang meyakini suatu agama tidak bisa memisahkan moralitas dari agama dan ia juga tidak bisa berikiran, ‘Sesungguhnya agama telah membuatku merasa cukup dari dunia dan tidak peduli dengan dunia sehingga aku tidak memerlukannya.’ Hal demikian karena menghentikan pemikiran untuk memerlukan kebutuhan duniawi akan menghentikan siklus kemajuan materi. Oleh karena itulah semua hal tersebut -- yaitu agama, akhlak dan kemajuan materi itu -- saling berhubungan. Namun, meskipun berkorelasi tetapi juga ada perbedaan. Di satu pihak, orang-orang yang tidak meyakini agama guna tetap dalam pendapat bahwa moral yang baik dan kesuksesan materi dibutuhkan manusia. Namun seorang Muslim sejati akan mempertahankan pendapat bahwa disamping itu semua, manusia juga membutuhkan agama karena itu mengantarkannya pada Tuhan.

Pendeknya, inilah perbedaan pemikirannya, yaitu bagaimana memandang ketiga soal tadi dan bagaimana hubungan antara ketiganya. Agama-agama yang lain telah mengalami stagnasi (kemandegan). Islam sajalah yang dengan tegas mampu membuat korelasi (hubungan) antara satu dengan yang lain (spiritualitas, moralitas dan kesuksesan materi). Namun, sebagian besar umat Islam tidak memahami hakikat realitas (kebenaran) agama sehingga mereka mengait-ngaitkan antara agama dengan moralitas dan keuntungan materi dengan cara yang salah dan berlebihan sedemikian rupa, sehingga mendorong orang-orang menjauh dari agama, bukannya menyajikan agama dalam corak yang indah.

Selain hal yang esensial (pokok mendasar) dalam Islam seperti shalat dan puasa, beberapa ulama bersikeras berpendapat bahwa hal-hal kebutuhan fisik seperti membuat anjuman (organisasi), konvensi/rapat umum dan sebagainya juga merupakan bagian dari Islam dan mereka yang tidak berpartisipasi di dalamnya adalah orang-orang kafir atau murtad.[1]

Inilah yang kita saksikan di dunia Islam. Bahkan, sikap ini sekarang ini bertambah terus dan setiap golongan mengeluarkan fatwa menentang fatwa golongan yang lain dan konflik pun berlanjut hingga berbentuk perang fisik. Setiap golongan mempunyai fatwa-fatwanya masing-masing. Semua ini menjadi penyebab berbagai kelompok ekstremis sibuk dalam pembunuhan dan penganiayaan satu sama lain dalam rangka menyesuaikan diri dengan akhlak dan hukum Islam dalam gambaran yang mereka pahami, jalani dan nyatakan. Situasi pembunuhan warga masyarakat atas nama agama oleh kelompok garis keras di Suriah, Irak, Afghanistan dan Pakistan muncul akibat lahirnya hukum-hukum fiktif (yang dibuat-buat) oleh mereka!

Terdapat Negara Islam yang berdiri di Iraq dan Suriah (ISIS atau ISIL). Seorang wartawan Prancis (Didier Francois) yang dibebaskan dari penahanan ISIL melihat berbagai praktek perbuatan mereka yang bertentangan dengan pengetahuan tentang Islam yang dimilikinya. Ia melihat mereka tidak membaca al-Qur’an dan Hadits. Ia bertanya kepada beberapa individu pengurus/pejabat ISIL, “Apa-apa yang kalian amalkan bukanlah ajaran al-Qur’an.” Mereka mengatakan, “Kami tidak tahu apa yang Al-Quran dan Hadits katakan, apa yang kami ikuti adalah hukum kami sendiri.”[2] Demikianlah mereka merusak Islam.

Situasi saat ini di Yaman juga merupakan gambaran dari pelaksanaan fatwa populer dalam kedok agama untuk membunuh orang yang tidak bersalah melalui serangan udara. Ini benar, bahwa dalam kedua belah pihak terdapat kesalahan, tetapi tidak berarti seseorang tanpa sebab dapat atau boleh membunuh yang lainnya yang tidak bersalah! Jika kita renungkan bahasan ini lebih lanjut, niscaya akan kita temukan bahwa – sebagaimana terekam dalam sejarah Islam dan praktek ini berlangsung hingga sekarang - setiap ulama membangun madzhab khusus buat mereka sendiri. Maulana fulan atau Alim fulan membangun madzhab masing-masing. Dengan demikian, hakikat kebenaran sudah tidak ada lagi di dalam Islam, yaitu di dalam Islam yang mereka klaim telah mereka amalkan itu. Akibatnya, sebagian besar orang Islam menjauh dari Islam yang sebenarnya, dikarenakan sikap taqlid (mengikuti begitu saja) terhadap para ulama dan pemberi fatwa. Tidak mereka ketahui apa itu ruhaniyyat (kerohanian hakiki) dan apa itu sesuatu yang didengungkan atas nama Islam/agama.

Bertentangan dengan itu, dunia Barat yang maju berkembang tetapi non-agamis atau menjauh dari agama, berusaha untuk membuat moralitas dan spiritualitas sebagai bagian dari dunia jasmaniah. Jika mereka memandang fenomena wahyu, mereka katakan itu adalah unsur dinamis manusia (bagian dari perbuatan manusia). Jika mereka memandang moralitas (akhlak), mereka memandangnya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi mereka secara duniawi. Jika mereka merenungkan soal agama, mereka katakan orang-orang yang mengikuti agama adalah yang tidak berpendidikan, tidak berperadaban atau berperadaban rendah, dan itu ada gunanya dalam batas tertentu, yaitu dengan mengatasnamakan agama dapat sedikit menyelamatkan orang-orang yang berperadaban rendah itu dari melakukan kejahatan-kejahatan karena [kata filosof Barat itu] orang-orang berperadaban rendah itu takut dengan agama. Itu pun jika mereka mengamalkan agama dengan corak yang benar. Dan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang sudah bermoral tidak perlu (tidak membutuhkan) agama.

Tetapi, dengan merenungkan moralitas (akhlak), spiritualitas (ruhaniah) dan kesuksesan materi (capaian duniawi), hal itu memberitahu kita bahwa itu semua terjalin begitu dekat sehingga tidak semua orang menyadari awalnya dari mana dan akhirnya kemana. Guna memahami korelasi tersebut kita harus melihat kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau). Beliau saw adalah pembaharu dunia untuk aspek spiritual, moral dan juga material. Kehidupan beliau nan penuh berkat adalah gabungan dari itu semua.

Pada satu segi beliau saw bersabda, «الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ» ‘ad-du’aa-u mukhkhul ibaadah’ - “doa adalah sumsum ibadah.”[3] Sementara di segi lainnya, beliau saw menekankan perihal penyempurnaan kerohanian. Artinya, sementara di satu segi ibadah Allah itu penting, beliau saw juga menekankan pada pengembangan spiritual. Tidak cukup hanya mengerjakan shalat saja lalu segala masalah selesai, melainkan harus menapaki tingkat-tingkat shalat dan memajukan kerohanian. Hubungan antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya terkait doa adalah seperti hubungan antara ibu dan anak. Kata bahasa Arab dua berarti memanggil (menyeru) seseorang. Seseorang memanggil ketika yakin yang dipanggil akan membantunya. Tidak ada satu pun yang memanggil musuh guna mengharapkan bantuannya. Saat kita berdoa atau hendak berdoa ada beberapa hal yang hendaknya kita lakukan dan perlihatkan.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus diketahui dalam berdoa. Pertama, seseorang harus yakin bahwa permohonannya akan didengar dan dikabulkan; kedua, seseorang harus memiliki jaminan bahwa siapa yang kita sebut dalam panggilan itu memiliki kekuatan untuk membantu (menolong); dan ketiga, seseorang harus memiliki cinta yang melekat dan pengabdian kepada siapa yang ia panggil, dan mau tak mau untuk berpaling kecuali hanya ke orang itu dan tidak kepada yang lain. Dua yang pertama adalah elemen (unsur) yang berkaitan dengan pikiran. Jika salah satu tidak yakin bahwa panggilannya akan didengar, dan jika seseorang tidak memiliki jaminan bahwa orang yang disebut-sebutnya dalam panggilan itu datang dengan memiliki kekuatan untuk membantu maka itu adalah hal yang sia-sia untuk memanggil orang itu!

Unsur ketiga, bagaimanapun adalah keinginan alami, kecintaan fitri melekat pada sifat dasar manusiawi. Unsur ketiga ini adalah cinta kasih yang melekat dan pengabdian yang membuat orang mengabaikan orang lain, dan membuatnya hanya berpaling ke obyek yang ia cintai. Seperti cinta yang melekat antara ibu dan anak sebagaimana telah saya sebut tadi. Bahkan, jika seorang anak yang tengah tenggelam di lautan mengetahui ibunya itu tidak bisa berenang, jika si ibu ada di sekitar itu, maka sang anak akan memanggilnya supaya ia menolongnya, dan tidak memanggil orang lain.

Ikatan ini ini lahir dari hubungan emosional. Tentang hal ini, Baginda Nabi saw (damai dan berkah dari Allah atas beliau) mengatakan, «الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ» ‘ad-du’aa-u mukhkhul ibaadah’ - “doa adalah sumsum ibadah.” Itu artinya, iman seseorang tidak dapat menjadi sempurna tanpa doa. Pendeknya, beliau saw mempersamakan hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan antara ibu dan anak, hal mana seorang anak senantiasa berlari dan berjalan ke arah ibunya dan mengabaikan orang lain.

Elemen (unsur) kedua adalah moral (akhlak). Kita melihat aspek indah ini dalam kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw. Kita melihat kelakuan baik dan ekspresi cinta beliau saw atas istri-istri beliau, sesuatu yang penting agar memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia. Ini termasuk akhlak mendasar. Cinta dan kepedulian beliau bagi istri-istrinya adalah sampai-sampai jika seorang istri beliau minum air dari suatu perkakas untuk minum, ketika beliau saw ingin minum, beliau menempatkan mulutnya di tempat istrinya telah menempatkan mulutnya untuk minum.[4] Dalam corak itu, ini adalah sesuatu yang nampaknya kecil tapi itu merupakan suatu pokok pandangan yang sangat halus lagi mendalam. Hal ini menandakan bahwa cinta tidak hanya diungkapkan dengan sikap-sikap dan perkara-perkara yang besar, tetapi benar-benar terlihat dari gerakan-gerakan kecil!

Tidak cukup hanya itu. Kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw penuh dengan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang berkaitan dengan akhlak sedemikian banyak, sehingga tampaknya semua hidup beliau hanya untuk mempelajari perihal akhlak dan mengajarkannya kepada orang-orang. Beliau adalah teladan tiada taranya dalam setiap hal, seperti misalnya hubungan dengan umat manusia, hubungan antar kerabat, rincian kelakuan dan perlakuan terhadap sesama manusia, menghindari kepalsuan, pengkhianatan, prasangka buruk dan ketidakpercayaan. Keteladanan beliau saw itu mencapai derajat yang mana tidak ada seorang pun yang dapat memperlihatkannya sejumlah 1/10 (sepersepuluh)nya saja dari yang beliau saw telah perlihatkan pada kita meskipun andai bisa mengalami puluhan kehidupan.

Unsur ketiga yang beliau saw ajarkan ialah memandu dalam aspek materi (jasmaniah). Misalnya, membuka atau memperluas jalan-jalan baru bagi warga masyarakat, pasokan air bersih, dan saat mendirikan sebuah kota atau pemukiman baru beliau menaruh perhatian atau memikirkan perihal para pembangunnya dan perancangnya. Beliau saw mengarahkan perhatian pada kebersihan jalan-jalan di perumahan. Saran dan petunjuk dari beliau saw agar membuat rumah yang lapang sehingga udara dapat masuk ke dalamnya.[5] Beliau saw mengarahkan perhatian pada semua hal materi dan duniawi, baik itu yang berhubungan dengan pemerintahan dan kemasyarakatan, maupun juga perdagangan dan pertukangan. Tiap-tiap sesuatu beliau jelaskan pada waktu dan tempatnya masing-masing sebagaimana kita dapati rincian besarnya dalam sirah (riwayat hidup) beliau saw.

Namun, meski demikian, bertentangan dengan orang-orang yang disebut ulama (pemimpin agama) hari ini, Nabi saw tidak menganggap segala sesuatu itu sebagai bagian dari agama. Misalnya, suatu kali saat melewati suatu kebun kurma, Baginda Nabi saw melihat beberapa petani melakukan penyerbukan pohon kurma dengan membawa bagian benih jantan dari pohon ke dalam kontak dengan bagian benih betina dari pohon tersebut. Beliau saw bersabda, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا"‏ “Aku menduga, andai kalian tidak melakukannnya, mungkin lebih baik”, dan membiarkan penyerbukan terjadi secara alami melalui angin.

Para petani meninggalkan praktek itu tetapi pada musim panen tahun berikutnya itu mereka tidak memperoleh panen yang baik. Ketika Nabi saw diberitahu penyebab hasil panenan yang lebih rendah, beliau saw mengatakan bahwa beliau saw tidak memerintahkan mereka untuk meninggalkan praktek tersebut, beliau saw bersabda, "‏ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ‏"‏ ‘Antum a’lamu biamri dunyakum’ – “Kalian lebih mempunyai pengetahuan tentang hal-hal duniawi kalian.”[6]

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Jadi, jelas dalam hal ini, bahwa beliau saw telah memisahkan aspek materi dari masalah agama. Itu jugalah sabda beliau saw, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا"‏ ‘Aku menduga, andai kalian tidak melakukannya, mungkin lebih baik’. Sabda beliau saw sendiri diucapkan sesuai dengan perintah-perintah Allah.” Sementara ini adalah sebuah sabda dari lisan seorang Rasul Allah Ta’ala yang menganggap hal-hal materi sebagai materi dan berkata kepada manusia, “Kalian lebih tahu daripadaku perihal urusan duniawi kalian.” Namun, kita saat ini mendapati para Maulwi (ulama) yang selalu siap menyatakan orang-orang sebagai kafir dan murtad hanya karena bertentangan pendapat dengan mereka!

Dan kemudian di sisi lain, kita melihat bangsa-bangsa Barat – atau mereka yang menamakan diri bangsa-bangsa maju berperadaban - tidak menganggap penting beriman kepada agama, tidak menghormati ajaran agama dan juga akhlak, tetapi mereka hanya menekankan segala hal yang bersifat materi (jasmaniah). Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Para filsuf (ahli filsafat) mereka (bangsa Barat) mengatakan, ‘Persoalannya bukanlah bagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan bagaimana manusia (na’uudzu biLlaah) telah menciptakan Tuhan.’

Mereka menganggap pertanyaan mengenai Tuhan adalah akibat kemajuan manusia, dan jika memang Tuhan itu Ada maka itu hanyalah lingkaran akhir kemajuan akal manusia. Mereka beranggapan manusia mencari model (rancangan, contoh, teladan) yang sangat baik dan ketika model ini tidak ditemukan di antara umat manusia, pikiran melampaui alam kemanusiaan dan secara bertahap sesuatu yang sempurna dibayangkan, dipikirkan dan pemikiran itu terus mengalami kemajuan dan ini mereka anggap sebagai konsep Tuhan.” Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan bahwa demikianlah bagaimana orang-orang itu telah membuat konsep Tuhan sebagai aspek material.

Secara bertahap mereka berpaling dari agama, dan para filsuf zaman ini cenderung untuk menganut atheisme. Sebagian besar orang di Barat, atas nama pencerahan dan pendidikan, tidak percaya adanya Tuhan. Mereka hanya menganggap moralitas (perilaku yang baik) dan kesuksesan materi sebagai segalanya.

Sementara itu, para maulwi zaman ini [sadar atau tidak justru] menambah dukungan atau mendorong meningkatnya pandangan-pandangan bersifat atheisme tersebut yaitu dengan membuat (menetapkan) segala pemikiran mereka (para ulama) sendiri itu sebagai bagian dari agama. Sebagai akibatnya mereka tengah menyebarluaskan kejahilan (kebodohan) yang mengherankan. Bila kita memandang bahasan ini dari segi ini, kita dapati para ulama zaman sekarang juga salah, dan salah juga orang-orang yang menganggap agama sebagai hal-hal materi dan yang menolak agama.

Kita beruntung dan berbahagia sebagai Muslim Ahmadiyah karena Allah Ta’ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud as dan menyelamatkan kita dari masalah ini serta menuntun kita untuk mengikuti teladan penuh berkat Baginda Nabi saw, karena kebenaran ada pada beliau saw. Beliau saw mengajarkan i’tidaal (moderasi, keseimbangan) dalam segala hal dan menunaikan haq-haq (tanggungjawab) kita dan inilah agama yang benar.

Beliau saw mengajarkan ibadah kepada Allah adalah penting, bahkan teramat penting, itu tujuan penciptaan kita sebagai manusia; namun bersamaan dengan itu, setiap diri juga berkewajiban memenuhi hak atas dirinya sebagaimana ia berkewajiban menunaikan hak istri dan tetangga.[7] Dalam rangka memenuhi hak-hak ini kita harus menggunakan tiga macam sumber atau sarana. Pertama, doa dan ibadah kepada Allah; kedua, pengendalian diri dan menahan emosi dan merenungkan serta mempelajari psikologi (kejiwaan) manusia, dan ketiga berpegang teguh pada kejujuran ​​dalam pekerjaan atau profesi dan keuangan serta mencari dan menuntut ilmu-ilmu keduniaan dan adalah penting untuk meraih ilmu sains.[8]

Jika kita merenungkan, kita akan menyadari bahwa demi memenuhi hak (menunaikan kewajiban) bagi diri kita sendiri, doa dan hubungan dengan Tuhan itu keduanya berfaedah seperti halnya mengendalikan emosi dan hawa nafsu. Hal demikian karena, perasaan emosional sering membuat kita menghilangkan hak-hak kejiwaan kita sendiri. Jika ia keluar tanpa pertimbangan, atau keluarnya emosi tanpa kendali juga mengakibatkan ketidakadilan dan sikap aniaya. Maka penambahan ilmu dan berpegang teguh pada kejujuran dalam pekerjaan dapat membimbing kita menuju peningkatan kehidupan moral, spiritual dan juga materi kita.

Demikian pula, dalam rangka memenuhi hak-hak keluarga kita, kita berdoa, mengendalikan emosi kita dan memenuhi kebutuhan materi mereka. Nabi saw juga bersabda bahwa hak tetangga atau masyarakat harus kalian penuhi. Itu akan tertunaikan dengan doa-doa kepada-Nya dalam hal itu lalu berusaha menunaikan kewajiban-kewajiban (memenuhi hak-hak) terhadap mereka kemudian berusaha memahami pola pikir dan kejiwaan mereka dan berdasarkan hal itu menyampaikan pesan Islam apa saja yang dapat mereka sampaikan. Termasuk menunaikan hak terhadap masyarakat yaitu dengan membuat mereka menelaah agama, kemudian dengan sarana kemajuan ilmu pengetahuan dan bekerja keras di tempat kerja, kita berperan serta dalam kemajuan negara secara umum. Hal ini juga termasuk dalam pemenuhan hak terhadap tetangga. Jika setiap anggota masyarakat melakukan upaya sembari memiliki pemikiran seperti ini, dan maka masyarakat akan menjadi teladan terbaik dalam hal kemajuan moralitas, spiritualitas dan kesuksesan materi.

Kemunduran dunia Muslim saat ini ialah dikarenakan mereka melalaikan semua ini – sebagaimana telah saya sebutkan tadi – mereka begitu terpengaruh dengan nama Allah dan agama Allah sedemikian rupa tetapi mereka telah memberikan nama pada hasrat-hasrat keakuan mereka sebagai agama. Mereka sebenarnya tidak terkesan, terpengaruh dan mengedepankan agama sebagaimana mestinya karena jika demikian tentu mereka akan menaruh perhatian pada hal-hal yang saya sebutkan tadi. Sebagai hasil menamai semangat-semangat egoisme (keakuan) sebagai agama dan berperilaku atas dasar itu, bukannya menyampaikan kualitas istimewa Islam kepada orang lain, mereka malah mengikuti keyakinan yang mereka buat-buat atas dasar semangat keakuan itu dan membunuh satu sama lain. Mereka telah kehilangan baik dari segi duniawi dan dalam hal-hal ukhrawi (spiritual) serta terhina dengan mengemis kepada pihak lain (non Islam) dalam setiap masalah. Inilah yang kita saksikan di dunia Islam sekarang ini.

Iya, memang benar bahwa dunia Barat menjadikan agama sebagai pengikut duniawi mereka dan memberi prioritas (pengutamaan) pada hal-hal duniawi melebihi keimanan (agama), bagi mereka agama tidak ada apa-apanya bahkan menjadikan duniawi sebagai segalanya bagi mereka. Tetapi, setidaknya mereka berhasil mencapai tujuan duniawi mereka, bahkan meski itu melalui cara-cara yang salah. Sementara kaum Muslim telah gagal dalam bidang duniawi maupun agama.

Pendek kata, Allah Ta’ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud as untuk ishlaah (perbaikan) pada kedua segi ekstrem tersebut [berlebihan dalam hal duniawi dan berlebihan dalam hal agamawi, atas nama agama]. Pada saat-saat seperti itulah Allah mengirimkan orang-orang pilihan-Nya kepada dunia guna menjaga hal-hal dalam suatu perspektifnya masing-masing, menjadikan agama dalam konteks (sudut bahasan) agama, moralitas (akhlak) dalam konteksnya dan hal-hal duniawi dibahas dalam konteks duniawi. Secara kasat mata, orang-orang pilihan Allah terlihat hanya membawa risalah ruhaniah (pesan spiritual) tetapi ketiga aspek tersebut tetap berkorelasi demikian eratnya (sangat berkaitan, yaitu akhlak, ruhaniah dan jasmaniah).

Keunggulan dalam spiritualitas pasti mengarah ke reformasi moral, dan penjagaan moral yang baik pasti menyebabkan kondisi materi yang lebih baik. Namun, seseorang yang perkara-perkara duniawinya baik, tidak berarti bahwa ia telah mendapatkan segalanya, dan tidaklah menjamin bahwa orang yang maju dalam hal duniawi itu menjadi benar dalam akhlaknya, juga tidak pasti benar mengatakan siapa yang akhlak (moralnya) baik maka agamanya juga pasti benar.

Hal demikian karena Allah berkehendak membawa manusia senantiasa kembali kepada-Nya. Inilah tujuan hidup manusia. Guna mencapainya, Dia jadikan [petunjuk berupa] reformasi moral dan kesuksesan materi sebagai pengikut agama yang dengan itu setiap orang yang mengusahakannya akan meraih segala sesuatunya. Allah menyatakan bahwa seorang mu-min sempurna diberikan segala macam kesuksesan dan kemajuan (jasmani, akhlak, ruhaniah). Sementara mereka yang hanya menaruh perhatian pada duniawi, firman-Nya, الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا Yaitu, seluruh usaha mereka sia-sia dalam meraih keduniaan. (Surah al-Kahfi, 18:105). Hadhrat Mushlih Mau’ud ra membuat permisalan, “Mereka yang datang dari yang paling atas menuju yang terendah meraih keselamatan, sementara yang datang dari yang terbawah ke paling atas tidak akan ada keselamatan padanya.”

Pendek kata, telah diketahui bahwa ada berbagai cara yang berbeda dan tersendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hal moral, spiritual dan material, tetapi ada juga cara bersama dan itu adalah menjalin hubungan yang sempurna dengan Allah. Moralitas dicapai dengan mengusahakannya. Kesuksesan materi diperoleh dengan mengusahakannya. Tetapi, hasil dari kedua upaya ini terbatas dalam lingkup mereka sendiri. Tidak keluar dari domain masing-masing. Namun, berkebalikan dari itu, mereka yang berupaya memperbaiki dan meluruskan ruhaniyat-nya (spiritualitasnya) akan diberikan segalanya.

Sebagai contoh, para sahabat Nabi ridhwanuLlahi ‘alaihim. Pada waktu mengambil baiat kepada Nabi Muhammad saw, mereka tidak berpikiran karena mereka ingin membuat jalan lebar atau ingin memiliki kebersihan di sekitar lingkungannya atau hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya, mereka dibacakan dan membaca, لا إله إِلَّا الله مُحَمَّد رسول الله ‘Laa ilaaha illAllah, Muhammadur rasuluLlah’ – 'Tidak ada yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya' dan dengan hal ini mereformasi akhlak mereka dan dengan akhlak yang lurus juga pasti akan membuat baik dan lurus hal-hal duniawi mereka. Kaum Muslim zaman itu menjadi teladan dalam hal kebenaran dan kejujuran. Dalam perdagangan, mereka dapat dipercaya sehingga penduduk dunia mempercayakan harta mereka tanpa rasa cemas. Mereka sedemikian menegakkan keadilan sehingga berbagai rakyat menginginkan berada di bawah pemerintahan orang Muslim.

Pada zaman Hadhrat Khalifah Umar ra, umat Muslim harus meninggalkan suatu wilayah di Syam (Suriah) karena besarnya jumlah tentara Romawi yang hendak menyerang mereka. Kaum Kristen Suriah yang menjadi rakyat pemerintah Islam menangis ketika umat Islam berangkat pergi meninggalkan mereka. Warga Kristen tersebut menghentikan pasukan Muslim seraya mengatakan, “Kami akan membantu kalian jika tetap tinggal di sini.” Mereka orang-orang Syam itu adalah Kristen seperti halnya orang-orang Romawi juga [yang sebelumnya memerintah mereka], tetapi ikatan mereka dengan umat Islam itu karena moral yang tinggi dan tata kelola pemerintahan yang sangat baik dari kaum Muslim. Hal demikian membuat mereka bersedia membantu kaum Muslim melawan pemerintahan Romawi yang sama-sama beragama Kristen.

Meskipun pemerintahan adalah pencapaian duniawi, pemerintahan umat Muslim waktu itu bukanlah semata-mata duniawi. Umat Muslim waktu itu dianugerahi hal ini sebagai buah dari keistimewaan keimanan mereka sehingga dengan menjalankan hukum-hukum agama, mereka terhiasi dengan keindahan dan keistimewaan sampai-sampai rakyat dari beberapa agama yang berbeda menghendaki agar pemerintahan tetap tegak di tangan kaum Muslim. Tak diragukan lagi umat Muslim waktu itu meraih hal ini sebagai buah dari ikrar لا إله إِلَّا الله مُحَمَّد رسول الله ‘Laa ilaaha illAllah, Muhammadur rasuluLlah’ – “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah.” Namun, itu bukan ikrar hanya di lidah saja melainkan sebagai karunia dari kebenaran mereka dalam keimanan mereka karena mengikrarkan hal ini hanya dengan lidah saja juga akan kehilangan dunia juga. Sementara itu, orang yang mengikuti agama yang benar secara benar lalu menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak maka ia juga mendapatkan dunia juga. Para pemegang pemerintahan di kalangan umat Muslim di masa kontemporer ini (masa sekarang) tidak memahami hal ini sehingga mereka tidak menjalankan pemerintahan dari segi ini.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan bahwa dalam kerangka penjelasan perihal hubungan yang kuat dengan Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud as biasa menceritakan kisah tentang seorang Taajir (pengusaha, saudagar, pedagang) yang akan berangkat pergi melakukan sebuah perjalanan dan meninggalkan sejumlah besar uang yang dititipkannya kepada seorang Qadi (hakim) kota itu. Setelah kembali, ia meminta sang Qadi untuk mengembalikan tas uangnya tapi Qadi hanya menyangkal pernah diberi uang sebagai kepercayaan/titipan. Sang pedagang sangat gelisah dan memberi Qadi dengan banyak petunjuk dan informasi untuk mengingatkannya perihal tas uangnya, tapi Qadi mengatakan bahwa ia tidak pernah menyimpang barang kepunyaan orang lain sebagai kepercayaan (amanat).

Mereka diperintah oleh seorang raja yang sangat mudah didekati. Pedagang pergi menemuinya dan menjelaskan ceritanya. Raja memintanya beberapa bukti bahwa ia telah meninggalkan uangnya. Pedagang mengatakan dia tidak mempunyai bukti. Raja memikirkan rencana dan meminta pedagang untuk berdiri di samping Qadi pada hari prosesi penghadapan raja. Pedagang setuju dan mengikuti rencana pada hari prosesi. Raja berkata, “Saya akan berbicara dengan Anda dengan cara tak resmi seperti dengan kawan dekat dan ramah. Anda harus menanggapinya dalam keramahan yang sama.”

Pada hari prosesi, raja dan pedagang keduanya secara terbuka mengobrol dengan ramah dan pedagang menceritakan perihal tas uangnya yang tertinggal pada seseorang sebagai kepercayaan (amanat) dan ia menderita kesulitan dalam mengambilnya kembali. Raja berkata, “Kalau Anda menyampaikan hal ini sebelumnya tentu saya akan menyelesaikan masalah Anda sehingga tas uang Anda dapat kembali. Jika Anda terus mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali uang Anda, saya harus datang dan menemui Anda.” Qadi melihat semuanya.

Ketika prosesi berlalu Qadi berkata kepada si pedagang, “Ingatan saya tidak sangat baik dan saya mungkin sudah lupa tentang tas uang. Coba Anda sampaikan beberapa petunjuk dan ciri-ciri barang Anda.” Ketika sang pedagang memberinya petunjuk, Qadi berkata, “Kenapa kau tidak beritahu saya tanda-tandanya sebelumnya? Barang titipan Anda tersimpan pada saya. Saya akan pergi dan mendapatkan tas Anda lalu akan saya serahkan pada Anda!"

Sekarang, jika persahabatan dengan sumber kekuasaan duniawi yang terbatas kekuatannya dapat memberikan begitu banyak keuntungan kepada seseorang, maka bagaimana persahabatan dengan Allah? Bagaimana dunia tidak akan takluk pada manusia yang demikian, yang bersahabat dengan Allah. Dengan mengikuti agama yang benar secara benar memungkinkan seseorang untuk menang atas dunia seluruhnya. Para sahabat Nabi saw memperoleh itu semua berupa keduniaan melalui Nabi saw, bukan dengan cara mengikuti sarana-sarana materi, melainkan dengan mengikuti agama. Tapi keyakinan (iman) sempurna diperlukan untuk ini, keyakinan yang menarik ridha (kesenangan) Allah.

Jika seseorang telah mempunyai keyakinan sempurna, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan moral yang tinggi (akhlak fadhilah). Jika dia mengusahakan penerapan semua aspek moral dan mempraktekkan semuanya, maka dia akan meraih kejujuran, kebenaran, kepercayaan, kesalehan dan kesucian. Dan ini tentu akan membuat dirinya memperoleh pengetahuan, keterampilan, kesadaran, kemampuan serta ketekunan, dan ia akan mencapai kesuksesan duniawi juga. Seorang mu-min hendaknya harus paling banyak fokus pada hubungan rohani. Tidak seperti orang-orang yang berucap bahwa hanya pernyataan lisan saja sudah cukup. Kecintaan kepada Tuhan tidak hanya bisa dengan lisan saja, melainkan dengan hati dan jika telah demikian, maka manusia dapat memperoleh segala sesuatunya.[9]

Manusia tidak akan mendapat anugerah karunia hingga dia mencapai puncak (keunggulan/keistimewaan) dan kesempurnaan pada sesuatu hal yang ia kerjakan. Seseorang juga hanya dapat meraih manfaat dalam hal agama terkecuali dengan kesempurnaan dan pencapaian puncak keunggulan. Maka dari itu, seseorang harus berusaha untuk itu.

Hadhrat Masih Mau’ud as biasa bersabda, “Orang-orang yang mendapatkan keuntungan dariku hanyalah mereka yang memiliki asosiasi (ikatan) yang kuat dan erat denganku; baik mereka yang sangat menentang, seperti Maulawi Tsana Ullah Sahib dan mereka lainnya yang menjadi terkenal terutama karena sempurna dalam menentangku, atau mereka yang benar-benar tulus dan sempurna dalam mengikuti dan menaatiku. Asosiasi lemah (hubungan yang lemah denganku) tidak menguntungkan sama sekali.

Jika seseorang berpaling dan berjalan kepada Allah, ia akan diperlakukan sebagaimana orang lain diperlakukan pada jaman dulu. Pada zaman ini pun bisa terjadi. Dengan syarat seseorang benar-benar mencoba (berusaha) untuk ini dengan sepenuh usaha yang sungguh-sungguh dan benar hingga ia akan mencapainya. Allah tidak bermusuhan dengan siapa pun. Apa yang dibutuhkan adalah kita membawa diri kita kehadapan Allah sepenuhnya, bersujud di istana-Nya dengan ketulusan yang sempurna. Kita akan meraih segala sesuatu di istana-Nya, dan ini membawa kita meraih kesuksesan yang kita perlukan. Sebagaimana seseorang yang duduk di dekat api maka semua anggota tubuhnya akan merasakan panas dari api tersebut, bagaimana mungkin orang yang telah meninggalkan segala sesuatu demi Tuhan, tidak mendapatkan sesuatu apa pun dari karunia-karunia-Nya?[10]

Kita harus melakukan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai Tuhan, berusaha memahami agama yang dikirim oleh-Nya dan membuat kecintaan pada-Nya menjadi bagian terdalam dari diri kita. Hal ini secara terus-menerus akan menjadikan tinggi moral kita dan kita juga akan meraih kesuksesan materi.

Jika kita mencoba dan mengambil bagian dari cahaya Ilahi, kita akan benar-benar menerima kebaikan-Nya. Jika kita mencoba dan mengambil bagian dari cahaya Ilahi guna menyinari diri dan keadaan kita dengan kesungguhan, kecintaan dan kesetiaan maka secara otomatis itu akan menghilangkan kepalsuan yang merupakan salah satu dari sekian banyak kegelapan. Ketahuilah, kemalasan, penipuan, merampas hak orang dan penyakit keburukan lainnya adalah kegelapan. Secara otomatis, itu semua akan kita bersihkan dengan keberkahan Nur Ilahi, dan kita akan tinggikan taraf moral dalam diri kita, dan kita meraih kemajuan jasmaniah juga.

Jika kita ingin menyelamatkan generasi keturunan berikutnya dari efek buruk materialisme/kebendaan, dan kita hidup dalam masyarakat, maka mau tak mau kita harus menjelaskan kepada mereka korelasi (hubungan/keterkaitan) antara agama dan moralitas. Kita ikatkan mereka dengan agama seraya kita tegaskan dengan amal perbuatan kita bahwa kesuksesan materi merupakan pengikut agama yang benar. Untuk itu, kita juga harus berusaha menjalin hubungan yang benar dengan Allah. Semoga Allah memberi kita taufik untuk itu.

 

 

[1] Khuthubaat-e-Mahmud, jilid 17, h. 462-463.

[2] Didier Francois 10 bulan dalam penahanan ISIL. Ia tidak pernah melihat mereka membaca Al-Qur’an. Bahkan, penangkapnya tidak mempunyai salinan Al-Quran. Fakta ini dapat dilihat di berbagai media yang memuat wawancaranya, baik media internet maupun media cetak.

[3] Jami’ at-Tirmidzi, Kitab tentang doa-doa, riwayat Anas ibn Malik. Juga tercantum dalam Bulughul Maram. Hadits lainnya yang serupa, «الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ».

[4] Shahih Muslim, Kitab tentang haidh, no. 300.

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ

Dari Aisyah Ra, ia berkata, “Aku biasa minum dari gelas yang sama ketika haidh, lalu Nabi saw mengambil gelas tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulut, lalu beliau minum beliau juga makan daging yang telah kugigit.”

[5] Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 4032), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (9556). Di dalam sebuah hadits dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqosh ra, Rasulullah saw bersabda, أربعٌ مِنَ السعادةِ : المرأةُ الصالحةُ والمسكنُ الواسعُ والجارُ الصالِحُ والمركبُ الهِنِيْءُ، وأربعٌ من الشقاوةِ : الجارُ السوءُ والمرأةُ السوْءُ وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ “Ada empat diantara kebahagiaan: istri yang sholihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang sholih (baik), dan kendaraan yang nyaman. Ada empat kesengsaraan: tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk”.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw pernah berdoa di suatu malam seraya berkata, (اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا رَزَقْتَنِي) “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, berilah keluasan bagiku dalam rumahku dan berkahilah bagiku dalam sesuatu yang Engkau berikan kepadaku”. [At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3500).

[6] Shahih Muslim, Kitab al-Fadhail (keutamaan), no. 2363. Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata “Aku bersama Rasulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rasulullah bertanya “Apa yang mereka lakukan?” Orang-orang sekitar pun menjawab “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan”. Rasulullah bersabda “Aku menduga, Andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”, Lalu mereka membiarkannya, dan hasil panen kurmanya berkurang. Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rasulullah pun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah! Sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang kubuat, Namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Allah, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang datang dari Allah.”

Dalam riwayat no. 2362 beliau bersabda, "‏ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ‏" “Sesungguhnnya aku adalah manusia. Jika aku memerintahkan kalian sesuatu perkara agama, maka ambillah. Jika aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, sesungguhnya aku juga manusia.”

 

[7] Nasehat Nabi saw dan seorang Sahabat terhadap sahabat Nabi saw lainnya yang terlalu keras dalam ibadah shalat nafal dan puasa sampai-sampai mengabaikan istri, keluarga dan bahkan badannya sendiri. Tercantum dalam berbagai kitab hadits. Para sahabat yang mendapat nasehat tersebut ialah Abu Darda ra, Abdullah ibn Amr ibn Ash ra dan Utsman ibn Mazh’un ra. Dalam Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Nikah, bab tentang hak istri, Rasulullah saw bersabda kepada Abdullah ibn Amr ibn Ash: "Wahai Abdullah, bukankah telah tersebar berita bahwa kamu berpuasa sepanjang siang hari dan qiyamullail/tahajjud semalam suntuk?" aku menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi isterimu juga punya hak atas dirimu."

[8] Khuthubaat-e-Mahmud, jilid 17, h. 466-467.

[9] Khuthubaat-e-Mahmud, jilid 17, h. 467-470

[10] Khuthubaat-e-Mahmud, jilid 17, h. 470-471

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun