Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kekerasan, Kebencian dan Pengerahan Massa

8 Juni 2011   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 4 peserta yang berdiri dan menyampaikan penTanya-Jawab:

GMNI (Tenri, Sulut) yang menyoroti perlunya diangkat praktek terbaik hubungan antar agama dan antara negara dan agama karena tak ada semuanya buruk sebagaimana disoroti olehpara pembicara di acara diskusi ini. Ia mencontoh di Manado. Praktek terbaik di Sulawesi Utara. Penghargaan mayoritas Kristen hadir kepada umat Islam minoritas. Penanya mengungkapkan tidak khawatir dengan Negara Islam. Penanya juga mendorong tokoh-tokoh intelektual pribumi asli yang memahami budaya dan kearifan lokal-lah yang muncul di publik media.

Pertanyaan (lebih tepatnya protes) dari Hamid yang menyebutkan, partai pun memeras negara sebagaimana NII memeras warga jadi sama saja dan jangan berlebihan menghujat NII.

Pertanyaan ke-3 dari Mln. Shamsir Ali yang mengutip syair karya Huzur IV r.h.a. sebuah syair mengenai para penyair yang mencintai karya-karyanya tentu takkan merusak syair-syair karyanya tersebut. Demikian pula para pecinta Allah tentu takkan merusak dan membenci karya-karya Allah ta’ala yakni para makhluk-Nya. Diteruskan dengan pertanyaan apakah departemen agama masih perlu dan sebaiknya dibubarkan saja.

Pertanyaan ke-4: berisi poin-poin agar mengedepankan cover both side berisi kritik kepada Ismatu Ropi, Neng Dara dan Masdar.

Tanggapan Narasumber:

Masdar: umat Islam mengidap memori kekalahan, dijajah, terhina. Menjadi sangat sensitive (gampang uring-uringan). Disatu pihak meyakini superioritas tapi mengalami kehinaan terus-menerus. Repotnya, menghadapi keterhinaan dengan emosi baik oleh umaro, ulama maupun rakyat. Pemimpin korup dan tidak demokratis. Pemimpin agama menganut teologi insecure/teologi (pandangan agama) merasa terancam terus-menerus. Respon yang sangat canggih. Psikologi yang sangat merusak. Perubahan radikal bukan dengan cara marah. Memperkuat diri sendiri. Ibda’ bi nafsik (mulailah dari diri sendiri). Menurut Masdar, petaka terbesar ialah tidak punya agenda internal untuk memperkuat diri sendiri tapi mata dan hati diarahkan untuk mengalahkan, menghancurkan bahkan menghakimi dan menghukum orang lain seperti menyesat-nyesatkan orang lain padahal, “apakah kita sudah benar atau belum?” Ada tiga hal penting untuk agenda penguatan internal umat Islam yaitu organisasi, kualitas sumber daya manusia dan amal pengkhidmatannya.

Mengalahkan orang dengan fisik hanya fisik tapi mengalahkan org dengan hati/kesalehan maka semuanya. Agenda yang hilang. Pendekatan sufistik dikalahkan dengan pendekatan legalistik/menghukum. Mendirikan negara dengan susah payah hanya untuk menjatuhkan hukuman memotong tangan pendekatan syar-i yang kasar.
Pola pikir negara berupa menghukum bukan memberdayakan atau melindungi terlihat dalam kasus misalnya penjualan anak oleh bapaknya karena bapaknya tidak mampu membiayai tagihan pengobatan anaknya dimana hal pertama yang dilakukan Negara bukannya melunasi tagihan/utang sang bapak tetapi memenjarakan si bapak tersebut. Sudah kehilangan anak, berhutang ditambah dipenjara pula.

Neng Dara menyoroti diantaranya tentang ketidakmampuan (baca: ketidakmauan) umat Islam menyadari kelemahannya dimana mereka bukan menerima dan memperbaiki tapi apologis ketika dikasih data mengenai penyakit atau kelemahan diri sendiri diri. Pemahaman agama berkontribusi besar terhadap praktek-praktek kekerasan atas nama agama. Neng Dara mengungkapkan kebahagian besarnya karena menyaksikan kalangan muda berupaya melakukan pencarian kebenaran sejati nilai-nilai keindonesiaan dan keislaman. Jangan meremehkan kelompok-kelompok fundamentalis yang untuk mengurangi pengaruhnya memerlukan counter teologis maupun counter gerakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun