Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kekerasan, Kebencian dan Pengerahan Massa

8 Juni 2011   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masdar mengangkat mengenai definisi siapakah muslim itu dengan menyebut dua sifat Allah ta’ala yaitu ar-rahmaan (maha kasih untuk semua makhluk) dan ar-rahiim (Maha Kasih untuk kaum beriman yang dapat diketahui di akhirat.) Hukuman keimanan hanya ada di akhirat dan itu menjadi hak Allah.

Perlu ada redefinisi, rekonstruksi pemahaman agama serta keteladanan pemuka-pemukanya; penegakan hukum dan pembebasan rakyat dari penyakit kemiskinan dan kebodohan.

Ada 2 kelompok manusia yang bila baik maka baik pula umat/bangsa yaitu ulama (pemuka agama) dan umaro (pemuka sekuler). Sekarang yang disebut ulama bukanlah ulama tapi demagog (pembentuk pemikiran masyarakat).

Narasumber kedua, Neng Dara Affiah: Keindonesian dan keislaman tidak final. Indonesia sedang dlm bertarung/bertaruh antara Negara agama dan Negara konstitusi. Pendukung Negara konstitusi ialah kelompok sekuler. Mereka liberalis yang dipengaruhi filsafat pencerahan Barat. Didalam kelompok sekuler juga ada kelompok fundamentalisme sekuler yang tak mau dialog dengan kelompok pendukung negara agama. Sementara kelompok sekuler kurang memiliki pendukung dari kalangan yang memahami agama beserta teks-teksnya guna melakukan pendekatan teologis untuk mendialogkan kepada kalangan teologis (pendukung Negara agama) yang menolak prinsip-prinsip HAM universal.

Kelompok puritanisme/revivalisme/radikalisme agama tingkatannya berjenjang. Ada yang memakai kekerasan dan ada yang tidak. Ada yang membenarkan dan ada yang memakai kekerasan bahkan membolehkan pembunuhan. Ini bukan remeh-temeh tapi serius. Mereka sudah membuat percontohan-percontohan yang baik (Bulukumba dan lain-lain), proyek-proyek, pesantren. Tujuannya jelas menjadikan Indonesia negara Islam. Mereka telah menguasai berbagai arena.

Kelompok ketiga ialah; kelompok muslim progresif yang memiliki kekurangan yaitu tidak memiliki program dan organisasi serta tidak memiliki daerah percontohan. Mereka cinta agama tapi tak mau negeri ini menjadi negeri agama. Salah satu diantaranya ialah lembaga PSIK >> percaya Islam menjadi golden values (nilai-nilai emas).

Persoalan sekarang ialah jarang terjadi pertemuan dan dialog antara Islam fundamentalis dan Muslim progresif. Padahal pada 1950-an antara M. Natsir dan kelompok Muslim progresif bahkan non Islam sering membangun dialog.

Ada dua fenomena menarik dan serius: pertama, kebangkitan argumentasi Islam ada di dua Negara Indonesia (Sunni) dan Iran (Shiah). Celakanya, jarang bisa berdialog. Perlu dibangun tradisi berargumentasi yang sehat; kedua, energi yang kuat untuk gerakan dan kaderisasi yang banyak dimiliki oleh gerakan Muslim Revivalisme (Fundamentalisme). Muslim Progresif mengalami kelesuan krn terlalu cape harus counter HAM sementara persoalan ekonomi pribadi melilit.

Problem tafsir agama dimana tafsir agama memiliki kontribusi terhadap kekerasan. Gerakan reinterpretasi bukan di tengah tapi samar. Perlu ada gerakan bersama. Terjadi dua pertarungan makna yaitu: Pertama, pertarungan makna Islam. Islam sebuah kata yang direbut maknanya oleh berbagai aliran yang berbeda-beda. NII, FPI, dan sebagainya. Neng Dara Affiah, “Saya malu dan mending nggak disebut Islam bila disamakan dengan FPI”; Kedua, pertarungan makna konstitusi. Suatu hal yang mengherankan bahwa pertimbangan pertama UU di Bulukumba dan Aceh (yang mempraktekkan perda Syariat) adalah UUD 45. Tugas kita mengambil kembali makna yang benar dan universal dari UUD 45 bukan yang bersifat Arabisme. Politisasi terjadi pada pengesahan UU pornografi yang didukung oleh institusi Negara. Padahal Negara harusnya menjadi mediator dan katalisator.

Narasumber ketiga, Al Chaidar menjelaskan taksonomi gerakan NII, perpecahan dan terbaginya menjadi 14 faksi. Proses perpecahan Darul Islam sangat sulit dipahami banyak orang. Apalagi perkembangan sejaranya NII pasca 62 itu sangat rumit. Terpecah, ter.

Ismatu Ropi: Umar Senoaji dibelakang UU PNPS. Siapa umar senoaji. Teori religious freedom sangat kaya. Aturan2 tt aliran kebatinan. Upaya para legalis. Proses deradikalisasi. Upaya sistematis mereview.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun