Kau mengajakku bertemu di kedai kopi sore itu. Kita berdua duduk di dekat jendela. Kopiku, juga tehmu mengepulkan asapnya membumbung di udara. Menggelora.
Kau hanya terdiam memandangi kopiku dengan segurat rasa kecewa. Aku tahu kau heran, mengapa aku masih meminum serbuk-serbuk hitam dari surgawi itu meski entah sudah berapa kali kau menasehatiku.Â
Sedang aku tak kalah bisunya sembari memandangmu. Lekat.
"Apakah Tuhan kita masih sama?", tanyamu memecah keheningan.
Ah, mengapa kau tidak basa-basi terlebih dahulu. Bukankah sudah lebih dari satu warsa kita tak berjumpa? Kau seharusnya tahu bagaimana cara mengemas obrolan tidak santai kita kali ini.
Aku menghela nafas. Pandanganmu masih lekat pada kopiku dan semburat asap yang dikepulkannya. Kau takut memandangku. Aku pun terkekeh kecil dan memandangmu dengan sama lekatnya.
"Apa kamu pikir sekarang aku menyembah Tuhan yang berbeda?".
Kau mengalihkan pandanganmu ke arahku, perlahan, tajam.
"Sepertinya", jawabmu singkat.
Lalu kau pun mengalihkan pandanganmu dari mataku.