Kini, aku telah lulus dari perguruan tinggi idaman negeri ini. Bekerja dengan sangat layak pada tempat yang sangat dihargai. Aku tahu, kita tidak lagi dipandang orang dengan sebelah mata dan tidak lagi layak merasa rendah diri. Aku juga tahu, betapa bangganya engkau akan anak perempuanmu ini.
Ayah, aku telah dewasa. Engkau tahu, aku tidak pernah berbuat yang tidak-tidak yang membuatmu malu. Engkau sungguh tahu, aku tidak pernah meminta segala sesuatu yang tidak bisa kau penuhi. Aku juga sungguh-sungguh tahu, bagaimana engkau tidak pernah berkata tidak untukku. Ayah, kali ini saja. Aku meminta sesuatu. Bukan sesuatu, aku hanya meminta izinmu. Izin untuk mencari siapa saya dan saya siapa. Aku meminta izinmu untuk mencari Tuhan yang sejati.
“Apa ini karena seorang lelaki, nak?”, tanyamu dengan seraut kecewa.
“Ayah, aku melakukan semua ini karena diriku sendiri, oleh diriku sendiri, dari diriku sendiri dan untuk diriku sendiri. Aku hanya memohon izinmu, restumu.”, kataku sambil mencium tanganmu. Aku sangat memohon restu.
Engkau hanya tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Engkau sangat mempercayaiku, mempercayai segala keputusanku.
Ayah, terima kasih atas ajaran agama yang telah kau suapkan kepadaku sedari aku muda. Terima kasih telah mengenalkan sesosok adikuasa bernama Tuhan. Terima kasih pula telah memberiku pengetahuan tentang benar dan salah, pahala dan dosa, malaikat dan syaitan, juga tentang surga dan neraka.
Tapi, Ayah. Sesungguhnya, aku tidak melakukan yang tidak-tidak selama ini bukan karena aku menginginkan sebuah buah bernama pahala. Juga bukan pula karena aku menginginkan sebuah tempat dengan sungai yang dialiri susu dan dipenuhi bidadari-bidadari menawan hati. Aku tidak berbuat yang tidak-tidak, juga bukan karena takut akan sesosok Tuhan yang engkau kenalkan padaku semenjak belia. Aku sedari dahulu percaya, bahwa apapun yang aku lakukan, baik buruknya, akan kembali padaku pula. Semua dari aku sendiri, oleh aku sendiri, karena aku sendiri, dan untuk aku sendiri.
Sekarang, aku memuja Tuhan yang tidak berbeda dengan yang engkau puja. Hanya saja, aku mempunyai pandangan yang sedikit berbeda tentang Tuhan kita. Tuhan menurut pandanganku sekarang adalah Tuhan yang aku adalah kamu, kamu adalah aku. Tuhan yang meresap dalam semesta, dan semesta pula adalah Dia. Tuhan yang universal. Aku memuja Tuhan yang sama dengan cara dan pandangan yang berbeda.
Aku bersembah Hyang beralaskan bumi beratapkan langit. Dan aku suka sembah Hyang saat purnama di luar sana. Aku suka menenggelamkan diri dalam sinar candra yang menyejukkan hati, sampai hari beralih menjadi dini. Dan kau hafal benar kebiasaanku itu, Ayah.
Setiap purnama, entah sedari pukul berapa. Engkau selalu menungguku pulang dari sembah Hyang di teras rumah. Engkau selalu begitu. Hingga ketika kau lihat sorot lampu kendaraan yang kutumpangi datang, kau buru-buru membuka pintu. Engkau yang memang pendiam, tak berkata apapun padaku. Selalu begitu. Tapi aku tahu, Ayah. Itu adalah manifestasi dari kasihmu.
Terima kasih, Ayah. Atas kasihmu yang sepanjang masa.