Mohon tunggu...
Dilbar Sarasvati
Dilbar Sarasvati Mohon Tunggu... PNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai -

Anak keturunan Manu yang sedang mencari siapa saya dan saya siapa http://kirakirademikian.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Teruntuk Ayah dan Kasihnya yang Selalu Sama

14 Januari 2016   11:24 Diperbarui: 15 Januari 2016   11:31 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Ayah dan Aku (credit to: loop.co.id)"][/caption]

Kasih ibu sepanjang masa. Begitu juga kasih ayah, sama sepanjang masanya.

Ayah, engkau sangat sederhana. Tidak mudah terpengaruh standar kebahagiaan yang selalu berkembang dan menjadi rumit dan kompleks. ‘Nrima Ing Pangdum’ adalah prinsip utamamu. Hidup tidak perlu sengaja mencari-cari sesuatu yang sesungguhnya kita tidak sungguh-sungguh tahu untuk apa itu. Itu katamu. Tapi, hidup juga sesungguhnya mencari jati diri. Itu juga katamu.

Aku masih ingat hangatnya punggungmu saat kau mengantarkanku menuju tempatku menimba ilmu dengan sepeda tua itu. Aku selalu memeluk erat punggungmu. Hangat, kurasakan kasihmu menjalar dari punggungmu yang renta ke tangan-tangan mungilku yang tak berdaya. Rentamu itu tak patah semangat mengantarkanku hingga aku menjadi gadis muda belia. Aku tidak pernah merasa malu dengan keadaanmu itu. Sepedamu yang semakin tua, kulit-kulitmu yang keriput, keringat dan bau matahari yang melumuri tubuhmu. Aku tidak pernah malu. Meski, ada temanku yang entah tujuannya apa berkata dengan congkaknya.

“Aku tadi melihatmu, kau diantar Bapak tua dengan sepeda tuanya, ya?”, katanya menyambutku di kelas.

Ayah, sesungguhnya aku ingin marah. Tapi, dia sesungguhnya juga tidak salah. Engkau memang seorang Bapak tua. Dan sepedamu juga sama tuanya. Dia tidak salah. Aku mungkin yang terlalu mengasihimu hingga aku ingin dan hampir marah.

Aku menghela nafas panjang mencoba menghabiskan amarah yang tersisa di dada.

“Iya, kamu benar. Bapak tua itu, Ayahku.”, kataku sambil tersenyum dan berlalu dari hadapannya.

Lalu setelah itu, aku belajar untuk tidak lekas marah untuk hal-hal yang tidak layak untuk "dimarahi".

Ayah, engkau selalu mengusahakan yang terbaik untukku. Engkau dengan sepada rentamu itu berusaha membuatku mendapatkan yang terbaik. Baju terbaik, tas terbaik, sepatu terbaik, buku terbaik, juga sekolah terbaik. Semua untukku yang terbaik. Meski standar terbaik bagi kita berdua tidaklah sama dengan standar terbaik dunia. Tapi selama hidupku, aku tetap menganggap itu yang terbaik.

Engkau sangat bangga terhadapku. Katamu, aku anak yang baik. Aku tidak pernah membuat masalah untuk mencemari namamu dan nama keluarga kita yang semeleh itu. Katamu, aku anak yang pintar. Aku mampu menembus sekolah-sekolah terbaik yang menurut mitos sulit ditembus oleh kaum papa seperti kita. Aku selalu begitu, hingga aku telah dewasa.

Kini, aku telah lulus dari perguruan tinggi idaman negeri ini. Bekerja dengan sangat layak pada tempat yang sangat dihargai. Aku tahu, kita tidak lagi dipandang orang dengan sebelah mata dan tidak lagi layak merasa rendah diri. Aku juga tahu, betapa bangganya engkau akan anak perempuanmu ini.

Ayah, aku telah dewasa. Engkau tahu, aku tidak pernah berbuat yang tidak-tidak yang membuatmu malu. Engkau sungguh tahu, aku tidak pernah meminta segala sesuatu yang tidak bisa kau penuhi. Aku juga sungguh-sungguh tahu, bagaimana engkau tidak pernah berkata tidak untukku. Ayah, kali ini saja. Aku meminta sesuatu. Bukan sesuatu, aku hanya meminta izinmu. Izin untuk mencari siapa saya dan saya siapa. Aku meminta izinmu untuk mencari Tuhan yang sejati.

“Apa ini karena seorang lelaki, nak?”, tanyamu dengan seraut kecewa.

“Ayah, aku melakukan semua ini karena diriku sendiri, oleh diriku sendiri, dari diriku sendiri dan untuk diriku sendiri. Aku hanya memohon izinmu, restumu.”, kataku sambil mencium tanganmu. Aku sangat memohon restu.

Engkau hanya tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Engkau sangat mempercayaiku, mempercayai segala keputusanku.

Ayah, terima kasih atas ajaran agama yang telah kau suapkan kepadaku sedari aku muda. Terima kasih telah mengenalkan sesosok adikuasa bernama Tuhan. Terima kasih pula telah memberiku pengetahuan tentang benar dan salah, pahala dan dosa, malaikat dan syaitan, juga tentang surga dan neraka.

Tapi, Ayah. Sesungguhnya, aku tidak melakukan yang tidak-tidak selama ini bukan karena aku menginginkan sebuah buah bernama pahala. Juga bukan pula karena aku menginginkan sebuah tempat dengan sungai yang dialiri susu dan dipenuhi bidadari-bidadari menawan hati. Aku tidak berbuat yang tidak-tidak, juga bukan karena takut akan sesosok Tuhan yang engkau kenalkan padaku semenjak belia. Aku sedari dahulu percaya, bahwa apapun yang aku lakukan, baik buruknya, akan kembali padaku pula. Semua dari aku sendiri, oleh aku sendiri, karena aku sendiri, dan untuk aku sendiri.

Sekarang, aku memuja Tuhan yang tidak berbeda dengan yang engkau puja. Hanya saja, aku mempunyai pandangan yang sedikit berbeda tentang Tuhan kita. Tuhan menurut pandanganku sekarang adalah Tuhan yang aku adalah kamu, kamu adalah aku. Tuhan yang meresap dalam semesta, dan semesta pula adalah Dia. Tuhan yang universal. Aku memuja Tuhan yang sama dengan cara dan pandangan yang berbeda.

Aku bersembah Hyang beralaskan bumi beratapkan langit. Dan aku suka sembah Hyang saat purnama di luar sana. Aku suka menenggelamkan diri dalam sinar candra yang menyejukkan hati, sampai hari beralih menjadi dini. Dan kau hafal benar kebiasaanku itu, Ayah.

Setiap purnama, entah sedari pukul berapa. Engkau selalu menungguku pulang dari sembah Hyang di teras rumah. Engkau selalu begitu. Hingga ketika kau lihat sorot lampu kendaraan yang kutumpangi datang, kau buru-buru membuka pintu. Engkau yang memang pendiam, tak berkata apapun padaku. Selalu begitu. Tapi aku tahu, Ayah. Itu adalah manifestasi dari kasihmu.

Terima kasih, Ayah. Atas kasihmu yang sepanjang masa.

Kasihmu yang selalu sama meski jalan yang kita tempuh tak lagi sama.

Kasihmu selalu sama dan terasa, meski tanpa untaian kata.

Terima kasih, Ayah.

Jakarta, 14 Januari 2016

Dilbar Sarasvati

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun