Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir sering disebut kejahatan "kerah putih" yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan dan tidak teroganisir yakni kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir. Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan yakni pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, korupsi, dan lainnya.
Menurut Steven Box, kejahatan meningkat setiap tahun, dengan kaum muda, pengangguran dan negro melakukan kejahatan di Inggris. Artinya, orang-orang yang memiliki ciri-ciri miskin, menganggur, dan juga frustasi dikeluarga maupun lingkungan masyarakat lebih mungkin untuk melakukan kejahatan. Di Inggris peneliti Steven Box melakukan penelitian. Sejalan dengan gagasan ini, kata pengantar buku kriminologi tahun 1981 menyatakan bahwa salah satu masalah struktural yang perlu dipertimbangkan ketika menganalisis kriminologi Indonesia adalah masalah kemiskinan. Bahkan teori kriminologi menganggap situasi ini sangat penting, karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan korban yang banyak. Salah satu penyebab kejahatan di Indonesia adalah krisis ekonomi, termasuk ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi.
Korupsi Di Indonesia Sukar Untuk Diberantas
Korupsi di Indonesia dapat disebabkan oleh tidak adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah, pimpinan pemerintahan dan DPR untuk memberantas korupsi. Korupsi yang terjadi di Indonesia sering disebut dengan korupsi sistemik. Artinya praktik korupsi bersifat sistemik dengan memanfaatkan kelemahan sistem ketatanegaraan dan aturan-aturannya. Alasan lainnya adalah masalah budaya. Sumbangan penguasa kepada keluarga dan masyarakat yang berasal dari kas negara, dianggap sebagai upaya melindungi (memberikan perlindungan) dan ngayemi (mendamaikan) daripada korupsi. Akibatnya, korupsi menjadi hal yang lumrah di Indonesia dan seringkali menjadi bagian dari budaya. Korupsi juga dapat berasal dari rendahnya upah pegawai negeri dalam jangka panjang. Pegawai negeri dipaksa untuk secara diam-diam atau terang-terangan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) untuk memenuhi tuntutan gaji dan pendapatan yang pas-pasan. Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, bukannya menurun, korupsi justru meningkat dalam hal jumlah pelaku dan jumlah uang yang dikorupsi.
Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu:
1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ;
2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi;
3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Dalam buku berjudul The Role of Parliament in Combating Corruption, ICW (2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab korupsi: politik, hukum, ekonomi dan birokrasi, dan perbuatan transnasional. Faktor politik menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi banyak peristiwa politik. Korupsi politik sering disebut korupsi politik. Menurut De Asis (2000), korupsi politik terjadi karena kebijakan moneter dalam pemilihan anggota parlemen dan pengurus, dana kampanye gelap, penyelesaian sengketa parlemen melalui cara haram, dan menyimpang. Unsur hukum menjadi sumber korupsi, barang hukum seringkali memiliki aturan yang tidak jelas, pasal yang ditafsirkan berkali-kali, dan meskipun masyarakat umum tidak dapat melihat, aturan hukum tertentu cenderung dibuat untuk kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Demikian pula sanksi yang tidak boleh disamakan dengan perbuatan yang dilarang, yaitu sanksi yang dianggap tidak efektif, terlalu ringan atau terlalu berat. Senada dengan itu, Susila (dalam Hamzah, 2004) berpendapat bahwa korupsi dapat dengan mudah terjadi karena kelemahan Undang-Undang, antara lain adanya peraturan perundang-undangan yang memuat kepentingan pihak tertentu, dan rendahnya kualitas Undang-Undang itu akan disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan tidak pandang bulu, kelemahan dalam penilaian dan revisi peraturan perundang-undangan.
Lemahnya penegakan hukum, rendahnya mental aparatur, rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya political pada pemerintah, menurut Saleh (2006) juga menjadi pemicu terjadinya korupsi. Dari aspek hukum, penelitian Ezung (2012) juga memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda, bahwa terjadinya korupsi disebabkan oleh lemahnya peraturan yang dibuat dan lemahnya penegakan hukum. Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di negara-negara yang sistem ekonominya sangat monopolistik. Kekuasaan negara dirangkai dengan informasi orang dalam turut menciptakan kesempatan-kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka beserta sekutusekutunya. Faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan hubungan ekonomi lintas negara yang tidak jarang menambah lahan sumber bagi tumbuhnya korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Korupsi mudah terjadi, karena perusahaan-perusahaan asing (transnasional) dapat beroperasi di suatu negara tanpa harus masuk ke lini birokrasi pusat. Mereka bisa masuk ke lini birokrasi pemerintah daerah dengan cara memberi uang pelicin agar dapat berinvestasi di daerah. Korupsi berlangsung bagai simbiosis mutualisme, dimana pengusaha asing memiliki uang yang dapat digunakan untuk menyogok pejabat agar memperoleh izin untuk melakukan usaha di daerah, sedangkan elit daerah mempunyai otoritas untuk memutuskan. Organisasi juga dapat menjadi alasan pembenar untuk melakukan korupsi. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi biasa terjadi, akan memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan untuk berlangsungnya korupsi (Tunggal, 2000). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi, yaitu:
1. Kurangnya keteladanan dari pemimpin,