Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lubang Mbah Suro dan Mirisnya Orang Rantai di Kota Sawahlunto

21 Agustus 2020   07:58 Diperbarui: 21 Agustus 2020   07:47 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lobang Hitam Mbah Soero''

Sungai Ombilin jernih mengalir damai. Ketika matahari di ubun kepala, airnya akan memantulkan warna biru langit tanpa tiang. 

Menjadi napas kehidupan bagi pribumi dan mahkluk hidup sekitar. Tepian jalanan setapak pribumi bertatapan dengan hutan semak belantara. Sembari angin melayang yang diiringi nyanyian burung murai, pohon bermahkota daun ikut menari. 

Begitupun pohon kelapa milik pribumi,  menjulang kelangit, berporos ditanah yang subur dan luhur. Mereka pribumi yang menanam, merawat dan memanennya dengan penuh suka cita.

Tanah kelahiran pribumi ini dikelilingi oleh Bukit Barisan yang sambung menyambung di desa asri terpencil. Itulah Sawahlunto sebuah desa tanpa  kebisingan, jauh dari  masalah politik, ekonomi, dan administrasi yang difokuskan pemerintah Hindia Belanda. Sama tuanya dengan umur dunia. Nafsu yang bergelora selalu mendesak para orang kulit putih. 

Menyusung, mencari berkelana diberbagai pelosok negri, dan secara gamblang melihatkan keinginan untuk menguasai negri ini tanpa ampun.

Media Indonesia.com
Media Indonesia.com
Tak disangka,  berlian hitam di perut bumi Sawahlunto segera diketahui oleh mereka.  Ketika ekspedisi dan ekspolarasi dilakukan kawanan kulit putih itu. Mereka langsung datang  berbondong-bondong untuk memburu berlian hitam atau batubara di Sawahlunto. Supaya semua isi perut bumi tersebut menjadi miliknya.

Pada 1 Desember 1888 pemerintah Hindia Belanda membentuk Sawahlunto menjadi sebuah kota. Waktu itu negri ini masih terombang ambing di peta dunia untuk merdeka.  Penduduk yang berasal dari pegawai dan pekerja tambang. Dominan berasal  dari luar Sawahlunto.  

Kekurangan sumber daya manusia, menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak di negri sendiri. Mereka yang berkulit putih dengan kekuasaan dan kehebatannya pada masa itu. Menjadikan kota Sawahlunto, berdenyut tiap detik tanpa henti. 

Detik.com
Detik.com
Sehingga kegiatan aktif penambangan menghidupkan jalur transportasi ekonomi, politik dan yang paling berkesan untuk rakyat Indonesia hanya kesengsaraan yang berulang.

Waktu terus berputar. Manusia pun berubah menjadi tua dan mati. Perputaran jabatan terus berlangsung. Sampai akhirnya Mbah Soero di buang dari kota kelahirannya. Mbah Soero adalah lelaki Jawa tulen lahir 1859. 

 Nama asli Raden Kohar. Ayahnya bernama Raden Soerowijaya atau Samin Sepuh. Mbah Soero juga dikenal dengan nama samaran Samin Soerontika. Wajahnya teduh, beralis mata tebal, tatapanya tegas, dan berkulit sawo matang. Semua orang memanggilnya "Mbah Soero" karena dirinya ahli  ilmu kebathinan.  

Sebelumnya Mbah Soero seorang pendiri dan pelopor ajaran samin. Kelompok Samin lahir dan berkembang di daerah kawasan Blora, Jawa Tengah. Setiap tahun pengikut ajaran Saminisme semakin meningkat. Sekaligus mereka menolak dengan keras untuk membayar pajak di tanah sendiri. 

Akhirnya Belanda mulai terusik dan gelisah.  Tidak hanya diam membisu. Para kawanan Belanda yang bekerjasama dengan pribumi mendatangi rumah Mbah Soero.

"Soero, Soero, keluar kau dari gubukmu itu"

Langsung mbah Soero berjalan melangkah keluar pintu. 

Tanpa bergegas dan rasa panik, Mbah Soero menjawab panggilan itu dengan sopan

 "ada apa Ndoro mampir ke pemondokan saya?" Tanya nya heran

"Ngak usah banyak alasan, aku ra sudi melihat sampean!" jawabnya marah

Sembari Ndoro berbicara, senapan yang berpeluru disodongkon oleh kawanan Ndoro ke Mbah Soero.

 "Di tanah Blora ini aku tak sudi kau rusak tatanan pemerintah yang telah berlaku!" tegasnya lagi dengan nada suara tinggi

Mbah Soero menjawab bagaikan air yang menyiram kobaran api. 

"Bumi ini milik kita dan ciptaan Gusti, tak ada bedanya"

"Aku ra suka sampean berbicara ngak karuan itu,"

"Kalau begitu katamu Soero, tidak ada salahnya jika aku memindahkanmu ke daerah lain dan berjayalah kau disitu" perintah orang Belanda dengan terbata-bata menggunakan bahasa Indonesia.

 Secara halus ingin membuang Mbah Soero.

"Baik, bagiku bumi itu sama" jawaban Mbah Soero sontak disetujui oleh pengikutnya

Pada tahun 1908 Mbah Soero dengan pengikutnya dipindahkan ke  Sawahlunto. Mbah Soero menjadi orang yang beruntung, sebagai pribumi yang dipercaya dan disegani oleh kolonial Belanda. 

Memiliki jiwa kepemimpinan dan jujur. Sehingga  Mbah Soero dinobatkan menjadi mandor penambangan batu bara di kota Sawahlunto.

Selama proses penambangan berlangsung Mbah Soero tidak sekedar mandor. Namun dia juga ikut bekerja. Belacung digunakan untuk membongkah berlian hitam yang menempel di dinding lubang. 

Setiap hari diayunkan Mbah Soero dan kawanan penambang lainnya. Di dalam lubang yang lembab, gelap, panas dan kedap udara itu. Banyak cerita dan derita dialami Mbah Soero bersama penambang lainnya. 

Hawa dingin yang menusuk ke tulang tiap pagi dirasakan para penambang. Supaya tidak ada yang kabur, penambang yang bekas tahanan pasti kaki dan tangan mereka dirantai besi.

Disatu sisi Mbah Soero merasa iba kepada saudaranya sendiri. Namun dibalik itu,  hidupnya juga tergantung si pematuk senapan yang berkulit putih. Para penambang bekerja dengan mandi keringat dari ujung kepala sampai kaki, namun diberi makan tak layak dan upah yang tak masuk akal. 

Badan yang ringkih,  memukul kerasnya batubara, meraup tumpukan batubara, dan menarik batubara dengan gerobak keluar lubang.

"Lebih bergegas lagi" perintah si kulit putih dan menendang tubuh penambang yang lamban.
Sampai tiba saatnya waku yang ditunggu oleh semua orang. Mereka akan diberi upeti untuk makan anak istri di kampung yang tak mungkin mereka jumpai lagi. 

Mbah Soero  memanggil para tambang dengan menyebut nomor  tato  di setiap penambang.
 Setelah pembagian upeti selesai. 

Semua kembali keaktifitas semula. Nafsu manusia yang tak pernah puas, selalu melakukan berbagai cara mencari kenikmatan sesaat. Sebagian  mereka berkumpul di ruangan tertutup untuk bermain judi. 

Tak jarang para penambang bertengkar hebat satu sama lain, gara-gara kalah berjudi atau merampas uang temannya
Suatu ketika  pria bertato 405 tidak puas dengan upah kerja yang diterima. Akhirnya dia  merampas uang penambang lain. 

Tapi penambang tato 317 menolak  dan langsung meninggalkannya. Merasa diacuhkan emosi pria bertato 405 membara kepuncak ubun. Karena kesal dia memukul penambang 317 sampai babak belur. Langsung Mbah Soero datang untuk melerai pertengkaran.  

Namun si kulit putih menarik paksa Mbah Soero, karena bagi mereka pertengkaran sampai mati itu adalah tontonan sejati. Jika kalau ada yang mati jasad mereka langsung dibuang di lubang batubara tersebut, sangat memilukan.
Pembuangan Mbah Soero dari tanah kelahiran, dan meninggalkan keluarga di Blora. 

Tak membuatnya patah semangat. Kebaikan dan kejujuran Mbah Soero sangat membekas di hati penambang batubara. Kadangkala jika ada waktu Mbah Soero melakukan diskusi bersama kepada penambang.

 " Kita musti seng sabar, karena mereka untung dan memiskinan negri yang dijajah adalah hukum dan kodratnya nasib negeri saat ini" 

ucap Mbah Soero dihadapan  penambang yang  berputus asa
Selama menjadi mandor Mbah Soero tidak lalai dalam beribadah. 

Karena ketaatannya itu Mbah Soero juga disegani oleh penambang lainnya. Berhubung kebanyakan penambang berasal dari pulau Jawa, jadi melakukan pendekatan emosional dan saling mengingatkan sesama yang lain bukanlah hal yang sulit bagi Mbah Soero. Wajar saja jika Mbah Soero menjadi panutan banyak orang.

Tahun pun berganti, emosi Mbah Suro pun revolusi, semakin  tidak tahan dengan sikap dan kejahatan Belanda. Akhirnya, Mbah Soeropun memberontak. Malang, tak bisa dielakkan.

Pada tahun 1914 Mbah Soero dibunuh secara mutilasi oleh pihak Belanda. Menurut mitos yang beredar, ilmu kebatihan Mbah Suro akan kembali, jika mayat Mbah Suro tetap menyatu dalam satu kuburan. 

Itulah keputusan sekaligus ketakutan pihak Belanda untuk memotong Mbah Soero.  Potongan tubuh tersebut sebagian dikuburkan di pemakaman Tanjung Sari. Namun beberapa potongan tubuh yang lain dibuang entah dimana.

Tragedi kematian  Mbah Soero yang tragis tak ada yang tahu. Namun, untuk mengenang sosok tulen yang berjasa Mbah Soero. Lubang bekas penggalian batubara tersebut diabadikan dengan namanya Lubang Mbah Soero.  Tertelak di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Dari tahun 2007 sampai sekarang telah menjadi objek wisata sejarah yang selalu ramai dikunjungi warga dari berbagai kota.

(Selama kuliah saya memiliki teman dari berbagai daerah termasuk Sawahlunto. Namanya Helvi Carnelis dan Vigo Ravindo  mereka tinggal di daerah Sapan Sawahlunto. Orangtua mereka baik dan saya pernah makan, tidur di rumah mereka, bersama Filan Tropi Safitri , Fahri dan Ngan. Kota tua penuh memori itu telah meninggalkan bekas yang mendalam ke jiwa raga saya. Mereka mengajak saya berkeliling ke museum,  halaman gedung bukit asam,  kebun binatang Sawahlunto, kebun buah di Kandi Sawahlunto, Pasar, Danau Biru, terakhir Lubang Mbah Soero. Akhir kata  Terimakasih sahabat Vigo Ravindo dan Neng Helvi yang telah membantu saya hingga penulisan cerita tanah kelahiran kalian ini selesai. Kupastikan bahwa Riindu itu tak ada ujungnya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun